Story 7: Now is the time

1.5K 112 6
                                    

Asza

"Nggak nyangka bisa ketemu di sini, kan, Za?" Ajji bertanya sambil tersenyum, matanya menyiratkan keheranan yang tak bisa disembunyikan.

Hari ini, aku sengaja memilih tempat makan yang jauh dari kantor. Entah karena merasa bosan dengan rutinitas sehari-hari atau hanya ingin menikmati suasana baru. Mungkin juga aku hanya ingin sendirian tanpa teman-teman kantor seperti Ashilla. Aku menginginkan waktu untuk diriku sendiri, tanpa gangguan.

Namun, betapa ironisnya, aku justru bertemu dengan Ajji. Restoran ini ternyata dekat dengan kantornya. Aku tersenyum tipis dan mengangguk mendengar pertanyaannya, merasa takdir bermain-main denganku hari ini.

"Bukannya lo bilang kantor lo di Kuningan ya?" Ajji melanjutkan dengan nada penasaran. "Ngapain nyari makan sampai ke Simatupang gini?" Suaranya terdengar geli, mungkin dia juga merasa lucu dengan kebetulan ini.

Aku hanya bisa tersenyum samar. Sebenarnya, ada alasan lain mengapa aku memilih makan sejauh ini. Aku ingin menghindari kemungkinan bertemu dengan Agas. Kantor kami berdekatan, jadi sering kali kami bertemu tanpa disengaja. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri, jauh dari bayangannya yang selalu mengusik pikiranku.

Mengangkat bahu sebagai jawaban, aku mencoba menjawab dengan santai, "Katanya ada pecel lele enak di sini." Tentu saja itu alasan yang kubuat-buat, aku bahkan tidak tahu apa saja yang ditawarkan kantin ini.

Ajji tertawa mendengar jawabanku. "Masa? Gue kerja lima tahun di sini belum pernah dengar soal itu," katanya dengan nada bercanda.

Aku kembali mengangkat bahu, mencoba mengalihkan topik. "Lo udah pesen?" tanyaku sambil melirik ke belakang, mencoba melihat apakah Ajji datang sendiri atau dengan teman-temannya. "Lo sama siapa?" tambahku lagi.

Ajji menggeleng. "Nggak ada, gue makannya telat. Ini udah jam berapa, Za." Dia melihat jam tangannya sejenak. "Gue mau pesen ketoprak, lo mau pesen apa?"

Aku belum memutuskan. "Yang enak apa ya?" tanyaku sambil melihat sekeliling, mencoba mencari inspirasi dari menu yang ditawarkan.

"Tadi katanya lo mau makan pecel lele?" Ajji bertanya dengan dahi berkerut, terlihat bingung.

"Emang ada?" balasku polos.

Ajji tertawa renyah, senyumnya lebar. "Ada. Lo mau? Gue pesenin sekalian?"

Aku mengangguk sebagai jawaban. Setelah Ajji pergi untuk memesan makanan, aku mengambil ponselku. Benar saja, ada beberapa pesan masuk dari Ashilla, menanyakan kenapa aku tidak mengajaknya makan siang bersama. Aku membalas pesannya singkat, mencoba menenangkan pikirannya.

"Jadi, lo kenapa ke sini?" Suara Ajji tiba-tiba terdengar lagi. Cepat sekali dia memesan makanan.

Aku mendongak, melihat Ajji sudah duduk di depanku. "Jangan bilang lagi karena lo dengar ada pecel lele enak di sini, karena gue tahu itu bohong," tambahnya dengan senyum menggoda, membuatku tersenyum geli. Dia sudah paham bahwa tadi aku hanya berbicara asal padanya.

Aku menatap Ajji, mencoba merangkai kata yang tepat untuk menjelaskan perasaanku. "Cuma butuh suasana baru aja," jawabku singkat, berharap dia tidak menanyakan lebih jauh.

Ajji mengangguk-anggukkan kepalanya dengan penuh pengertian. "Nyokap lo gimana? Masih ngejodoh-jodohin lo?" tanyanya, mencoba menggali lebih dalam. Ajji tahu betul bahwa pertemuan kami diatur oleh orang tua kami yang berharap kami bisa lebih dari sekadar teman.

Aku menghela nafas panjang sebelum menjawab. "Lo bilang apa setelah kita ketemu waktu itu?" tanyanya lagi, membuatku mengingat kembali momen yang cukup canggung itu.

"Gue bilang kalau lo ternyata temen kuliah gue," jawabku dengan nada bercanda, "eh, terus dia makin semangat, karena katanya jodoh." Aku menggeleng-gelengkan kepala, merasa lucu dengan antusiasme ibuku yang berlebihan. "Tapi habis itu, gue bilang aja lagi deket sama cowok lain juga."

The Infinity Between Us | Byeon Wooseok & Kim HyeyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang