15- Berobat

93 17 0
                                    

Kini keluarga kecil Daniswara sedang berada di rumah sakit Cahaya Muarai, menemani Zea untuk menjalankan rawat inap nya. Kini Zea sudah menggunakan infus dipunggung tangan kanannya dan sudah duduk diatas brankar ruangannya. Orang tua Zea sedang berada di ruangan Pak Andi, sedangkan Gibran berada di ruangan inap Zea.

"Arghhh, kenapa sih gue harus sakit hah?!" ucap Zea kepada diri nya sendiri, Gibran pun yang melihat itu langsung menghampiri Zea.

"Ngapain lo ngedeket, situ aja!!" sentak Zea yang melihat Gibran sedang mendekati diri nya. Namun Gibran tetap saja melangkah kan kaki nya menuju Zea, Zea pun hanya menatap penuh kebencian terhadap abang nya kini.

"Tuli lo hah!! Dibilang jangan kesini malah kesini, benci gue sama lo." Zea semakin kesal kepada abang nya itu, karena Gibran menatap nanar kepada Zea.

"Ze, makan ya. Lo belum makan, nanti perut lo perih," kata Gibran sambil mengambil piring yang berisi bubur ayam. Zea pun melihat sebentar bubur yang diambilkan oleh abang nya itu.

"Perih? Liat Gib, adek lo ini udah perih dari lahir. Hidup gue lebih perih dari perut gue, dan sekarang perih gue tambah lagi Gib, bukan karena gue ga makan terus perut gue perih. Bukan Gib, tapi gue keperihan karena gue di tambah lagi sama penyakit gue. Sekarang gue ga bebas Gib, apa-apa harus diatur, apa-apa harus diawasin, gue cape Gib!"

"Lagi-lagi, lo yang ga pernah ngertiin perasaan gue. Kata nya lo pengen dianggep abang sama gue, tapi sikap lo ke gue itu, ga pernah mikirin perasaan adek nya dalam-dalam. Seolah-olah lo yang harus di ngertiin, dan disini lo yang kelihatan paling tersakiti." sambung Zea, Gibran hanya terdiam mendengarkan perkataan Zea. Zea memang tidak bisa merangkai kata-kata yang bagus untuk dikatakan, memang Zea kadang-kadang irit berbicara kepada lawan bicara nya. Namun apabila Zea sudah mengatakan seribu rangkaian kata, perkataan Zea bisa menusuk hati lawan bicara nya.

"Gue emang salah Ze. Kalo emang lo merasa ga pernah dingertiin sama gue, gue minta maaf banget ke lo Ze," ucap Gibran.

"Ze, apa lo ga mau ngasih gue kesempatan kedua buat jadi abang lo. Dan apa lo ga akan nerima maaf gue? Sebenci-benci nya lo sama gue, gue akan terus ngejagain lo sampai kapan pun itu," sambung nya sambil menatap nanar ke arah Zea.

"Gue lagi cape banget Gib, bisa keluar ga lo?" ucap nya Zea dengan nada sedikit pelan.

"Gue akan keluar, kalo lo mau makan," jawab Gibran, sambil menyodorkan bubur ayam yang dipegang nya sedari tadi.

"Ck, iya. Sana keluar!" tegas Zea sambil menerima sodoran bubur ayam itu.

"Makan dulu baru keluar," sahut Gibran, untuk memastikan bahwa apabila dia keluar, Zea harus sudah memakan bubur nya. Zea pun dengan kesal langsung membuka bagian atas styrofoam yang berbentuk tutup wadah dari bubur itu dengan menunjukkan raut wajah kesal. Dan langsung melahap bubur itu, Gibran pun tersenyum ke arah Zea.

"Adek pintar, ya udah gue keluar." ucap Gibran sambil memandangi Zea yang sedang melahap bubur nya itu. Zea pun hanya membalas ucapan Gibran dengan deheman saja. Setelah itu, Gibran melangkahkan kaki nya untuk pergi keluar dari ruangan itu.

Ceklek

"Udah selesai kalian ngobrolnya?" tanya ayah Danis yang tiba-tiba datang ke ruangan inap Zea bersama bunda Ana. Langkah Gibran pun terhenti karena kedatangan mereka.

"Mau kemana kamu Gib?" kini bunda Ana yang bertanya khusus untuk Gibran.

"Mau pergi sebentar Bund, boleh ya?" ucap Gibran.

"Kemana?" tanya lagi bunda Ana.

"Cari angin Bund." sahut Gibran.

"Ya udah sana, jangan lama-lama tapi. Nanti kesini lagi buat ngejagain Zea." ucap bunda Ana.

KEPRIBADIAN ZEANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang