33- Cat Air?

65 11 8
                                    

Kini Zea pun kembali turun kebawah sendirian, walaupun kaki nya masih sedikit nyeri untuk berjalan menuruni tangga, tapi dia juga tidak mau merepotkan Gibran terus. Dia pasti lelah setengah hari menjaga dirinya, jadi Zea tidak mau mengganggu istirahat nya. Pikir Zea.

Perlahan Zea pun sudah sampai ke anak tangga terakhir, pada saat Zea akan menuruni anak tangga itu, bahu nya seperti ada yang menahannya. Lantas Zea pun langsung menoleh, ternyata lagi-lagi Gibran yang sedang menahan bahunya.

"Hati-hati." ucap Gibran sambil menuntun Zea untuk turun seanak tangga lagi. Zea pun tidak habis pikir, apa dia tidak lelah membantu nya terus.

"Gib," panggil Zea pada Gibran. Gibran yang sangat mendengar panggilan dari Zea pun langsung menoleh ke Zea sambil menaikkan satu alisnya.

"Makasih udah ngebantuin gue hari ini, besok-besok ga usah ngebantuin gue lagi, bisa?" yang awalnya Gibran akan tersenyum mendengar perkataan awal adiknya itu, senyumnya kembali pudar setelah mendengar kata-kata akhir yang diucapkan adiknya itu.

"Gue abang lo, jadi gue harus ngebantuin lo selalu, sampai kapan pun itu." sahut Gibran yang masih menahan kedua bahu Zea.

"Ga perlu, makasih." ucap Zea sambil melepaskan tangan Gibran dari pundaknya itu. Setelah itu Zea melangkah menuju ke meja makannya.

"Ngeyel banget sih lo." ucap Gibran pada Zea yang sudah hampir mendekati meja makan, lalu Gibran pun ikut menyusul Zea keruang meja makannya.

Akhirnya kegiatan makan sore itu sudah selesai, kini bunda Ana dan bi Inah pun langsung membereskan piring dan gelas yang tadi digunakan. Berbeda dengan Zea, dia disuruh oleh bundanya untuk mengelap meja makannya bersama Gibran.

"Bund, jangan sita motor aku ya Bund, Zea janji ga bakal kebut-kebutan deh," utas Zea dengan nada memelas kepada bunda Ana, bunda Ana yang mendengar ucapan Zea itu pun hanya diam saja sambil membereskan piring yang masih tersisa dimeja makan itu.

"Bund, please jangan sita motor aku ya Bund," ucap Zea kini dengan nada sedikit merengek. Gibran yang disana pun hanya diam saja sambil sekilas menatap adiknya yang sedang merengek itu.

"Kamu ga liat, kaki kamu aja masih sakit kan Ze? Jadi Bunda ga bakal ijinin kamu pake motor kamu sebelum luka-luka di badan kamu itu kering. Mulai hari besok sampai selesai ujian, kamu berangkat sama Gibran, paham Ze?" sahut bunda Ana pada Zea.

"Kalo aku berangkat nya sama Yura, Manda boleh ga Bund?" tanya Zea pada bunda Ana, untuk memastikan bahwa dirinya dibolehkan berangkat bersama kedua temannya itu atau tidak.

"Hm gimana ya?" ucap bunda Ana sambil berjalan membawa piring kotor ke wastafel dapur nya.

"Boleh ya Bund." ujar Zea.

"Ga usah, kamu sama Gibran aja, nanti kalo kamu sama Yura atau Manda, kasian mereka harus kesini jemput kamu." jelas bunda Ana sambil mendekati Zea.

"Ya udah lah terserah Bunda." cetus Zea lalu melangkah meninggalkan Gibran dan bunda Ana.

Dengan langkah yang terpincang-pincang itu, Zea tidak memperdulikan nya, dia sekarang berusaha menaiki anak tangga satu persatu, ketahuilah bahwa kini Zea moodnya sedang mode kesal.

Uhuk uhuk

Sedang fokus-fokusnya Zea berusaha berjalan untuk menaiki anak tangga, tiba-tiba dirinya terbatuk sontak membuat Zea membekap mulutnya itu.

Huk uhuk

Batuk Zea pun semakin menjadi-jadi membuat Zea mengeluarkan sedikit air mata karena tidak kuat menahan batuknya. Perlahan Zea membalikkan telapak tangan kanannya memastikan bahwa dirinya itu batuk darah atau tidak, ternyata dugaan Zea benar, ia telah batuk darah. Kini ditelapak tangan kanan Zea terdapat sedikit darah segar.

KEPRIBADIAN ZEANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang