Potongan Kedua

24 9 0
                                    


Hari ini Pram berencana membuka toko lebih telat dari hari biasa. Selain karena kehabisan beberapa bahan kue dan pemasok apel yang terlambat dalam pengiriman, juga karena janjinya pada Anya yang harus ia tepati. Selesai mencatat bahan-bahan kue yang dibutuhkan, Pram pun bergegas mengemudi ke rumah Dhara.

Sesampainya di sana, Pram disambut oleh lambaian tangan Anya yang menunggu dengan gembira di balik pagar bersama mamanya. Pram turun dan membalas lambaian tangan tersebut, kemudian menggandeng tangan Anya dan membawanya ke mobil. Dhara menyusul di belakang dengan gelengan kepala tak habis pikir.

"Wah, Om Pam menepati janji, dong." Anya berseru senang sembari memeluk tas ungu kesayangannya.

"Iya, dong. Janji harus ditepati," timpal Dhara dari kursi belakang.

Pram melirik Dhara dari rare-view mirror dan menyunggingkan senyum sebelum kembali fokus ke kemudi. "Iya, Anya. Janji itu sama dengan utang, jadi harus dibayar tuntas. Jadi kalau Anya punya janji sama seseorang, Anya harus tepati janji itu."

Anya menatap Pram sembari mengangguk-angguk, walau sebetulnya ia tidak paham sepenuhnya dengan penjelasan tersebut. Dhara sekali lagi menggelengkan kepala tak habis pikir dengan kedekatan keduanya. Padahal dari dulu Anya merupakan tipe anak yang sulit diajak oleh orang lain. Mungkin karena Pram memiliki aura positif dan paling mampu memahami anak-anak. Dhara tidak tahu. Selama Anya bahagia, tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan selain membiarkannya dalam pengawasan.

"Kalau nggak ditepati gimana, Om?" tanyanya penasaran.

"Itu sama dengan Anya berbohong, dong. Dan ingkar janji itu dicatat oleh malaikat sebagai amal buruk. Nanti Anya berdosa." Pram menutup kalimatnya dengan tepukan pelan pada puncak kepala Anya ketika anak itu kembali mengangguk.

Lampu lalu lintas berubah dari merah ke kuning, klakson yang saling menyahut tak sabaran membuat Dhara yang duduk di kursi belakang mendengkus kesal. Kemudian tepat ketika warna lampu berganti hijau, Anya kembali mengeluarkan suara.

"Kalau begitu, papa berdosa, ya, Om?"

Pram yang telah bersiap dengan injakan pedal gas mengurungkan niatnya itu. Ia menatap terkejut ke arah Anya yang juga menatapnya dengan polos, menunggu jawaban darinya. Pram melirik Dhara cemas. Belum juga ia berhasil bersuara, Dhara lebih dulu menyela dengan nada yang agak meninggi.

"Kenapa Anya bilang begitu?"

Anya menunduk lesu. Ia tahu seharusnya tidak membahas hal ini, tetapi pikirnya, selagi Pram membahas hal yang serupa maka ia akan mengatakannya.

Klakson kembali bersahutan dari belakang mobil mereka, membuat Pram buru-buru menginjak pedal gas. Ia ingin mengakhiri konversasi tak nyaman ini dengan menambah kecepatan agar lekas sampai di sekolah Anya. Namun, sepertinya menghindar bukan pilihan yang tepat.

"Mama bilang ...." Anya berbicara pelan dalam tundukan. Jarinya sibuk memilin tali pita seragamnya.

"Mama selalu bilang papa bakal datang ke ulang tahun Anya. Papa bakal datang ke sekolah Anya untuk mengambil rapor. Mama juga bilang papa bakal datang saat festival sekolah. Tapi, papa nggak pernah ada. Papa nggak pernah datang buat Anya."

Dhara susah payah menelan ludah. Hidungnya terasa panas dengan kedua mata yang perih. Ia menahan napas untuk sesaat ketika putri kecilnya mengatakan semua itu. Di sisi lain Pram diam seribu bahasa. Tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Lagi pula, ia tidak ada andil dalam membahas perihal keluarga mereka. Karena bagaimanapun, ia tetap orang luar.

"Papa nggak berdosa, kan, Om? Papa orang baik, kok. Meskipun nggak pernah tepat janji, papa selalu kirim hadiah dan surat buat Anya. Tas ini juga papa yang beliin."

✓ You are the Apple of My PieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang