Potongan Ketiga

12 6 0
                                    


Anya menatap takut-takut ke arah Pram yang sedang memakirkan mobil. Di kursi belakang, seorang anak laki-laki bersedekap dengan bibir manyun yang membuat pipinya terlihat menggembung. Pram menyunggingkan senyum padanya, tetapi bocah gempal yang ia ketahui bernama Tito itu malah membuang muka. Pram menggeleng gemas. Ah, sejak kapan pula ia tidak bisa tidak merasa gemas dengan anak-anak?

"Ingat, ya. Anya sama Tito nggak boleh bertengkar lagi." Pram memberikan ultimatum singkat setelah membantu Tito membuka sabuk pengaman. Hal itu membuat Anya yang duduk di kursi depan cemberut. Cemburu. Tidak ada yang boleh mencuri Om Pam darinya.

"Kalau Tito nggak mulai dulu, Anya diam." Anya menyahut.

Tito pun tak mau kalah. "Tito janji, kok, Om. Makasih sudah mengantal Tito pulang."

Pram mengangguk. "Bagus. Laki-laki sejati harus menepati janji."

Sore itu cukup melelahkan, juga berkesan. Pram menyugar rambutnya yang agak panjang ke belakang. Kulit putih bersihnya berkilau ketika cahaya kekuningan menerpanya. Setelah mengantar Tito, Pram membawa Anya pulang. Sebelumnya, ia juga sudah menghubungi Dhara.

"Ayah harus janji sama Anya, jangan kasih tahu mama soal tadi."

Pram berjongkok dan menatap Anya instens. "Kalau boleh ayah tahu, kenapa Anya nggak mau mama tahu?"

Anya tidak segera menjawab. Mata bulatnya mengerjap pelan, sementara kaki kanannya tidak berhenti ia mainkan. Pram, untuk ke sekian kali, tersenyum gemas melihat tingkah laku Anya. Ia hapal sekali. "Gini, pasti ada alasan kenapa mama nggak boleh tahu, kan? Terus, apa alasan Anya?"

Anya mengembuskan napas dan berkata pelan. "Anya nggak mau mama khawatir dan sedih. Mama pasti capek kerja. Jadi...."

"Kalau begitu, Anya mau bantu ayah masak buat mama?"

Anggukan antusias pun segera Pram dapatkan dari Anya dan bergegas ke dapur.

Ketika mendapatkan telepon dari sekolah kalau Anya terluka, Pram berlari tanpa berpikir dua kali. Ia bahkan tanpa sadar masih mengenakan apron toko dan baru menyadarinya ketika akan memasak sore itu. Jika ada yang bertanya mengapa dirinya begitu menyayangi Anya seperti anak sendiri, maka jawabannya hanya satu, yaitu karena itu Anya. Tidak ada jawaban lain, sebab ia menyayangi Anya dengan tulus bahkan ketika anak itu masih berstatus janin di dalam perut.

"Dari mana Anya tahu nomor kamu?" tanya Dhara ketika Pram selesai menceritakan kejadian Anya di sekolah.

Pram juga tidak tahu, bahkan ia tidak memikirkan hal itu. "Anya itu pintar, Ra. Dia emang masih kecil, tapi dia itu cepat tanggap dan peka sama lingkungannya."

Pram menyalakan kran dan mulai mencuci piringnya, lalu menambahkan, "Mungkin dia dapat dari hp kamu."

Sehabis makan malam dan Anya pergi tidur, Pram memutuskan memberitahu Dhara tentang Anya. Karena bagaimanapun, Dhara lebih berhak tahu. Lagi pula, ia tidak mengikrar janji perihal harus merahasiakannya.

Dhara mengangguk membenarkan kemungkinan itu. Ia kemudian menyesap kopinya seraya memperhatikan punggung Pram. Laki-laki itu masih saja sibuk dengan piring-piring kotor bahkan ketika Dhara melarangnya. Lagi pula juga percuma menghalangi niatnya itu. Tanpa sadar, bibir Dhara pun menyunggingkan senyum.

"Kamu, tuh, idaman banget, loh, Pram."

"Gimana, Ra?"

"Kamu, Pram. Coba, deh, sekali-sekali keluar kencan buta. Kriteria pria kayak kamu itu banyak diimpikan wanita-wanita di luar sana, tahu. Mubazir kalau disia-siakan."

Pram mematikan kran, lantas menyusun piring-piringnya di rak. Ia tidak langsung memberikan respons dan memilih untuk lebih dulu menyusun kata-kata yang tepat. Juga harus menstabilkan keadaan hati yang saat ini tanpa perintah menambah volume detaknya.

✓ You are the Apple of My PieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang