Potongan Kedua puluh dua

1 1 0
                                    


Pram memutuskan untuk mengantar Dhara dan Anya pulang. Tidak ada yang membuka suara selama perjalanan hingga sampai rumah. Hawa canggung terlalu mendominasi sehingga tidak ada yang berani berbicara.

Dhara akhirnya meminta Pram mampir dan dia pun setuju, sebab tiba-tiba saja hujan turun setelah siang yang terik. Langit berubah kelabu disela-sela senja yang mengintip. Setelah menidurkan Anya, Dhara menghampiri Pram yang tengah menyeduh teh di dapur. Perempuan itu mengambil duduk di kursi paling ujung sembari menatap punggung lelaki itu. Pram menyusul dengan dua cangkir bening berisi teh panas seraya mengambil ruang kosong di sisi kanan Dhara.

"Pram," ujar Dhara kemudian.

"Ra. Aku mau bicara dulu."

Dhara mengangkat wajah, alisnya terangkat. Kemudian mengangguk dan menyesap tehnya. Sebelum berbicara lagi, lelaki itu pun menyesap teh tawarnya dua kali.

"Aku tahu ini bukan waktu yang cukup tepat untuk membicarakan masalah ini. Tapi selagi kamu membahas hal yang sama, kayaknya aku memang harus mengatakannya."

Pram menjeda ketika dirasa dirinya gugup. Kakinya bergetar di bawah meja sementara kedua tangannya saling meremat. Hujan di luar sana kian ribut disertai gelegar guntur. Sesekali kilatan cahayanya menembus kisi-kisi jendela. Ruangan yang temaram pun berhasil memproyeksikan dua orang yang tampak seperti lukisan di dinding.

"Sebelumnya aku minta maaf masalah surat. Aku keliru karena menyimpannya sendiri, padahal tahu betul kalau itu ditujukan juga untuk kamu," lanjutnya. "Sebenarnya ... bukan hanya itu."

Dhara tampak mengernyitkan dahi, kedua ibu jarinya menggosok-gosok permukaan cangkir yang hangat. Dadanya pun berdebar. Ia masih tidak menduga bahwa sahabatnya itu menyimpan banyak hal darinya.

"Masih ada satu surat lagi. Buat kamu." Pram menjeda lagi untuk melirik reaksi Dhara. Lelaki itu kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah wastafel, ia lantas kembali dengan sebuah kotak karton berukuran sedang berwarna putih dan meletakkannya di depan Dhara. Perempuan itu meminggirkan cangkirnya dan meraih kotak tersebut, memegangnya erat dengan perasaan campur aduk. Ia takut untuk membukanya. Ia terlalu takut untuk mengetahui isi surat itu.

"Lalu, soal pertanyaan kamu tempo hari." Pram berujar lagi. Ia melangkah mundur untuk membuat spasi dengan Dhara, juga untuk menyamarkan debaran jantungnya yang masih tidak terkontrol. Dhara mendongak dan menyejajarkan pandangannya pada Pram. Ia tetap membisu dan membiarkan lelaki itu menyelesaikan penjelasannya.

"Aku bakal jawab setelah kamu membaca suratnya."

Dhara menurunkan pandangannya, ia mengembuskan napas yang masih terasa sesak. Pertanyaan yang sama seperti pada malam hujan di tempat yang sama beberapa waktu lalu kembali ia pertanyakan. Meskipun ia telah tahu jawabannya sekalipun, mendapatkannya dari pihak lain yang terlibat adalah perlu. Karena dengan begitu, ia masih memiliki harapan bahwa apa yang ia pertanyakan tidak benar adanya. Dengan kata lain, Dhara berusaha menghindar dari kerumitan itu.

"Pram," lirihnya seraya berdiri di hadapan lelaki itu. "Makasih."

Hanya itu kata yang bisa ia keluarkan. Dan menjadi penutup dari obrolan keduanya pada malam yang ditemani hujan. Setelahnya Pram memutuskan untuk pulang setelah Dhara memintanya. Walaupun merasa tidak tega karena hujan masih cukup deras, Dhara mengesampingkan hal itu karena dirinya juga butuh waktu sendiri.

Perempuan berkemeja kebesaran itu kemudian membawa kotak tadi ke kamar utama. Kamar yang telah lama ia kunci rapat dan dibiarkan terlihat sama seperti beberapa tahun lalu. Semenjak Tara pergi meninggalkannya, ia memilih untuk tidak menggunakan kamar itu. Terlalu sesak baginya setiap kali melihat barang-barang yang mengingatkannya pada Tara, karena ia tidak akan bisa mengendalikan dirinya. Malam ini adalah yang pertama kali baginya setelah tiga tahun.

✓ You are the Apple of My PieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang