Anya bersorak riang ketika melihat layang-layang yang diterbangkannya bersama Puguh terbang tinggi. Meski cuaca agak terik, tidak membuat keduanya kelelahan. Orang-orang dewasa yang berteduh di bawah pohon sambil menikmati segelas es limun dan makanan ringan hanya menatap mereka dengan gembira.Dhara memilih mengajak Anya ke taman piknik yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Selain untuk menghabiskan waktu bersama anaknya, ia juga berpikir bahwa kehidupannya tidak seharusnya berputar hanya pada satu titik. Ia butuh hiburan. Tuntutan pekerjaan mengharuskannya menetap lebih sering di kantor dan melewatkan waktu bersama Anya.
"Itu cowok siapa namanya tadi? Puguh? Oh, iya bener. Kasih aku nomornya, dong, Ra."
"Sadar, Ta. Inget umur." Dhara menyahut.
Rista, teman Dhara, mendecakkan lidah sebal. "Dhara Sayang, zaman sekarang age gap itu nggak lagi jadi tolok ukur sebuah hubungan, tahu!"
"Ya, deh." Dhara memilih untuk mengiakan, malas berdebat dengan Rista yang tidak akan ada ujungnya. Kemudian ia beralih menatap Pram yang tengah tersenyum lebar memperhatikan Anya.
"Pram," panggilnya.
Pram spontan menoleh. "Ya? Mau limun lagi?"
Dhara menggeleng. Ketika ia akan membuka mulutnya, Rista lebih dulu menyela. Lebih tepatnya menggoda. "Duh, siaga banget, sih, Bapak Prama satu ini. Mau, dong, segelas. Please?" Rista mengulurkan gelasnya sembari cengar-cengir.
Pram dan Dhara hanya menggeleng. Tepat ketika itu Anya berlari ke arah mereka, disusul Puguh yang semerta-merta menjatuhkan punggungnya ke rumput hijau.
"Nih, buat Adek Puguh aja."
Puguh yang mendengar dirinya dipanggil 'adek' oleh Rista buru-buru bangkit mendudukkan diri, kini ia berhadapan langsung dengan perempuan berkacamata hitam dan bertopi lebar itu.
"Adek?!" ulangnya tidak terima. Rista pun mengangguk, menyunggingkan senyum nakal. Membuat Puguh yang melihatnya merasa telah dilecehkan secara tidak langsung. Hal itu pun memancing gelak tawa dari yang lain.
"Udah, udah." Pram menengahi. Ia kemudian memanggil Anya untuk mendekat ke arahnya, membisikkan sesuatu ke telinga anak itu. Ketiga orang lainnya yang menyaksikannya saling pandang, melempar kode yang sama berupa pertanyaan 'kenapa'.
"Siap, Om Pampam!" Seruan semangat Anya membuat yang lain makin penasaran, terlebih Dhara yang merasa bahwa dirinya akan diusili.
"Sebentar lagi jam makan siang, sebaiknya kita segera meniup lilin."
"Oh, iya! Hampir aja lupa tujuan ke sini. Ayo, Ra. Make your wishes and blow the candle, please." Rista bertepuk tangan dan bersorak ria. Menarik perhatian beberapa pengunjung yang berada di sekitar mereka. Sepertinya tidak salah Dhara meminta Rista untuk datang, karena temannya itu sama halnya kembang api yang memeriahkan sebuah perayaan.
Pram mengeluarkan kue pie spesial buatannya dari kotak, lalu menancapkan satu lilin di tengah-tengah dan menyalakannya. Kemudian lagu ulang tahun khas mereka pun dinyanyikan bersama.
"Make your wishes, blow the candle, and ... happy birthday to ... you...."
Riuh tepuk tangan kemudian menggema meriah di siang yang cerah. Sejujurnya, Dhara merasa pipinya memerah ketika mendapati beberapa orang tampak saling berbisik dan menunjuk ke arahnya. Dia bukan lagi gadis remaja yang setiap kali ulang tahunnya tiba harus dirayakan dengan nyanyian selamat ulang tahun. Dan ia tak menyangka bahwa Pram dan Rista masih mengingat lagu tersebut. Ia tidak bisa untuk tidak terharu.
Dhara menyatukan kedua telapak tangannya, mengangkatnya di depan bibir dan memejamkan mata. Melantangkan harapan jauh ke angkasa. Berharap Tuhan membalasnya. Lilin pun akhirnya padam disusul tepuk tangan yang kembali menggema.
KAMU SEDANG MEMBACA
✓ You are the Apple of My Pie
Romansa[Naskah Pilihan Editor Festival Menulis Fiksi Rasi by Semestarasi] Setelah tahu bahwa Dhara telah kembali sendiri, Pram bertekad jujur tentang perasaannya. Namun, kesempatan yang ada justru makin membuatnya ragu. Selain karena Dhara adalah sahabat b...