Potongan Kedelapan belas

3 2 0
                                    


Rista membawa sebuket bunga lili putih dan menyusunnya di dalam vas bening berisi air, kemudian meletakkannya di atas nakas samping ranjang Dhara. Anya turut membantu dengan memeluk dan mengelus mamanya yang baru saja siuman pagi tadi.

"Bisa-bisanya nyusul dirawat, kayak anak kembar aja."

Dhara yang mendengar omelan temannya tidak menggubris, ia mengelus kepala Anya yang dibaringkan di dadanya. "Anya kenapa nggak sekolah?" tanyanya.

Anak gadis itu mengangkat kepalanya, menyingkirkan helai-helai rambut yang menghalangi pandangannya. "Nggak bisa!" jawabnya cepat. Dhara maupun Rista dibuat kaget dengan suaranya yang mengintimidasi. "Pokoknya Anya harus jaga Mama sama Om Pam. Nggak boleh ada yang sakit lagi. Nanti Anya marah."

Gadis yang berada di atas ranjang yang sama dengan mamanya itu menyilangkan kedua tangan di dada, menatap mamanya lekat-lekat. Hal itu pun membuat Rista tak lagi bisa menahan gemas. Selesai dengan bunganya, Rista segera mendekati Anya dan meraih tubuh anak itu dalam gendongannya. Menciumi pipinya berkali-kali hingga si anak menggeliat tidak nyaman.

"Tanteee ... nanti rambut Anya rusak."

"Ih, tumben nggak dikepang?"

Rambut hitam nan panjang anak itu berayun-ayun ketika Rista menggoyangkan tubuh si gadis, membuatnya makin merengek jengkel. "Nggak ada yang bisa ngepang. Tante juga nggak bisa, kan? Tangan Anya masih pendek belum bisa kepang sendiri."

Dhara tergelak mendengar penjelasan anak semata wayangnya, sementara Rista cemberut kemudian mencubit gemas pipi Anya. "Aduuuh, Anya Sayang. Kenapa kamu gemas banget, sih?"

"Oh, iya, Ta. Pram gimana keadaannya?"

Rista menoleh Dhara seraya menurunkan Anya dari gendongan, mengembalikan posisi anak itu di sisi mamanya. Kemudian mengambil duduk di sofa dan menenggak air mineralnya sebelum memberikan jawaban.

"Jauh lebih baik dari yang nanya."

Dhara mendengkus. Ia meluruskan wajahnya dengan langit-langit putih. "Bisa-bisanya aku nggak tahu apa-apa soal alergi dia. Padahal--"

"Stop!" sela Rista. Ia bangkit dari sofa dan menghampiri Dhara. Bersiap untuk mengomel lagi, tetapi perempuan itu segera memotongnya.

"Iya, iya. Kalau gitu, nanti sehabis makan siang temenin jenguk, ya?"

"Uhm, gimana, ya? Soalnya sudah ada janji sama klien siang nanti." Rista meletakkan telunjuknya di dagu, berlagak berpikir.

"Taaa ...."

Rista pun menghela napas dan mengembuskannya panjang, kemudian mengangguk dua kali. Dhara tersenyum sembari berterima kasih. Setelahnya Rista kembali menjahili Anya dengan memainkan rambut anak itu.

"Ih, Tante. Mamaaa ...," rengeknya kesal.

Dhara mendecakkan lidah ke arah Rista, tetapi malah mendapatkan juluran lidah seperti anak kecil.

"Nanti kalau Mama udah sembuh Anya mau Mama potong rambut Anya kayak punya Mama, deh. Biar nggak ribet."

Dhara dan Rista pun tergelak.

...

"Sorry banget, ya, Pram. Aku beneran nggak tahu, serius."

Pram membenahi posisi duduknya dan menyingkirkan selimut. Kaki telanjangnya ia biarkan menyentuh keramik yang dingin."Iya, Ambar. Mau berapa kali aku harus nanggepin maaf kamu?"

Perempuan yang memakai setelan berwarna magenta tersebut menyengir sembari menggosok-gosokkan kedua tangannya. Pram menggeleng, lalu mengalihkan pandangan ke arah sofa dan mendapati seorang anak perempuan sedang belajar di sana.

✓ You are the Apple of My PieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang