Potongan Ketujuh

6 2 0
                                    


Pram masuk rumah sakit. Dhara baru mengetahui kabar tersebut ketika Puguh meneleponnya pagi-pagi sekali. Segera setelah itu ia bergegas mengantar Anya ke sekolah dan mengunjungi Pram.

"Dhara?"

Pram berusaha mendudukkan diri saat mendapati Dhara sudah berada di sisinya saat ia membuka mata. Aroma obat-obatan yang memualkan pun segera menyerang indra penciumannya.

"Gimana? Mendingan?" tanya Dhara sembari meraih segelas air dari nakas dan memberikannya ke Pram. Raut wajahnya tegang dan diselimuti kekhawatiran. Tak kalah pucat dari milik Pram.

"Makasih. Udah mendingan, kok."

Dhara menghela napas panjang dan membuangnya pelan. Lega. Hampir saja ia menyusul menjadi pasien saking terkejutnya. "Kamu, tuh .... kenapa bisa sampai pingsan? Kamu bikin jantungan tahu, nggak."

"Capek aja. Infusnya habis juga sudah bisa pulang."

Dhara tidak percaya, ia menatap Pram dengan tatapan penuh selidik. "Serius?"

"Iya, Dhara Gantari."

"Muka kamu pucat banget, loh. Mana dokter yang menangani kamu? Aku mau dengar sendiri."

Pram memperhatikan Dhara yang menoleh kanan-kiri. Merasa bahwa dirinya sangat dikhawatirkan, Pram pun tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagia yang membuncah. Ia tahu ini bukan yang pertama, tetapi kali ini dirinya merasa berbeda. Dan itu perbedaan yang membuatnya makin jatuh cinta kepada Dhara.

Setelah infusnya habis, seorang perawat datang dan memperbolehkannya pulang. Dhara mengantarnya pulang setelah menjemput Anya. Anak itu sampai menangis setelah mengetahui bahwa om-nya baru keluar dari rumah sakit.

"Anya, sudah, ya. Om Pam nggak apa-apa, kok. Maaf, ya, sudah bikin Anya khawatir."

Anya masih sesenggukan dalam pelukan Pram. Anak itu memeluknya erat-erat, menolak untuk melepaskan. "Ayah nggak boleh sakit. Anya ... takut."

Pram melirik Dhara yang sedang mengemudi dan mendapati perempuan itu meliriknya dari kaca spion. Keduanya saling pandang untuk sesaat.

"Anya, Om Pram udah baikan. Anya lepasin Om Pram, ya. Nanti om-nya nggak bisa napas, Sayang."

Anya tidak menggubris, bahkan makin mengeratkan pelukannya pada lelaki yang masih tampak pucat itu. Tidak butuh waktu lama mobil berhenti di halaman rumah Dhara, Pram yang menyadari itu pun bertanya padanya.

"Aku nggak bisa biarin kamu tinggal sendiri di toko dengan keadaan kamu seperti ini. Aku juga sudah minta Puguh untuk menutup toko."

"Tapi, Ra---"

"Seenggaknya demi Anya."

Pram pun tidak bisa membantah. Ia melirik Anya yang terlelap dalam gendongan Dhara, kemudian mengangguk satu kali. Anak itu sangat memedulikannya dan tidak ada yang bisa ia katakan untuk berusaha menolak. Lagi pula, bukankah ini menjadi kesempatan yang bagus untuk bisa menghabiskan waktu bersama Dhara?

Rumah Dhara terbilang cukup besar untuk ditinggali dua orang. Terlebih keduanya jarang berada di rumah untuk menghabiskan waktu kecuali waktu tidur. Pram memutuskan untuk berkeliling di sekitar ruang tengah, mengabsen satu per satu hiasan dinding yang sama sekali tidak berubah sejak dulu. Ada satu pigura berukuran lumayan besar yang dari dulu selalu menariknya untuk mendekat. Sebuah pigura berbingkai putih dengan potret bahagia dua orang bergaun pengantin di balik kaca. Itu adalah Dhara dan Tara. Kedua teman baiknya.

"Kamu bisa lihat, Tara. Aku percaya diri bisa membahagiakan Dhara buat kamu. Tapi kenyataannya, sekadar menatap matanya aja aku udah kehilangan kepercayaan diri itu." Pram menjeda monolognya. Melemparkan senyum masam yang ia tujukan untuk dirinya sendiri.

✓ You are the Apple of My PieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang