Potongan Keenam belas

7 2 0
                                    


"Oh, I see. Terus, sekarang kamu stop bikin kue gitu aja? Kan, bisa bikin di sini terus pasarin secara online."

Pram menyunggingkan senyum mendengar tanggapan Ambar setelah mendengar ceritanya tentang Old's Pie. Ia pun membenarkan perkataan itu, tetapi sejujurnya ia benar-benar tidak rela untuk melepas sumber kesenangannya begitu saja.

"Bukan berhenti, sih. Bisa dibilang rehat. Nanti balik pas udah oke."

Ambar manggut-manggut sembari membalik ikan nilanya. "Ah, atau gini aja, deh. Aku beli gedung ini dari saudara kamu, terus anggap aja aku menyewakannya ke kamu. Gimana?"

"Makasih, Ambar. Tapi, aku sendiri masih bisa handle, kok."

Ambar tampak mendengkus. "Sorry to say, ya, Pram. Aku lagi bukan kasih bantuan, tapi sedang mencari kesempatan bisnis yang ada."

Pram tidak memberikan tanggapan dalam waktu dekat. Ia masih sibuk menyusun potongan apelnya ke dalam loyang.

"Gini, loh, Bapak Prama. Kamu tahu sendiri aku berpengalaman di bidang ini, kan? Nah, maksud aku, anggap aku sebagai investor utama dan kamu akan aku pekerjakan sebagai chef-nya nanti. Gimana?"

Pram lagi-lagi masih terdiam dan tampak berpikir. Ambar yang menunggu jawaban sambil memainkan sutilnya di udara pun dibuat tak sabar.

"Aku pikirin nanti, deh."

Satu embusan napas panjang pun akhirnya lolos dari mulut Ambar.

Pram kemudian mengeluarkan pie-nya dari panggangan sementara Ambar yang telah selesai dengan hidangan utama menunggunya di meja makan. Keduanya memutuskan untuk makan malam di rumah atap alih-alih ke restoran yang sempat ingin Ambar kunjungi bersama. Namun, seperti yang terlihat saat ini, memasak makan malam sendiri jauh lebih menyenangkan.

"Wah, kayaknya pernah kenal sama aroma ini, deh," komentar Ambar ketika seloyang pie apel diletakkan di hadapannya.

"Ya, pasti. Kan, kamu yang punya resep," imbuh Pram. Ia turut mengambil duduk di seberang Ambar dan memotong segitiga pie apelnya, lalu menyerahkannya ke perempuan itu.

Ambar yang mendengar sanjungan itu pun mendecakkan lidah. "Dulu cuma ngajarin seadanya padahal. Masalah resep, mah, rahasia dagang masing-masing, lah."

Pram manggut-manggut sembari menyunggingkan senyum sebagai respons. Ia kemudian mengambil lauk dan meletakkannya di piring Ambar, yang membuat perempuan berkaus kebesaran tersebut menatapnya tersanjung.

"Maksudnya apa, nih, aku diperlakukan begini?"

Pram terkesiap. "Diperlakukan gimana? Ngambilin lauk? Bukannya dulu juga begini?"

Ambar berdeham untuk menetralisir suasana. Ia pun segera menyuap nasi dan mengunyahnya buru-buru. Pram tertawa kecil diiringi gelengan kepala.

"Pram."

"Ya?"

"Perempuan yang tadi siang itu ... dia?"

Pram menelan kunyahannya buru-buru sehingga membuatnya tersedak. Ambar pun memberikannya air. "Biasa aja, dong."

"Lagi pula bahasnya tiba-tiba."

"Jadi ...."

"Makan dulu, ngobrolnya nanti."

Ambar pun mengembuskan napas dan menelesaikan makannya. Begitu pula Pram. Selesai makan malam dan bersih-bersih, keduanya kini duduk di kursi atap. Malam yang lumayan dingin memaksa Pram untuk membuat api unggun kecil di tong sampah.

Berteman seloyang pie dan dua cangkir teh osmanthus buatan Pram, Ambar berkesempatan untuk menginterogasi teman lamanya tersebut. Pram pun menjelaskan situasinya bersama Dhara ke Ambar tanpa ragu, bahkan ia pun mengakui dirinya yang terlibat cinta sepihak dengan perempuan itu. Ambar tidak mengeluarkan kalimat apa pun selama lelaki itu mengutarakan perasaannya.

✓ You are the Apple of My PieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang