Potongan Ketujuh belas

4 2 0
                                    


Jika seseorang bertanya perihal ketakutan terbesar apa yang ia miliki, Dhara hanya memiliki satu jawaban. Kehilangan. Ia takut ditinggalkan. Sebab kehilangan seseorang yang setiap harinya berbagi waktu dengannya sama saja ia telah kehilangan separuh hidup. Jika salah satu sepasang kaki yang dulu melangkah bersama patah, maka tidak ada yang bisa menggantikan posisi kaki itu.

Namun, Dhara sangat beruntung ketika menemukan satu kaki lain yang bersedia membantu topangan hidupnya. Prama Loka. Lelaki yang sangat membenci makanan manis, tetapi malah mengambil kelas baking setelah lulus sekolah menengah dan menjalankan toko kue setelahnya. Lelaki yang menyukai anak-anak hanya karena mereka terlihat polos dan manis, tidak peduli senakal apa pun mereka.

Kata Pram, "Anak-anak itu nggak ada yang nakal, Ra. Mereka cuma sedang berada di fase aktifnya. Jadi, kalau Anya rewel itu bukan karena dia nakal, cuma lagi pengin perhatian mamanya aja."

Dhara bahkan tidak percaya bahwa lelaki itu masih sendiri melihat fakta dirinya yang sangat memahami anak-anak. Pram juga pernah bilang, "Memahami anak-anak itu ada seninya, Ra. Kalau mau kamu bisa ambil private class di aku. Gratis dua kali pertemuan di akhir pekan. Tapi rebahan aja sambil ngopi."

Pram memang gemar bercanda. Selama hampir tigabelas tahun lamanya ia berteman dengan lelaki itu, Dhara baru menyadari bahwa ia terlalu tidak tahu apa-apa tentangnya. Termasuk fakta bahwa Pram memiliki alergi yang sama seperti Anya, putrinya.

"Beruntung pasien segera mendapatkan penanganan. Karena jika terlambat, reaksi alerginya bisa menjadi anafilaksis yang bisa menyebabkan kefatalan," jelas dokter.

Dhara maupun Ambar saling pandang dengan kerutan di dahi. "Alergi?" tanya Ambar. Kedua matanya memelotot karena terkejut

Dokter lelaki itu mengangguk. "Sebelumnya pasien pernah dirawat karena kejadian serupa. Jadi, tolong lain kali lebih berhati-hati dengan makanan dengan kadar gula. Saya permisi."

Dokter meninggalkan dua perempuan sebaya itu di dalam ruang rawat. Keduanya memperhatikan Pram yang masih terbaring tidur karena efek obat. Dhara mengambil duduk di kursi samping ranjang, sementara Ambar berdiri di sisi lainnya.

"Bisa-bisanya dia buka toko kue sementara dia sendiri punya alergi. Ditaruh mana, sih, otakmu itu? Hampir aja aku yang mati karena jantungan."

Ambar memukul-mukul lengan Pram kesal. Dhara pun segera menghentikannya sebelum Pram makin sakit karenanya. "Kalian ...," pungkas Dhara. Ambar mengalihkan pandangan ke arah Dhara sembari mengembuskan napas panjang.

"Sorry, ya, Dhara. Aku nggak tahu kalau dia ada alergi. Padahal niatnya cuma iseng, malah jadi begini."

Dhara berdiri dan meraih tangan Ambar, merematnya lembimut seraya menyunggingkan senyum. "Kenapa minta maafnya ke aku? Lagi pula itu nggak sengaja, jadi kamu nggak usah khawatir. Pram pasti baik-baik aja, kok."

Ambar memperhatikan wajah Dhara yang tampak sendu meski tertutupi senyum di sana. Ia jadi membenarkan perkataan orang-orang, kalau seseorang dengan seseorang lainnya sudah begitu lama saling mengenal dan bersama-sama, maka mereka akan terlihat sama. Setelah ia mengamatinya, Pram dan Dhara sedikit ada kemiripan. Saling pandai menyembunyikan perasaan.

Ambar sekali lagi mengembuskan napas panjang. "Aku kayaknya harus balik dulu, deh," ujar Ambar kemudian. Ia melirik jam tangannya dan berpamitan ke Dhara. Mendengar perempuan itu menyebut anaknya, Dhara seketika teringat Anya yang ia tinggal begitu saja di rumah bersama Rista. Ia pun segera menghubungi Rista dan memberitahukan kondisi Pram.

"Titip Anya, ya. Dan jangan kasih tahu dia dulu. Besok biar aku aja yang jemput ke sini."

"Kamu nginap di sana sendiri nggak apa-apa? Perempuan yang sama dia ke mana? Nggak bertanggung jawab banget balik gitu aja."

Dhara menghela napas dan membuangnya cepat. Ia sedang tidak berada dalam keadaan baik untuk menanggapi celoteh Rista. "Sudah dulu, ya, Ta. Aku tutup. Bye."

Sambungan terputus. Dhara meletakkan ponselnya di atas nakas dan membenahi selimut Pram. Sejenak menatap sosok yang tengah terbaring lemah itu sebelum melangkah keluar dari ruangan. Ia merasa sesuatu makin mendesak di dalam dadanya, maka sebelum itu meledak di sana ia memutuskan untuk pergi ke toilet. Menatap refleksi dirinya di dalam cermin, Dhara pun menyesali ketidaktahuannya kali ini.

Setelah selesai menenangkan diri dan mencuci muka, Dhara berniat kembali ke ruang rawat Pram. Namun saat beberapa langkah lagi sampai di sana, ia mendengar suara roda brankar yang didorong begitu tergesa-gesa. Seorang dokter dan dua orang perawat berlari menyeimbangi sambil salah satunya mengangkat infus ke udara. Lutut Dhara terasa lemas, ia seolah kehilangan separuh daya tubuhnya.

Perempuan berkardigan rajut tersebut meraba-raba dinding untuk menjaga keseimbangan, dadanya terasa dihimpit oleh sesuatu. Bidang pandangnya mulai mengabur dengan pendengaran yang tak lagi fokus, seolah semua jenis suara menjejalkan diri ke gendang telinganya. Perlahan-lahan lututnya pun terjatuh ke lantai sebelum kegaduhan dunia secara bertahap menghilang dari kesadarannya.

...

"Kenapa pengin jadi damkar?"

"Dulu kakek sama ayah juga di sana. Terus menurutku damkar itu keren. Bisa menolong banyak orang."

"Tapi, kan, menolong nggak harus jadi damkar dulu, Kak."

Lelaki berkaus hitam dengan jaket oranye khas pemadam kebakaran itu menyentil dahi Dhara hingga sang empunya mengaduh. Ia kemudian tersenyum, "Nggak salah, sih. Tapi kalau bisa menolong lebih banyak orang lagi kenapa nggak?"

Dhara ingin menyanggah kalimat lelaki itu, tetapi didahului oleh suara khas anak kecil yang memanggil-manggilnya dengan sebutan 'mama'. Dhara menoleh ke sana kemari mencari suara tersebut, tetapi tidak ada siapa pun kecuali dirinya dan Kak Tara-nya. Ia pun kembali menoleh ke posisi Tara dan berniat mengeluarkan protes kecilnya lagi, tetapi eksistensi lelaki itu sudah tidak ada lagi di sana. Dhara memanggil namanya beberapa kali, tetapi tidak ada siapa pun yang menyahut. Ia pun kebingungan mencari ke sana kemari dan tetap tidak menemukan siapa pun.

Dhara lelah, ia menjatuhkan diri ke tanah. Menangis sendiri di sana. Namun, suara anak kecil itu terdengar lagi. Bukan hanya suara, tetapi sosok mungil dengan senyum manis yang sudah berdiri di depannya.

"Mama, bangun."

Dhara mendongak, menatap sosok itu lekat-lekat di sela tangisnya. Detik berikutnya ia pun mengenali anak bergaun ungu muda tersebut. "Anya?"

"Mama, bangun. Anya mau digendong Mama."

Dhara pun segera menarik Anya ke dalam pelukannya dengan erat dan enggan melepas. Namun, lagi-lagi Dhara melihat kehampaan di sana. Ia hanya memeluk udara, Anya-nya telah menghilang. Ia kembali sendiri. Hingga ia melihat sosok lelaki berjalan pelan ke arahnya. Sebelum ia berhasil menangkap figur sosok itu, sebuah suara kembali memanggil namanya dan ia pun segera membuka mata.

"Kak Tara?"

18 Juli 2024

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

18 Juli 2024

1013 kata

✓ You are the Apple of My PieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang