Potongan Kesebelas

3 2 0
                                    


Dua cangkir teh dibiarkan tak tersentuh di meja. Uap yang sebelumnya mengepul kini telah menyatu dengan udara sekitar.

Sementara ketukan jemari pada permukaan meja enggan berhenti. Sudah hampir sepuluh menit lamanya mereka berada pada posisi yang nyaris serupa. Duduk berhadapan dan saling mencuri pandang satu sama lain.

Ruang yang tampak classy dengan ornamen-ornamen sederhana, tetapi elegan tersebut menjadi saksi bisu dua manusia yang tengah membisu. Redup temaram pencahayaan kantor menjadikan hawa dingin mendominasi. Kemudian suara helaan napas panjang yang terdengar agak kesal menginterupsi.

"Maafin aku, ya, Ta. Aku udah kelewatan kemarin. Tapi aku nggak bermaksud, kok, kamu tahu itu. Aku cuma--"

Dengkusan Rista menyela. "Minta maaf tapi masih aja cari pembelaan. Bahkan harus nunggu empat hari untuk minta maaf? Nggak tulus," ketusnya.

Dhara seketika menegakkan punggung dan meraih tangan Rista yang berada di atas meja, menggenggamnya dengan harapan mendapatkan maaf dari sahabatnya itu. Ia lalu menggeleng cepat. "Nggak, nggak gitu, maaf. Aku tulus minta maaf, kok. Atau ... gini aja. Kamu mau aku melakukan apa supaya kamu maafin aku?"

Rista yang sebelumnya membuang muka segera menoleh ke hadapan Dhara. Seketika sebuah senyum mencurigakan muncul di wajahnya. "Apa pun?"

Dhara mengangguk cepat sambil tersenyum lebar, meskipun ia dapat menangkap gelagat temannya itu.

Rista kemudian mengangguk, lantas menepuk tangan Dhara yang berada di atas punggung tangannya. Mengangguk dan berkata, "Oke. Besok aku kasih tahu. Sekarang tolong kasih ini ke Pak Dedes."

Rista mengulurkan sebuah gulungan yang cukup besar. Tanpa bertanya, Dhara segera bangkit dan menerimanya. Lantas tanpa aba-aba ia memeluk Rista dan menciumi puncak kepalanya berkali-kali. Menyebabkan si empunya menggeliat tidak suka.

"Makasih, Rista Sayang. Kamu emang sahabat paling baik di dunia."

Rista mendengkus sebal seraya merapikan tatanan rambutnya ketika Dhara telah hilang di balik pintu. Namun setelahnya, perempun yang mengenakan jumpsuit magenta tersebut tersenyum-senyum sembari menggelengkan kepala.

...

Dhara menoleh ke sana kemari sambil memperhatikan ponselnya. Ia sudah sampai sekitar setengah jam lalu di kafe tempat Rista ingin bertemu. Namun, bahkan ketika latte-nya mulai mendingin pun perempuan itu belum ada tanda-tanda akan muncul. Pesannya pun tidak dibalas, panggilannya juga dibiarkan berdering.

Dhara mendesah dan bergumam, "Nggak apa-apa nggak datang. Asal dimaafin. Ini juga salah kamu, Ra."

Dhara akhirnya memutuskan untuk kembali ke kantor karena sudah lewat dari jam makan siang. Namun saat ia beranjak dari kursi, suara petikan gitar berhasil menahannya. Mendapati beberapa orang bertepuk tangan, Dhara menyibak penghalang pandangannya dan mendapati seseorang yang ia kenal duduk di belakang tiang microfon sambil memetik senar gitar.

"Pram?"

Tanpa sadar Dhara menyunggingkan senyum dan memutuskan tinggal beberapa menit untuk menyaksikan permainan Pram. Sepanjang permainannya, Pram tidak menyadari kehadiran Dhara yang berada di antara para pengunjung kafe. Dhara pun tidak berniat menampakkan diri. Setelah tepuk tangan riuh para pengunjung terdengar sesaat petikan gitar berhenti, Dhara berbalik arah dan melangkah ke pintu keluar. Namun, tiba-tiba Pram menghentikan langkahnya.

"Kamu jadi manggung di sini?"

"Manggung, kayak konser aja, Ra."

Mereka memutuskan untuk berbincang di luar kafe setelah Pram selesai dengan pekerjaannya. "Kamu ngapain di sini? Ini lumayan jauh, loh, dari kantor kalau mau makan siang."

✓ You are the Apple of My PieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang