Potongan Kedelapan

8 2 0
                                    


Langit Jakarta tidak berbintang, bahkan seusai gugur sang surya, rembulan pun enggan bersemi lantaran malas bersua kelabu awan. Sisa pencahayaan hanya berasal dari lampu-lampu jalanan yang menyala kuning. Rebas menempa jalanan, menjejaki apa saja yang jemawa menantang. Tepat saat ia mematikan mesin mobil, volume air yang turun makin menggila.

Dhara berlari kecil menuju teras, disusul Rista yang kerepotan dengan barang bawaan yang cukup banyak. Ia bahkan tidak berhenti mengumpat sepanjang malam setelahnya.

"Kurang ajar banget itu manusia, baru juga sehari jadi direktur main semena-mena sama karyawan. Kalau bukan karena butuh cuan udah kupelintir lehernya."

Dhara hanya bisa menggelengkan kepala, sudah kelewat pusing hanya untuk menanggapi celotehan temannya itu. Segelas teh osmanthus hangat pun tanpa sadar sudah tak bersisa.

"Hati-hati, nanti kamu malah kepincut sama direktur belagu," goda Dhara seraya bangkit dari lantai dan menuju dapur untuk mengisi kembali gelas tehnya.

"Amit-amit, Ra. Amit-amit!" sela Rista tak terima. Bergantian ia mengetuk-ngetuk dahinya dan permukaan meja dengan kepalan tangan. Sedetik kemudian tersenyum seperti gadis sedang kasmaran. "Lagian udah ada Dedek Fugu yang kawai."

"Yaristaaa."

Rista hanya menyengir kuda.

Perempuan bersurai sepunggung itu memutuskan menginap di rumah Dhara karena hujan lebat. Keduanya diutus untuk meninjau lokasi proyek secara langsung sebagai arsitek yang bertanggung jawab dan melewatkan akhir pekan yang seharusnya dihabiskan dengan sukacita.

Sehabis menghangatkan badan, Dhara membuat susu dan membawanya ke kamar Anya. Pintu kamar anak penyuka warna ungu itu terbuka ketika ia tiba di sana. Memperlihatkan punggung kecil yang sedang membungkuk dengan peralatan menggambar di sisi kanan dan kirinya. Sementara Puguh duduk di hadapan Anya, ia tersenyum menyapa dan segera turun dari kasur. Dhara mengembuskan napas panjang sebelum masuk ke sana. Menyadari sang mama datang, Anya mendongak dengan kedua mata yang memerah karena mengantuk.

"Anya belum tidur?"

Gadis itu menguap lebar sambil mengucek kedua mata sayunya. "Anya lupa ada tugas menggambar dari bu guru, besok dikumpulkan."

"Gambar apa? Ada yang bisa mama bantu?"

Anya menggeleng pelan. "Sedikit lagi selesai, kok. Tadi udah dibantu sama Om Fugu."

Puguh tampak tersenyum lagi. Dhara meletakkan segelas susu ke nakas dan berterima kasih ke Puguh. "Kamu nginep aja, ya, Guh. Ujan gede campur angin, udah malem banget lagian."

"Makasih, Mbak. Tapi kayaknya nggak bisa, kakak saya nggak ada yang jaga."

Dhara mengembuskan napas. Ia tidak berkata-kata lagi setelah mengantar Puguh ke ruang tengah dan meminta Rista untuk mengantar Puguh pulang. Lalu kembali ke kamar putrinya.

Dhara melihat gambaran anaknya yang tampak tak asing. Beberapa detik memperhatikan akhirnya ia sadar bahwa gambar itu mirip dengan yang diberikan Anya sebagai hadiah ulang tahunnya.

"Ini pasti Om Pram, ya?" Anya mengangguk antusias.

"Kenapa ada Om Pram?"

"Karena Om Pam sayang sama Anya. Om Pam juga selalu ada buat Anya. Seperti seorang ayah." Anak berpiama ungu muda itu tersenyum lebar, memicu sunggingan senyum dari bibir sang mama.

"Sebenarnya ini rahasia, tapi Anya sudah mengatakannya." Anya kemudian mendengkus tak percaya pada dirinya sendiri yang sudah membocorkan rahasia itu. Ia jadi merasa sangat bersalah dan berencana meminta maaf pada Om Pram-nya besok pagi.

✓ You are the Apple of My PieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang