Potongan Keenam

6 2 0
                                    

Pram menggelar tikar di atap toko sementara Anya berdiri menunggu dengan tas kesayangannya dalam dekapan. Selesai menggelar tikar dan meletakkan beberapa barang, ia menuntun Anya untuk duduk bersama.

Hari ini cukup panas, tetapi angin membebaskan mereka dari hawanya yang sesekali mendominasi. Berteman dua botol air mineral dingin dan beberapa kue, keduanya pun memulai misi kejutan untuk ulang tahun Dhara minggu depan.

"Ayah juga mau kasih hadiah ke mama, tapi ayah butuh bantuan Anya."

Pram mengeluarkan tiga gulung benang wol yang masing-masing berwarna putih, kuning dan hijau muda. Anya yang melihatnya tampak mengerutkan dahi, kedua mata bulatnya memicing karena silau. Meskipun tidak tahu apa yang akan dibuat oleh ayahnya, Anya mengangguk mengerti, kemudian mendapatkan balasan berupa usapan lembut pada kepala.

"Oke, sekarang Anya mau kasih apa buat mama?" Pram menopang kedua tangannya pada kaki yang bersila, mencondongkan badannya dan menatap gadis berponi tersebut.

Anya mengeluarkan buku gambar dan krayon dari tas, kemudian menjawab dengan polos. "Keluarga."

"Hm?"

"Bu guru bilang, keluarga adalah tempat yang paling ditunggu untuk pulang. Mama sering terlambat pulang, jadi Anya mau kasih keluarga buat mama biar bisa sering cepat pulang."

Pram menelan ludah. Ia menarik punggungnya dan kembali duduk tegak, tetapi tatapannya sama sekali tidak beralih dari anak itu.

"Oke, maksud Anya, Anya mau menggambar keluarga buat mama?"

Anya mengangguk mantap. Kemudian ia membuka buku gambarnya dan mulai menggoreskan krayon berwarna ungu.

"Ayah jangan lihat, nanti gambarnya jelek." Anak yang mengenakan bando unicorn itu membuat batas penghalang di depan buku gambar dengan tangan mungilnya, mencegah supaya Pram tidak mengintip. Ia membuat peringatan berupa tatapan tajam. Yang bagi Pram hal itu justru menimbulkan kegemasan yang sangat.

Pram mematuhi perintah, lantas meraih benang berwarna putih dan mulai mengerjakan tugasnya sendiri. Keduanya larut dalam kesibukan masing-masing, hingga memutuskan untuk menyudahi misi ketika Anya bersorak sambil mengangkat buku gambarnya setinggi mungkin.

"Yeay! Udah jadi. Punya Ayah belum jadi? Ayah buat apa, sih?" tanyanya penasaran. Ia melirik pekerjaan yang dilakukan sang ayah dengan antusias.

"Rahasia, dong." Pram menghentikan rajutannya pada benang terakhir. Kemudian menyimpan peralatannya pada kotak khusus. Anya yang tidak mendapatkan jawaban pun cemberut.

"Nanti kalau udah jadi, ayah kasih tahu Anya. Sekarang udah sore, ayah antar pulang, ya."

...

"Makasih, ya, Pram. Kardigannya cantik banget."

Pram menyesap kopi hitamnya, lantas memberikan senyum pada Dhara. "Syukur kalau kamu suka. Aku juga buat satu untuk Anya, tapi karena salah ukuran, aku ulang dari awal. Nanti kalau udah jadi aku kasih ke dia."

Sore ini langit dikuasai awan kelabu. Hawa dingin menggerayangi tengkuk, aroma tanah basah pun tercium dari kejauhan. Sepertinya, tidak butuh waktu lama hujan akan mampir ke atap Old's Pie yang sepi.

Dhara masih diganggu oleh penyataan Pram tempo hari di taman piknik. Perihal dia yang menanyakan tentang sebuah status. Meskipun Pram sempat membenarkan bahwa kalimat itu hanya gurauan, kenyataannya hal itu berhasil mengganggu jadwal tidur Dhara yang memang sudah berantakan. Dia datang hari ini pun berniat untuk membahas hal tersebut selain mengantarkan makanan sebagai ucapan terima kasih.

"Kamu buat sendiri?" Dhara bertanya tak percaya. Karena selama berteman dengan lelaki itu, ia baru saja mengetahui bahwa Pram bisa merajut.

Pram menggaruk tengkuknya dan mengangguk pelan. Ini adalah salah satu hal yang sebenarnya tetap ingin ia rahasiakan dari siapa pun, termasuk Dhara.

"Kenapa aku nggak tahu?"

"Uhm, soalnya bukan sesuatu yang harus kamu tahu?" Pram bertanya balik alih-alih memberikan jawaban pasti. Membuat Dhara mendengkus tidak terima.

"Setahuku, dulu setiap kali Nenek Lasi minta kamu untuk belajar, kamu selalu kabur karena malu. Dan sekarang kamu semahir itu? Curang."

Pram tertawa renyah, selang beberapa detik kemudian hujan mengguyur jalanan. Kilat saling bersahutan serta guntur yang menyusul kemudian. Dhara mengalihkan pandangannya ke luar jendela kaca, menyaksikan hujan yang tidak seharusnya ia benci. Ia mendesah panjang, meregangkan bahunya yang tiba-tiba kaku seraya meraih cangkir kopi. Sialnya, kopi manis tersebut hanya tersisa ampas pahit.

Pram hapal situasi Dhara ketika hujan turun, dan ia tahu persis penyebab hal tersebut. Untuk mengalihkan perhatian Dhara, Pram pun mengajak perempuan itu ke dapur.

"Aku laper. Masakin aku sesuatu."

Dhara mengernyitkan dahi. Padahal tadi ia sudah memberinya sop daging kesukaan lelaki itu dan langsung dihabiskannya. "Pram, perut kamu sejam lalu baru diisi daging sama kentang. Sekarang minta makan lagi?"

Pram mengangguk. "Sekarang pengin pencuci mulut. Buatin aku sesuatu yang kelihatan manis, tapi jangan pakai gula."

Dhara hanya bisa pasrah dengan gelengan kepala. Seketika ia melupakan hujan yang mengamuk deras di luar. Namun di sela-sela ia menguleni adonan, ia teringat lagi perihal kalimat Pram tempo hari.

"Pram."

"Hm?"

"Soal kalimat kamu tempo hari." Dhara menjeda, ragu-ragu untuk membahasnya. "Maksud kamu gimana? Uhm, oke, kamu udah jelasin kalau itu cuma bercanda. Tapi, aku---"

"Oh, itu?" Pram menyela. "Sebenarnya, itu latihan buat nembak perempuan yang aku suka. Dia juga punya anak perempuan."

Pram merasakan panas yang merambat ke dada dan naik ke wajahnya.

Dhara yang mendengarnya mengembuskan napas lega, setidaknya ia tidak harus memikirkan jawaban untuk diberikan kepada temannya itu. Karena ia tidak akan pernah bisa memberikannya. Setidaknya tidak dalam waktu dekat. "Oh, kamu berniat serius sama perempuan itu? Sebenarnya siapa, sih, Pram? Kenalin, dong."

"Nanti, deh. Sekarang buat dulu kuenya. He-he."

Pram memaksa senyum pada bibirnya. Ia memilih untuk berdiri di dekat jendela di belakang Dhara. Menyaksikan derasnya hujan yang menyebabkan gigil terhadap bumi. Angin dingin yang sesekali menerobos masuk melalui kisi-kisi jendela menimbulkan sensasi ngilu sesaat.

Mungkin jawaban itu merupakan yang paling tepat untuk saat ini. Setidaknya ia sudah memberikan kode terbuka, meskipun pada akhirnya masih tetap menyembunyikan hatinya.

Hujan di luar makin menggila ketika panggilan salat sayup-sayup terdengar merdu. Dhara pun telah selesai menguleni adonan, lalu membalikkan badan dan menatap Pram yang bersedekap dan bersandar pada dinding di depannya.

"Pram, kenapa kamu nggak suka makanan manis?"

"Hm?"

"Aku yakin jawaban kamu sebagai pewaris satu-satunya itu nggak seutuhnya benar. Jadi kenapa kamu, yang sama sekali nggak suka manis, bisa membuat kue semanis itu sendirian?"

Pram menjilat bibirnya yang kering, mendapatkan beberapa pertanyaan mendadak dalam satu waktu membuatnya gugup untuk menjawab. Sebab hal ini merupakan rahasia nomor tiga yang tidak boleh ia beritahukan pada siapa pun, termasuk Dhara.

"Soalnya aku aja sudah manis, takut diabetes. He-he."

Manis kan ya, Om Pam-nya Anya?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Manis kan ya, Om Pam-nya Anya?

22 Juni 2024

1011 kata

✓ You are the Apple of My PieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang