Potongan Kesepuluh

8 2 0
                                    


Meskipun sejujurnya Pram masih ragu untuk menyerahkan toko ke Darma, pada akhirnya ia tetap kalah. Setelah berkemas, Pram memutuskan untuk membagikan kue yang tersisa secara gratis ke pejalan kaki yang melintas. Dibantu oleh Puguh dan Dhara, mereka menghabiskan waktu hingga siang hari.

"Makasih udah mau bantu."

Puguh mengangguk sekali sebagai respons, sementata Dhara hanya menatapnya. "Barang-barang yang di sini mau dikemanain, Mas?"

"Mau saya bawa ke atas."

"Terus, Mas Pram nggak bakal bikin kue lagi?"

Pram tidak segera menjawab, ia meneguk air mineral hingga tinggal setengah. Kedua matanya menyisir ruangan yang kini kosong dengan sedih.

"Masih," jawabnya. "Tapi untuk sekarang, saya mau melakukan sesuatu yang dulu pernah saya tinggalkan."

"Maksud, Mas Pram?"

Ya. Pram pernah meninggalkan sesuatu yang pernah dikaguminya. Musik. Ia meninggalkan musik untuk belajar membuat kue. Sejak sang kakek meninggal dan dirinya yang saat itu masih sekolah harus mengelola toko, ia dengan berat hati menyimpan gitar kesayangannya. Tiga belas tahun lalu hingga hari ini, ia sama sekali tidak pernah menyentuh gitar itu.

"Padahal kamu dulu jadi pentolan Bayanaka karena gitar ini, loh." Dhara berkomentar setelah Pram mengeluarkan gitarnya dari lemari dan membawanya ke luar. Kini mereka berdua berada di atap setelah mengangkat barang-barang toko ke sana.

Pram membenarkan dengan bangga. Meskipun dulu tidak sepopuler sang vokalis, Tara, Pram cukup dikenal oleh seantero SMA Bayanaka karena kepawaiannya bermain gitar. Namun kali ini, Pram merasa ragu ketika ingin menjamah senarnya.

"Sekarang aku nggak yakin masih ingat kunci dasarnya."

Dhara tergelak, ia masih ingat ketika pertama kali melihat Pram memetik gitar di atas panggung aula. Dan lagu yang sedang dimainkan Pram saat itu adalah lagu favoritnya. Dari sanalah Dhara memperkenalkan diri pada Pram untuk pertama kali, dan siapa sangka menjadikan mereka sahabat hingga kini.

"Eh, Pram. Mainin lagu yang pertama kali kita ketemu, dong."

"Lagu apa?"

Dhara mendecakkan lidah. "Masa lupa, sih? Itu ... Kahitna."

Pram mencoba mengulik ingatannya. Namun, ia tidak bisa menemukannya. Dhara yang tampak tak sabaran pun akhirnya menyanyikan potongan lirik lagu tersebut.

"Kini rindu yang kupunya hanya untukmu ... Hanya padamu ...
Apabila kita memang mesti bersatu ... Mengapa harus ragu ...."

Dhara terlalu menghayati setiap kata dari lirik tersebut hingga tidak sadar bahwa Pram sedang memperhatikannya. Tatapan mata yang bukan hanya sekadar kagum, melainkan tatapan penuh cinta yang terlalu dalam dipendam. Pram sekilas mengingat masa lalu ketika Dhara tiba-tiba bertepuk tangan heboh setelah ia selesai memainkan gitar, senyum lebar perempuan itu telah menawannya untuk ke sekian kali.

"Ehm, ehm."

Pram terkesiap dari lamunannya dan terbatuk-batuk untuk menyamarkan keterkejutannya. Ia bahkan memetik senar asal beberapa kali. Menunggu respons dari Dhara, ia menggeser pantatnya agak menjauh dari jangkauan langsung perempuan itu.

"Masih nggak ingat?" Dhara merajuk, ia kemudian membuang muka.

Senja perlahan turun ke peraduan, atap-atap rumah warga tampak kemerahan seperti disiram cat secara bersamaan. Sedetik kemudian, suara petikan gitar terdengar nyaring terbawa angin. Dhara seketika menyunggingkan senyum semringah, kepalanya manggut-manggut mengikuti irama ketukan gitar.

✓ You are the Apple of My PieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang