Potongan Kesembilan belas

8 3 0
                                    


Dhara membuka laci nakas dan mengambil kardigan, ia jadi teringat ketika Pram mengatakan akan memberikan kardigan yang sama untuk Anya, kemudian ia segera memakainya sembari menunggu Rista selesai mengantar Anya di kamar mandi. Ketika keduanya keluar, Rista memuji-muji Anya yang sangat pandai menggunakan toilet beserta tata kramanya. Anak itu semerta-merta menarik lengan sang mama dan menariknya tidak sabar.

"Mama, ayo ketemu Om Pam."

"Iya, Sayang. Ini udah mau berangkat. Ayo." Dhara pun menggandeng tangan mungil anaknya, memberikan isyarat tatapan agar Rista berjalan di depan.

Selesai makan siang, mereka sudah berencana untuk menjenguk Pram. Anya terus saja merengek untuk menemui omnya tersebut dan mendesak untuk segera melihatnya. Dhara mengiakan karena ia sendiri butuh bertemu dengan lelaki itu. Namun di tengah-tengah jalan, Rista berhenti mendadak. Menyebabkan Anya yang terlalu bersemangat menabrak pantatnya dan mengaduh. Lalu-lalang orang di koridor pun merasa terganggu dengan mereka.

"Kenapa, Ta?" tanya Dhara sambil menarik Anya ke tepi.

"Buahnya ketinggalan."

Dhara mendengkus, lalu meminta Rista untuk segera mengambilnya. Anya pun turut serta karena memiliki sesuatu yang harus ia lakukan dengan parsel buah tersebut. Karena akan terlalu lama jika ia menunggu di koridor sendiri, ia pun memutuskan untuk lebih dulu ke ruangan Pram. Namun ketika baru saja ia memegang gagang pintu, seorang perempuan sudah berada di sana dan mengobrol dengan Pram. Dhara berniat mengurungkan niatnya untuk masuk, tetapi langkahnya terhenti ketika suara lelaki itu masuk ke gendang telinganya. Meskipun jarak ranjang dan pintu cukup jauh apalagi terhalang oleh pintu, suaranya masih tertangkap jelas olehnya. Perempuan itu pun memutuskan untuk mendengarkan lebih lanjut.

Dhara mengangkat wajahnya terkejut ketika mendengar pengakuan lelaki tersebut mengenai masa lalunya. Pram tidak pernah mengungkit perihal masa lalu itu padanya. Mendengar lelaki itu justru mengatakannya pada orang lain membuatnya merasa bersalah. Yang membuatnya tersadar bahwa ia tidak tahu apa-apa tentang hidup Pram, kecuali kepedulian lelaki itu yang tulus padanya.

Dhara menahan desakan tiba-tiba di dalm dadanya. Genggaman tangannya pada gagang pintu makin kuat seiring embus napas berat yang keluar dari paru-parunya. Ia ingin menyela masuk ketika terdapat jeda lumayan lama di antara obrolan mereka. Namun, sekali lagi permepuan itu harus menahan keinginannya ketika mendengar seseorang yang bersama Pram mengatakan sesuatu.

"Jadi papa sambungnya Nara, mau?"

Dhara melihat Pram dari balik figur belakang perempuan yang ia ketahui adalah Ambar. Menunggu jawaban dari temannya itu.

"Jangan bercanda begituan di depan anak-anak."

"Nggak bercanda, aku serius. Kamu juga pernah bilang mau mencobanya dulu, kan?"

"Kan, cuma bercanda, Mbar. Kamu juga tahu itu."

"Nope. Aku menganggapnya serius, loh. So, sebagai laki-laki kamu harus bertanggung jawab karena sudah memancing duluan."

Dhara merasakan dadanya bergemuruh tanpa alasan yang ia tahu. Ia kian mengeratkan genggamannya pada gagang pintu, menahan diri untuk tidak mendobraknya. Matanya membelalak ketika mendapati Ambar menangkup wajah Pram dan saling berdiri berhadapan. Jarak yang tampak tak sampai dua jengkal membuat Dhara makin tak tahan. Ia pun mendorong pintu itu kuat-kuat dan mengejutkan dua orang dewasa dan satu anak gadis di dalam sana.

"Oh, sorry. Aku salah pilih waktu buat masuk."

Ambar menggeleng gugup. Perlahan senyumnya memudar seraya menoleh ke arah Pram yang mati kutu. Seperti seorang suami yang tertangkap basah sedang berselingkuh.

✓ You are the Apple of My PieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang