Potongan Kedua puluh enam

4 1 0
                                    


Pram pernah berpikir bahwa tidak seharusnya ia menjadikan Dhara sebagai teman. Ia menginginkan lebih dari sekadar nyaman dan memilih untuk menentang perasaannya, tetapi pada kenyataannya, ia kalah bahkan sebelum memulai dengan benar.

Lelaki itu berandai-andai, bagaimana jika saat itu ia mengejar Dhara yang tertawa-tawa dengan temannya setelah membeli sekotak pie apel dari toko? Apakah perempuan itu juga akan merasakan hal yang sama ketika ia mengungkapkannya? Bagaimana jika saat itu Dhara memang mau menerimanya?

Namun, kata 'seandainya' tidak akan ada jika semua hal yang manusia bayangkan terjadi saat ia menginginkannya saat itu juga. Garis pemisah yang ia lukis di antara dirinya dan perempuan itu terlalu tebal untuk dikikis. Pada akhirnya, hal itu menyebabkannya kesulitan menggapai Dhara yang berada tepat di depan mata. Dan garis itu kian melebar ketika orang lain datang, lalu membangun dinding pemisah yang membuatnya makin kesulitan memperhatikan perempuan itu.

"Pindah ke tempatku dulu, deh. Lagian masih kosong dan aku juga belum pasti bakal pindah kapan."

"Sorry, jadi ngerepotin."

Ambar memutar bola matanya seraya bersedekap. "Biasa aja, deh. Lagian juga nggak gratis."

Pram menoleh cepat ke arah Ambar, perempuan yang mengenakan setelan merah marun itu pun semerta-merta tergelak melihat ekspresi temannya. Pram mendengkus kemudian mengangkat sisa kardus berisi barang-barang toko dan rumahnya ke truk pengangkut. Sesuai kesepakatan mereka, Old's Pie akan direnovasi. Yang artinya ia juga harus pindah dari rumah atap untuk sementara sampai renovasinya selesai. Dan untuk menghemat pengeluaran, ia menerima tawaran Ambar untuk menempati apartemennya.

"Sudah semua?" tanya Ambar. Lelaki itu mengangguk sembari melepas sarung tangan dan mengelap peluh yang meleleh di pelipis.

"Aku duluan, ya. Atau mau ikut sekalian?" tanya Ambar lagi.

"Duluan aja. Masih ada yang harus kuberesin di atap."

Perempuan itu mengacungkan kepalan tangan dan berlalu meninggalkan area toko, truk yang mengangkut barang-barang Pram pun turut serta di belakang. Setelahnya, Pram kembali ke atap dan menelisir setiap sudut kamar yang tampak lebih lega. Ia kemudian berjongkok di lantai dan membuka kotak kayu berukuran sedang yang berisi beberapa mainan lama serta sebuah pigura. Pram mengangkat pigura terbalik tersebut dan tersenyum ketika mendapati foto dirinya, Dhara di tengah dan Tara yang tersenyum lebar dengan buket bunga di tangan masing-masing. Foto itu diambil saat kelulusan dua lelaki tersebut.

"Rasanya kayak mau balik ke masa itu dan mengajak kamu ke suatu tempat yang romantis, Ra. Seandainya waktu itu aku langsung bicara sebelum kamu menyatakan cinta ke Tara, apa aku punya kesempatan untuk memiliki kamu? Atau, seandainya waktu itu aku nggak maksa ngadain perayaan di atap, apa seenggaknya aku sama kamu yang bersama sampai sekarang?"

Pram mengembuskan napas berat. Ia menjeda monolognya cukup lama sembari menatap figur masa muda mereka di balik kaca dan membuka memori lama. Lelaki itu lantas menarik simpul tipis pada bibir dan meletakkan kembali pigura tersebut ke dalam kotak dan beranjak keluar. Sebelum benar-benar meninggalkan gedung lama ini, Pram ingin merekam kembali setiap sudut kenangan yang masih terjebak di sana.

Saat lelaki itu membalikkan badan dan kaki kanannya menginjak anak panah pertama, Pram dikejutkan oleh sosok Dhara yang sudah berdiri di bawahnya. Setelah menghilang tanpa kabar saat malam ulang tahun Anya beberapa minggu lalu, perempuan itu tiba-tiba menemuinya hari ini.

"Maaf," ucap Dhara. "Aku tahu maaf aja nggak akan cukup untuk semua yang sudah aku lakuin ke kamu. Tapi, aku masih butuh waktu untuk memulainya kembali. Aku masih nggak sanggup jika masih berutusan dengan masa lalu. Jadi, hari itu ...."

Dhara menjeda kalimatnya, membasahi bibirnya yang agak bergetar sembari menunduk menekuri lantai. Pram tidak segera memberikan tanggapan, lelaki itu hanya menatap lawan bicaranya dalam diam.

Seseorang harus menyelesaikan masa lalu jika ingin memulai masa depan, bukan? Awalnya itu memang sangat berat, beberapa hari atau minggu pun sejujurnya tidak akan cukup untuk itu. Namun, karena Dhara menyadari seseorang mungkin tidak akan bersedia menunggu sedikit lebih lama lagi dan perasaan takut akan kehilangan kesempatan untuk menebus perasaan seseorang itu, akhirnya ia memutuskan kembali hari ini.

Perempuan itu mengangkat wajah dan menatap Pram lamat-lamat. Begitu pula yang dilakukan oleh Pram, lelaki itu bahkan tidak bisa menyembunyikan perasaan membuncah yang ingin meledak di dalam dirinya. Ia senang pada akhirnya Dhara kembali dan bersedia mengungkapkan segala kecemasannya. Meskipun ia juga tahu bahwa seseorang yang telah mencintai seseorang lain dengan sepenuh hati tidak akan begitu mudah membaginya lagi dengannya.

"Aku cuma ... cuma takut kalau seandainya kita bersama lalu tiba-tiba ikatan itu terputus dan memengaruhi pertemanan kita yang sudah sejauh ini. Karena kamu orang penting dalam hidup aku, Pram. Aku nggak mau hanya karena keegoisan masing-masing malah membuat hubungan itu hancur."

"Kamu tahu dari mana?" sela Pram. "Aku maupun kamu nggak ada yang mampu melihat masa depan, kan? Aku paham kamu masih nggak bisa melepas ikatan masa lalumu, aku pun nggak pernah meminta apalagi memaksamu untuk melakukannya."

Pram memberikan spasi panjang pada kalimatnya untuk menata napas, kedua tangannya kemudian meraih dan menggenggam tangan Dhara. Sementara perempuan itu berusaha agar tidak menitikan air mata. "Aku cuma minta waktu kamu untuk mendengarkan perasaanku, Ra. Aku cuma minta untuk diakui sebagai seorang lelaki alih-alih sekadar sahabat baik. Aku bisa menjanjikan kebahagiaanmu hari ini, apa pun yang akan terjadi di depan, itu akan menjadi urusan lain lagi. Karena yang aku yakini saat ini adalah menemani kamu dan Anya sebagai teman hidup. Bukan hanya teman dekat."

"Itulah kenapa aku ke sini."

Pram terkesiap ketika perempuan itu menggenggam kembali tangannya. "Aku mungkin belum bisa sepenuhnya memberikan waktuku untuk kamu. Aku nggak datang malam itu karena untuk meyakinkan diri sebelum mengambil keputusan yang tepat. Aku nggak mau membuat kesalahan dengan terburu-buru dan menyesalinya di kemudian hari. Itulah kenapa aku datang hari ini."

Keduanya saling beradu tatap. Pram menelan ludahnya karena gugup, Dhara yang sedikit mendongak untuk menyamakan tatapannya kemudian menyunggingkan senyum manis. "Pram, kali ini aku yang akan menunggu. Kamu perlu menyiapkan diri dengan baik untuk memulainya."

"Ra?"

"Aku tunggu di sini setelah gedung selesai direnovasi. Sampai ketemu saat itu tiba."

Pram tidak tahu betul apa yang ia rasakan saat ini. Namun sepertinya, itu adalah suatu hal baik yang layak untuk dirayakan. Lelaki itu semerta-merta menyunggingkan senyum lebar dan berselebrasi ketika Dhara telah menghilang dari jangkauan matanya. Langit yang biru cerah tanpa awan adalah pertanda bahwa hari baik memberikan keberuntungan padanya.

 Langit yang biru cerah tanpa awan adalah pertanda bahwa hari baik memberikan keberuntungan padanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

28 Juli 2024

1025 kata

✓ You are the Apple of My PieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang