Potongan Kedua belas

2 1 0
                                    


Sudah berjalan satu minggu selepas Pram menyerahkan toko ke Darma. Dan selama itu pula ia sama sekali tidak menyentuh tepung beserta sisa apelnya. Ia menatap tumpukan keranjang kayu yang telantar di pojokan. Kemudian menghela napas panjang, berdiri di tepian atap sambil memperhatikan beberapa orang yang keluar-masuk toko di bawahnya. Sebuah mobil pikap tampak terparkir di depan pintu.

Laki-laki berkemeja biru muda dengan lengan digulung tersebut menopangkan kedua lengannya pada pembatas atap, lalu mendongak ke langit yang masih saja kelabu. Sejenak ia teringat wajah Kakek Wantara, sekejap kemudian sebuah suara yang terdengar agak cempreng membuyarkan lamunannya.

"Ayah!"

Anya melambai dengan riang dari bawah bersama Puguh yang masih mengenakan seragam sekolah. Pram menebak keduanya baru kembali dari sekolah dan langsung mampir ke sini. Pram membalas lambaian tangan Anya dan memberikan isyarat untuk tetap di sana karena ia akan menyusul ke bawah. Sebelum turun, Pram meraih parsel apel yang sudah disiapkannya tadi pagi dari atas lemari es dan bergegas menemui kedua anak itu.

"Mas Pram," sapa Puguh. Ia melepaskan gandengannya dari tangan Anya ketika anak berkepang dua tersebut berlarian menghampiri Pram.

Pram segera menyerahkan parselnya pada Puguh saat Anya tiba-tiba merengek untuk digendong. Dengan senang hati ia menuruti, lalu mencium pipi tembam Anya dan mendapatkan balasan secara langsung. Puguh yang menyaksikannya merasakan sebuah kehangatan, yang membuatnya membatin jika akan lebih baik apabila mantan bosnya tersebut menjadi orang tua Anya.

"Kamu pulang aja nggak apa-apa. Sekalian saya titip buahnya buat kakak kamu. Maaf, ya, nggak bisa jenguk."

Puguh menggeleng seraya melihat parsel apel di tangannya. "Ah, nggak apa-apa, Mas. Kebetulan sore ini udah bisa pulang, kok."

Pram mengangguk sebagai respons. Anya yang berada di gendongannya menatap mereka bergantian, kemudian sebuah suara aneh terdengar dari perut gadis kecil tersebut.

Anya meringis menatap Pram seraya berkata polos, "Anya laper."

Pram dan Puguh saling menatap dan sama-sama tidak bisa menahan gelak tawa. "Ya udah, kamu bisa pulang. Nanti biar saya yang kasih tahu mamanya Anya."

"Oke, Mas. Terima kasih," ucapnya. "Anya, Om Fugu pulang dulu, ya? Sampai jumpa besok."

Anya tersenyum tulus sambil mengangguk di atas gendongan Pram. "Makasih, ya, Om Fugu. Tapi besok Anya libur."

Puguh dan Pram lagi-lagi secara bersamaan saling menatap, kemudian remaja kelas sebelas tersebut tertawa kikuk. "Oh, iya, ya. Om Fugu lupa."

Setelah punggung Puguh menghilang di ujung jalan, Pram membawa Anya ke atas dan membiarkannya bermain sembari ia menyiapkan makan siang yang terlambat untuk anak sahabatnya itu. Karena selera makan Anya yang sulit untuk ditangani, Pram membiarkan Anya yang memilih. Namun tanpa terduga, seperti paham dengan isi kulkas Pram, gadis yang tengah menggambar itu memintanya untuk dibuatkan sandwich saja.

"Silakan, Nona. Sandwich tuna pesanan Anda siap untuk dimakan. Silakan." Pram berlagak layaknya pramusaji restoran mewah yang melayani pelanggannya dengan sepenuh hati sembari meletakkan dua potongan besar sandwich di meja.

Anya pun semerta-merta meninggalkan krayonnya dan berlari kecil. Kedua pupil matanya melebar dengan binar cemerlang ketika mencium aroma lezat tersebut.

"Waaah. Ayah lebih hebat daripada mama."

"Iya?"

Gadis itu mengangguk seraya mengangkat potongan pertama yang tampak menyaingi lebar wajahnya. "Mama kalau buat banyak sayurnya, Anya nggak suka. Tapi karena ini Ayah yang buat, Anya pasti akan menghabiskannya."

✓ You are the Apple of My PieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang