Potongan Kedua puluh

5 2 0
                                    


Ambar mencuri pandang ke arah Pram yang terdiam cukup lama di belakang jendela. Ia yang menemani Rana di sofa agak menyesali perbuatannya beberapa saat lalu. Namun, jika tidak ada yang benar-benar memulai untuk menggerakkan kedua orang itu maka tidak akan ada akhir yang semestinya. Perempuan itu kemudian mengembuskan napas panjang seraya beranjak dari sofa dan berdiri di samping Pram.

"Kalian itu lucu banget," ujar Ambar.

Pram menoleh sebentar ke arahnya, lalu kembali menatap lurus ke depan dengan isi kepala yang bercabang-cabang. Lelaki itu tidak segera menjawab.

"Yang satu memendam perasaannya sampai lupa kalau dia butuh ditemukan. Yang satu pura-pura nggak tahu dan menyangkal perasaannya sampai itu terungkap sendiri." Ambar menjeda dan menoleh ke kiri untuk melihat reaksi lelaki itu, tetapi karena Pram tidak benar-benar merespons, ia pun mengeluarkan semua kalimatnya.

"Kamu nggak bisa lagi menggali, Pram. Karena tempat persembunyianmu telah diketahui oleh musuh. Kamu nggak punya pilihan selain keluar dan menghadapinya. Kejar dia dan katakan semuanya. Nggak peduli bagaimana Dhara melawanmu nanti, yang seharusnya kamu lakukan hanya mengaku."

Pram masih tampak bimbang, ia bergerak gelisah dan beringsut ke ranjang. Ambar mengikuti arah pergerakannya dan bersedekap, mengembuskan napas panjang lagi.

"Tapi, bukannya lebih baik kalau kami tetap berpura-pura?" tanya Pram. "Karena cuma dengan cara itu aku sama dia tetap bisa ngobrol dengan nyaman bersama. Semuanya akan beda jika aku mengatakannya, Mbar. Nggak ada yang bisa tahu bagaimana akhir dari persahabatan kami selama ini setelah aku ngaku kalau cinta sama dia."

"Ya, jelas nggak akan ada yang tahu akhirnya. Kalaupun ada, nggak akan ada effort buat manusia bertahan hidup." Ambar memasukkan kedua tangannya pada saku jumpsuit seraya menatap lamat-lamat temannya.

"Sebagai sesama perempuan, aku tahu jelas kalau Dhara juga punya perasaan ke kamu. Kalau aku nggak ngelakuin kayak tadi pun, perasaannya akan tetap sama. Cuma emang kalian aja yang nggak mau percaya."

Pram mengangkat wajah, dahinya berkerut. "Jadi kamu sengaja?"

Ambar mengangguk tanpa keraguan. "Aku lihat dia mau masuk, tapi nggak jadi karena kamu nggak sendiri. Makanya aku mulai bicara ngawur. Dan akhirnya, dia masih pura-pura nggak tahu setelah masuk. Serius, aku mau ngeteh berdua sama dia nanti."

Ambar berkata dengan nada menyindir. Pram tidak bisa mengeluarkan kata-kata kecuali menyebut nama temannya itu satu kali, kemudian mendengkus berkali-kali dan melempar tubuhnya ke ranjang, menyembunyikan dirinya di balik selimut. Ambar yang melihatnya menggeleng-gelengkan kepala. Ia kemudian menatap Rana yang masih berlagak seperti patung yang tidak bisa bicara dan mendengar.

"Rana, kayaknya papa barunya di tunda dulu."

...

"Mama, ketemu Om Pam-nya kapan?"

"Kita pulang dulu, ya, Sayang. Kita masak buat Om Pram terus ke rumahnya. Hm?"

Anak yang beberapa hari ke depan akan berusia enam tahun itu masih merajuk, ia mulai kesal dengan nanti-nanti mamanya untuk menemui om kesayangannya. Sampai Pram sudah pulang lebih dulu pun ia masih tidak bertemu. Namun, karena Anya juga menyadari situasi, anak itu memilih untuk diam dan menunggu.

"Kalau gitu ... Mama mau belanja dulu? Anya mau ikut."

Rista kemudian menyela. "Tante Rista udah belanja, jadi tinggal masak terus ke rumah Om Pram, deh."

Anya menyunggingkan senyum tipis dan mengangkat tangannya ke arah Rista. Perempuan itu pun paham seraya mengangkat beban tubuh Anya yang dirasanya makin berat. Ketiganya lantas masuk ke mobil dan tak butuh waktu lama untuk sampai rumah. Selesai memarkir mobil di garasi pun Rista masih mengoceh tentang pertumbuhan Anya yang terlalu cepat.

✓ You are the Apple of My PieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang