Potongan Kedua puluh empat

3 1 0
                                    


Pram mengusap wajahnya gusar, berulangkali ia mengembuskan napas panjang. Tatapannya beralih ke atas kasur dan mendapati ponsel yang tergeletak di sana. Ia ragu-ragu ketika akan mengambilnya dan menekan nomor untuk melakukan panggilan. Berulangkali benda pipih berwarna hitam itu ia angkat dan letakkan.

Lelaki beralis tebal tersebut kemudian berdiri seraya mengambil ponsel dan membawanya keluar kamar. Siang terik hadir kembali setelah beberapa hari dilanda mendung, bunga-bunga pada pot yang berjejer rapi mulai mekar satu per satu. Pram menghirup udara yang cukup segar dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Semalaman tidak tidur nyenyak membuat kepalanya sedikit pusing dan badan yang lumayan lelah. Ia berencana turun ke toko untuk membuat kue. Namun, baru beberapa anak tangga yang ia pijak seseorang menghalangi jalannya.

Pram sedikit terkejut ketika mendapati Dhara yang tiba-tiba berada di sana setelah hampir dua minggu tidak saling memberikan kabar. Pram merasa gugup sementara Dhara yang berada di bawah mengintimidasi dengan tatapannya.

"Ada perlu apa, Ra?" tanya Pram. Ia merasa agak canggung. Kini keduanya telah berada di atap. Berdiri di tempat yang sama seperti dua minggu lalu ketika mereka terakhir kali berbicara.

Dhara tidak segera memberikan jawaban, perempuan itu justru mengembuskan napas panjang seraya menengadahkan kepala, menutup mata seraya menarik punggungnya ke belakang dengan tangan berpegangan pada pembatas. Pram yang merasa heran menghampiri temannya itu.

"Di sini udaranya seger. Meski dekat jalan raya, nggak ada polusi yang mampir."

Pram mengerutkan dahi, tetapi ia membenarkan ucapan Dhara. Ia kemudian memasukkan kedua tangan ke saku celana dan menatap atap-atap bangunan di bawahnya. Meskipun tidak terlalu tinggi, atap ini bisa membuat siapa pun merasa lebih mendonimasi ketika melongok ke bawah.

"Anya kangen sama kamu," ujar Dhara. "Katanya mau bikin pesta ulang tahun di sini nanti."

Pram tidak menyela, ia menatap perempuan yang setahun lebih muda darinya itu lamat-lamat. Memperhatikan figur samping yang selama ini ia kagumi sepenuh hati. Satu kali lagi untuk kesekian kali, Pram dibuat goyah oleh paras perempuan itu.

"Katanya mau kado spesial dari Om Pram-nya. Katanya mau kue gandum juga buatan Om Pram-nya. Dia juga mau kamu menginap di rumah dan menemaninya tidur."

"Banyak, ya, maunya?" Pram menyahut. Dhara memalingkan wajah seraya menegakkan kembali badannya, lalu tertawa kecil.

"Kangen katanya."

"Siapa? Kamu?"

Dhara tergagap-gagap. Ia berdeham kemudian memukul punggung Pram. "Kayaknya," jawabnya lirih.

Meskipun terdengar samar, Pram masih bisa mendengarnya. Lelaki itu pun menyunggingkan senyum tersipu dan menjawab, "Aku juga."

Keduanya masih diselingi canggung meskipun tidak separah beberapa menit lalu. Dua orang yang setiap hari hampir tidak pernah absen untuk saling memberikan kabar tiba-tiba harus berhenti berhubungan selama dua minggu, tentu saja hal itu merupakan sebuah rekor mengingat itu adalah yang pertama kali. Baik Dhara maupun Pram, keduanya saling ragu untuk lebih dulu menghubungi. Terlebih permasalahan yang mereka berdua miliki tidak sesederhana itu. Dhara mereasa menjadi pihak yang merasa bersalah paling besar. Namun, karena perasaan tak nyaman yang terus mengganggu dirinya, ia memutuskan mendatangi lelaki itu hari ini.

"Kamu bilang mau mengakhirinya di sini, kan?"

Pram terkesiap, alisnya terangkat. Kemudian ketika mendapatkan inti dari kalimat itu ia membuang muka ke langit. "Ya, kayaknya harus begitu."

"Apa yang mau kamu akhiri? Aku sama kamu bahkan nggak pernah memulai."

Pram menelan ludah. Embusan angin tiba-tiba datang menghantarkan hawa panas dan membelai wajahnya. "Aku sendiri. Aku yang memulainya tanpa melibatkan orang lain. Jadi harus segera diakhiri."

✓ You are the Apple of My PieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang