Potongan Kedua puluh tujuh (END)

6 2 0
                                    


"Ayah, Anya boleh makan kuenya?"

Pram menyunggingkan senyum seraya mengangguk. Anak gadis itu pun bersorak riang sembari mengambil dua potong kukis gandum dan membawanya berlari untuk bermain dengan anak-anak yang lain. Beberapa pengunjung pun telah ramai untuk mengantre. Beberapa dari mereka adalah pelanggan tetap Old's Pie yang sering datang, ketika tahu bahwa toko kue langganan mereka dibuka kembali, mereka langsung berlari ke sana agar tidak kehabisan. Pram mendengar itu dari salah satu pelanggannya yang seorang nenek tetangganya.

Antrean yang cukup mengular membuat Pram agak kerepotan saat harus membagi tenaganya untuk memanggang dan melayani. Meski begitu, ia tidak pernah menanggalkan senyumnya sekalipun. Sesekali ia juga melirik jam dinding, menunggu seseorang yang katanya tidak akan terlambat di hari pertama kerja.

"Wah, banyak bener," komentar Puguh saat baru saja memasuki toko. Ia bahkan sempat dinilai telah menyerobot antrean sebelum mengenakan apron dan membantu Pram di balik konter. "Sorry, Mas. Tadi ada kencan sebentar. Hehe."

"Oh, gitu? Iya, nggak masalah, kok. Seenggaknya saya nggak harus mengeluarkan uang ekstra untuk bonus kamu."

Puguh akan protes ketika lagi-lagi mendapatkan ancaman gaji, tetapi pemuda itu hanya menggelengkan kepala seraya melayani pembeli. Old's Pie kembali dibuka dengan desain interior yang tampak lebih luas. Lebih menarik perhatian banyak kalangan mulai dari anak-anak hingga dewasa tua. Sehari penuh setelah acara pembukaan, toko itu masih tampak ramai. Entah memang karena promo yang ada, atau memang para pelanggan setia yang telah menantikannya untuk waktu yang lumayan lama. Meski ada beberapa orang yang keluar dengan raut kecewa karena tidak mendapatkan bagian.

Papan tutup telah dipasang, pintu pun ditutup rapat. Anya telah dibawa pulang oleh Rista. Sementara Puguh yang duduk menyelonjorkan kakinya di lantai mengibas-ngibaskan nampan ke wajahnya untuk mengusir gerah. Pram kemudian datang dengan dua botol minuman dingin. Dua lelaki tersebut menikmati waktu istirahat setelah seharian berperang dengan tepung. Kedua kaki yang baru terasa kaku dan pegal-pegal membuat Pram mengingat saat pertama kali ia membuka toko seorang diri setelah kepergian kakek.

"Dulu saya sendirian," kisahnya. "Setelah kakek meninggal dan nggak ada yang mau ngurus toko, terpaksa saya sendiri yang jualan. Karena sayang kalau kue-kue yang sudah dibuat akan kedaluwarsa, saya menjualnya dengan harga banting. Seharian mondar-mandir sendirian di sini."

Puguh mendengarkan, sifat jahilnya yang tak pernah absen kini memilih untuk tidak berkutik. Remaja itu menenggak airnya hingga sisa setengah, lantas mengembuskan napas panjang. "Alhamdulillah sskarang tokonya sudah gede, ya. Saran saya, nih, Mas. Kalau bisa tambah karyawan lagi, biar nggak keteteran kalau serame tadi."

Pram menoleh ke arah anak itu dan tersenyum. "Boleh juga, kamu bantu cari kalau ada."

"Siap!" sahut Puguh bersemangat. "Sebenarnya sudah ada kandidatnya, besok saya ajak ke sini."

Pram sudah menduganya, lalu ia hanya mengangguk setuju dan menyuruh pemuda itu untuk pulang lebih dulu. Sore pun beranjak dan meninggalkan bekas kemerahan di langit, selesai membereskan dapur toko dan menyegarkan diri, lelaki itu menyeduh kopi dan memabwanya ke atap. Lewat beberapa bulan hingga gedung dua lantai ini selesai direnovasi. Melihat suasana atap yang jauh lebih terasa nyaman dengan aroma kayu khas yang berasal dari lantai, Pram mengacungkan dua jempol yang telah mendesain sehebat ini. Beberapa tanaman baru ditambahkan, bunga-bunga yang sebelumnya ditata rapi di sebuah rak kayu sehingga tampak lebih rapi.

Pram menyesap kopi pahitnya sembari memperhatikan bunga-bunga yang mulai bermekaran tersebut. Kemudian perhatiannya dialihkan oleh suara langkah kaki. Spontan ia menoleh ke kiri dan terkejut mendapati Dhara sudah berada di sana dengan sunggingan senyum tipis nan manis.

✓ You are the Apple of My PieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang