Potongan Pertama

44 13 7
                                    


"Anya boleh makan kuenya?"

Gadis lima tahun dengan rambut dikepang dua itu tersenyum lebar dengan antusias, menatap sosok dewasa di seberang meja dan kue pie di meja secara bergantian. Mata bulatnya berbinar sesaat setelah aroma manis apel dan renyah tepung itu keluar dari pemanggangan.

"Anya nggak bisa makan kue yang ini. Nanti ayah bikinin kue lainnya, ya?"

Meskipun mengerucutkan bibir dan menunduk kecewa, Anya tetap mengangguk patuh. Jemari kecilnya sibuk memilin tali gaun ungunya, sementara ujung sepatu pantofel serupa diketuk-ketukkan pada lantai. Pram yang melihat itu pun tak bisa menahan rasa gemas. Maka dari itu untuk memperbaiki suasana hati Anya, Pram menawarkan sebuah janji padanya.

"Anya," panggil Pram. Ia berlutut untuk menyejajarkan tingginya dengan Anya, kemudian meraih kedua bahu kecil anak itu. "Mau berikrar sebuah janji?"

Anya mengangkat kepala, dahinya mengerut. "Janji?" tanyanya penasaran.

"Hm. Sini ayah bisikin."

Anya mendekatkan telinganya pada Pram, mendengarkan janji itu dengan antusias. Tak lama sebuah senyum semringah pun terbit di bibir gadis itu. "Anya janji. Tapi Ayah juga harus janji sama Anya, besok pagi Ayah yang antar Anya ke sekolah."

Pram mengangguk sekali tanpa menanggalkan senyumnya, kemudian mengangkat jari kelingking di hadapan Anya dan berkata, "Iya, janji, kok."

Saat kelingking keduanya bertaut dan saling melempar senyum, gemerincing lonceng yang cukup nyaring menginterupsi mereka. Dan seorang wanita bersurai sebahu tampak melangkah dengan gusar. Matanya sibuk mencari-cari keberadaan seseorang, air mukanya menggambarkan kecemasan yang sangat.

"Dhara?"

Pram datang dengan nampan berisi kue yang baru ia buat bersama Anya, lantas meletakannya di meja pantry dan menghampiri Dhara yang terlihat cemas. Sekilas Pram melirik ke arah pelanggan yang memperhatikan.

"Pram!" serunya panik. "Pram, Anya di sini, kan? Aku jemput dia t-tapi kata mereka...."

"Dhara, Dhara kamu tenang dulu." Pram mencoba menenangkannya, menuntunnya untuk duduk. "Iya, Anya di sini. Anya sama aku."

Dhara yang mendengar itu pun sedikit bisa mengembuskan napas lega, meskipun pucat masih tampak di wajahnya karena kepanikan. Dadanya yang naik turun tak keruan berangsur stabil.

Dhara lalu menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Jemari lentiknya menyisir helai rambut yang basah oleh keringat ke belakang. Panas pada kedua matanya pun tak bisa lagi ditahan, tetes demi tetes air segera meluncur bebas ke pipi kemerahannya. "Anyaaa."

Pram yang melihat Dhara seperti itu turut menghela napas. Baginya, itu merupakan makanan sehari-hari yang biasa ia konsumsi. Namun, melihat Dhara tampak seburuk saat ini membuat Pram lebih khawatir lagi. "Kamu minum dulu, aku panggilin Anya."

Dhara menerima air dingin tersebut dan menenggaknya hingga tandas. Tak berselang lama, Anya keluar dan berlari kecil menghampirinya.

"Mama!"

Dhara yang melihat sosok malaikat kecilnya itu pun bergegas berdiri dan menangkapnya ke dalam pelukan erat. Ciuman bertubi-tubi menghujani puncak kepala Anya, berulangkali kata maaf diucapkannya.

"Maaf, mama telat jemput Anya."

"Mama nangis?" tanya Anya, Mata kecilnya mengerjap pelan, sementara tangan mungilnya turut mengusap jejak air mata di pipi sang mama. Dhara buru-buru mengelap wajahnya dan tersenyum hangat.

"Maafin Anya, harusnya Anya tunggu Mama," ucapnya pelan.

"Enggak, kok, Sayang. Mama nggak apa-apa. Yang penting kamu baik-baik aja."

✓ You are the Apple of My PieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang