Potongan Kedua puluh satu

2 1 0
                                    

Terkadang memendam adalah pilihan satu-satunya agar semua terlihat baik-baik saja. Namun, pada akhirnya semua hal akan tampak jelas saat hati sedikit demi sedikit mulai menyadari bahwa terlalu lama memendam justru akan membuatnya makin sesak.

Ada yang bilang cinta itu seperti kue. Selalu ada masa kedaluwarsa, tetapi rasa yang sama telah melekat di indra perasa. Selalu ada kemungkinan bahwa kue yang sama masih bisa dibuat dan kembali dirasa jika masih ada seseorang yang terus membuatnya ada. Tidak peduli berapa ratus kali melewati batas tanggal konsumsi, kue yang sama akan terus ada.

Bagi Pram, mencintai Dhara tidak pernah ada masa kedaluwarsa. Dulu maupun sekarang perasaan cintanya selalu sama. Karena Dhara terlalu berharga untuk ia lepaskan hanya karena label perasaan bernama cinta. Perasaan itu pulalah yang kerap kali membuatnya maju-mundur untuk mengaku.

"Momen ketika kami bersama itu sangat berharga. Aku bahkan sudah membingkainya di sini." Dhara menunjuk dada kirinya dengan telapak tangan. Perempuan berambut sebahu tersebut menatap lelaki yang membisu di sampingnya.

Setelah makan siang bersama, Dhara meminta Pram untuk berbicara dengannya. Kini keduanya duduk bersisian di atap.

"Itu ... untuk pertama kali dalam seumur hidup aku merasakan debar jantung yang nggak biasa. Terlalu singkat bagi kami untuk saling mengenal dan pada akhirnya berkomitmen membangun rumah tangga. Tapi ...." Dhara menjeda lagi. Lelaki di sampingnya memicingkan mata sebab matahari yang terlampau angkuh pamerkan cahaya.

"Kamu juga tahu akhir kisah kami bagaimana."

Dhara menyudahi omong kosongnya dan meluruskan pandangan ke langit yang begitu luas, semilir angin sesekali menerbangkan anak rambut yang terlepas dari kuncirannya. Pram mengembuskan napas, turut menatap biru angkasa yang membuatnya makin merasa kecil. Meskipun tak sekecil nyalinya untuk mengatakan cinta pada Dhara. Pram tentu sangat tahu apa yang telah terjadi pada Dhara, bahkan mungkin ia jauh lebih banyak tahu dari perempuan itu sendiri.

"Pram."

Lelaki itu spontan menoleh, bertanya dengan tatapan mata. "Sebelum aku nanya hal yang pengin aku pastikan sekali lagi, aku akan menanyakan satu hal penting tentang Kak Tara."

Bahu Pram melemas, tatapannya kembali meluruh. Denyut nyeri menyerangnya ketika nama itu kembali disebut. Walau sudah begitu lama, tidak menjamin bahwa sakitnya akan terbiasa. Barangkali itu bisa lebih perih lagi.

"Ngomongin Tara nggak akan ada habisnya, kan, Ra?"

Dhara tampak mengangkat alis, ia menatap Pram yang bersikap tidak seperti biasa. Nada bicara lelaki itu pun agak terdengar sinis. Ia belum memutuskan untuk melempar pertanyaan, sebaliknya, ia terasa berat untuk bertanya setelah mendengar nada menyindir dari Pram.

"Soal apa? Aku dengerin, loh. Abis ini masih ada kerjaan sama Ambar soalnya."

Dhara mengulum bibirnya sebentar, lalu merogoh sesuatu dari tasnya. Selembar kertas putih terlipat ia sodorkan ke hadapan Pram. Lelaki itu memandang Dhara dan kertas tersebut bergantian. Saat ia ingin meraih kertas itu, Dhara menariknya cepat-cepat. Lelaki itu pun mendengkus seraya membuang muka dengan tangan mengepal yang ia sembunyikan di sisi badan.

"Aku tanya, kapan terakhir kali kamu ketemu Kak Tara sebelum kecelakaan?"

Mendengar pertanyaan yang sama sekali tidak ia duga membuatnya tergagap-gagap. Lelaki berkemeja putih tulang tersebut pun menelan ludah susah payah dan melemaskan buku-buku jarinya. Mengembuskan napas panjang, Pram memutar badan dan menghadap Dhara.

"Sebelum dia bertugas," jawabnya mantap. Ia menatap mata Dhara lamat-lamat. "Sebelum dia menyelamatkan banyak orang dengan mengorbankan nyawanya dan ... dan ninggalin beban buat aku tanggung."

✓ You are the Apple of My PieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang