Potongan Kedua puluh tiga

1 1 0
                                    


"Mama baru bangun, ya?"

Dhara yang baru saja keluar dari kamar semerta-merta terkejut mendapati Anya yang sudah berdiri di depan pintu. Ia baru selesai mandi setelah tertidur cukup nyenyak semalam. Bahkan ia sendiri tidak sadar kapan terakhir kali ia membuka matanya setelah merasa puas mengeluarkan air mata.

"Maaf, ya. Mama bangunnya kesiangan, jadi nggak sempat bikin sarapan. Habis ini kita keluar cari makan, ya?"

Anya yang mendongak menggeleng-geleng. Kedua tangannya yang disembunyikan di belakang punggung membuatnya terlihat menggemaskan. Dhara yang menatap putrinya menyunggingkan senyum lantas menggandeng anak itu untuk turun.

"Anya nggak laper?"

Anak yang kini mengenakan setelan kaus bergambar kuda poni tersebut mengangguk. "Laper. Makanannya udah siap, ayo kita makan."

Shara mengernyit, tetapi tetap membiarkan anak itu menyeret tangannya menuju dapur. Sampai di sana, Dhara kembali mengerutkan dahi ketika melihat beberapa lauk di atas meja. "Loh, ini siapa yang masak? Nggak mungkin Anya, kan?"

"Duduk dulu, Mama."

Dhara pun menurut. Setelah membantu Anya untuk naik ke kursi, perempuan dengan rambut dikuncir asal-asalan itu pun mengambil ruang kosong di samping anaknya.

"Mama harus banyak makan biar kuat begadang," celoteh Anya. Dhara tidak paham atas sikap Anya yang tiba-tiba seperti ini. "Tapi jangan sering begadang juga, nanti mata Mama kayak Pan-Pan."

"Pan-Pan?"

"Saudaranya Grizz dan Ice Bear," jawabnya.

Dhara tertawa pelan, kemudian mengambilkan lauk untuk Anya dan kembali bertanya dari mana asal makanan itu.

"Tadi pagi-pagi Om Pam datang dan kasih semuanya. Terus langsung pulang lagi."

Dhara mengurungkan niatnya untuk menuangkan air ke gelas. Ia jadi teringat pembicaraan mereka semalam dan segera meminta Anya untuk menghabiskan sarapan dan mengantarnya ke sekolah. Dhara harus segera menyelesaikan obrolannya dengan Pram hari ini juga. Banyak hal pula yang harus ia ketahui dari lelaki itu. Jika tidak segera dituntaskan, ia takut akan berlarut-larut hingga keduanya merasa canggung sama sekali. Dan Dhara tidak ingin itu terjadi.

Setelah mengantar Anya ke sekolah, Dhara segera mengemudi ke rumah atap dan tanpa sengaja berpapasan dengan Ambar yang juga baru sampai di sana. Dhara tidak menduga perempuan itu akan lebih sering bertemu dengan Pram, tetapi sebagai teman sekaligus rekan kerja, Dhara lebih dulu menyapa.

"Ada perlu sama Pram?" tanya Ambar. Perempuan itu membawa dua cangkir kopi untuknya dan Dhara. "Dia lagi keluar sebentar."

Keduanya duduk di sudut favorit Dhara ketika berkunjung ke Old's Pie. Titik akses pandang yang menuju langsung ke jalan raya sekaligus paling strategis menikmati hangat senja. Meskipun saat ini toko tampak kosong, suasana yang ada masih tetap sama.

"Iya, ada yang harus kubicarakan sama dia. Kamu ....?"

Ambar meletakkan cangkirnya ke meja, melipat kakinya seraya menyandarkan punggung. "Yaaa, sekarang aku jadi pemilik baru toko ini."

Dhara agak terkejut, detik berikutnya ia tersenyum dan memberikan selamat. "Dia investasikan setengah tabungannya biar bisa dapatin hak atas toko. Bisa dibilang sebuah kesepakatan. Soalnya dari dulu aku pengin punya toko bakery sendiri. Untung ketemu Pram lagi, jadi bisa menuhin cita-cita yang tertunda."

Dhara hanya tersenyum sebagai balasan. Ia tidak tahu harus berkomentar apa, terlebih Ambar dan Pram terlihat sangat dekat beberapa hari ini. "Syukur kalau kalian bisa pertahanin toko ini. Soalnya banyak kenangan yang masih terasa nyata setiap kali masuk ke sini. Makasih, ya."

✓ You are the Apple of My PieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang