Keesokan harinya.
Canya dan yang lainnya akhirnya sampai, mereka sangat senang karena akhirnya mereka bisa tidur dengan nyenyak di rumah mereka sekarang. Beberapa orang sudah datang ke gedung organisasi untuk menjemput anak, adik atau kakak mereka. Althaf juga sudah dijemput oleh dua sopir, satu membawa mobil dan satu membawa motor. Althaf menerima kunci motornya dari sopir, setelah itu dia mendekati Canya.
“Barang-barangnya kasih sopir aja, kita naik motor.” Canya mengangguk, setelah itu sopir datang dan mengangkut barang-barang mereka.
“Ken, Rin! Kita duluan ya!” Althaf tersenyum pada keduanya, Kenandra dan Arin mengangguk. Setelah Canya naik ke motor Althaf, motor itu pun mulai melaju.
“Kita langsung ke rumah aja?”
“Hah?” Canya sedikit terganggu dengan kecepatan berkendara Althaf, suara angin menyamarkan suara Althaf yang deep itu.
“Makanya kalo bawa motor pelan-pelan, biar ngobrol juga bagus.” Althaf akhirnya memelankan kecepatan motornya. Jika dia tidak menurut, maka dia akan habis oleh Omelan dari Canya.
“Kita langsung ke rumah?”
“Ya, mau ke mana lagi? Aku juga gak beli sesuatu. Kan oleh-oleh buat ibu udah dibeli semalam.” Althaf mengangguk, walau Canya mungkin tidak melihatnya. Althaf memperhatikan wajah Canya dari kaca spion motornya. —Kenapa dia secantik itu? Matanya yang indah, apakah aku bermimpi bisa mendapatkan dia?— pertanyaan itu muncul di pikiran Althaf.
...
Setelah perjalanan yang tak lama, mereka akhirnya sampai. Di depan rumah Canya, terlihat Marlina sedang mengunci pintu. Sepertinya Marlina ingin pergi.
Saat Marlina berbalik, dia langsung tersenyum saat melihat Althaf dan Canya. Canya langsung berlari untuk memeluk ibunya.
“Hm, anak ibu. Gimana di sana, lancar gak urusannya?” Canya mengangguk.
“Assalamualaikum Bu.” Althaf tersenyum, dan dibalas senyuman hangat dari Marlina.
“Kalian pasti capek, tapi ini juga penting. Ibu tau kalian baru sampai, tapi kita harus pergi. Untung kalian sampai hari ini.” Canya dan Althaf sangat bingung, apa yang dimaksud oleh Marlina.
“Fahrul meninggal, dan permintaan terakhirnya kita diminta mendatangi pemakamannya.” Canya sangat terkejut, tapi Althaf sangat bingung. Siapa itu Fahrul.
“Harus banget ya Bu?”
Marlina mengangguk. “Ini permintaan terakhirnya sayang, gak apa-apa.” Canya menghela napasnya. Dia lalu menatap Althaf, Althaf tersenyum.
“Ibu udah pesan ojek, kalian duluan aja.” Canya dan Althaf mengangguk, setelah itu mereka kembali lagi menaiki motor. Di perjalanan, Canya menceritakan semua tentang kakaknya dan Fahrul. Meski rasanya sedikit sakit jika dia mengingat itu.
“Ya, jadi itu alasan aku masuk organisasi. Aku gak mau ada korban lain.” Althaf memahami luka yang dirasakan oleh Canya. Althaf menanamkan janji dalam hatinya, dia akan membuat Canya melupakan semua masalahnya. Dia akan membahagiakan Canya.
“Jadi alasan kenapa kamu dulu gak datang ke acara sekolah, buat ngambil piala kamu? Karena masalah itu?” Althaf yakin jika itu masalahnya.
“Saat itu, kebahagiaan datang di depanku. Namun kebahagiaan itu langsung disingkirkan oleh kesedihan.”
“Aku gak nyangka ternyata kakak yang dulu jadi siswa terbaik, andai saat itu kita bisa bertemu. Mungkin kita mengenal sudah sejak lama.” Canya sedikit terkekeh, dunia memang benar-benar sempit. Namun Canya juga sangat bersyukur, bisa mencintai dan dicintai oleh pria sempurna seperti Althaf.
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Marriage: Love Edelweis [END] [Terbit]
Teen FictionCanya harus merelakan kekasihnya untuk selamanya karena kecelakaan, saat dia sudah ikhlas, dia dijodohkan dengan pria lain. Namun di saat pernikahannya dilangsungkan, kekasihnya dulu ternyata masih hidup dan membuat kacau di pernikahannya