Malam hari, di desa.
Canya, Arin dan beberapa wanita lain sedang mengemasi barang-barang mereka. Rencananya besok mereka akan langsung pulang ke kota. Tugas mereka telah selesai. Canya menatap bunga dan foto-foto yang diberikan oleh Azkara padanya tadi siang. Canya masih bertanya-tanya dari mana Azkara mendapatkan bunga itu. Padahal di penjualnya hanya tersisa satu. Tapi apa pun itu, Canya sangat bahagia. Dia bisa memiliki bunga indah itu, dia akan menyimpannya baik-baik.
Setelah selesai mengemasi barang-barang, mereka akhirnya memutuskan untuk beristirahat saja. Perjalanan mereka hari ini sangatlah melelahkan. Mereka harus mengisi energi mereka sebelum melakukan perjalanan esok hari.
***
Sedangkan di kediaman Wijaya. Gisella sedang terlihat sangat bahagia, pasalnya sang suami menyetujui usulnya untuk menjodohkan Canya dengan pria pilihannya. Hasan terpaksa mengatakan iya untuk ‘sekarang’ karena jika tidak, maka Gisella akan menanyakan alasan Hasan untuk itu.
“Tapi Mama yakin Canya bakal mau dijodohin?” tanya Hasan.
Gisella mengangguk. “Walaupun kita bukan orang tua kandung Canya, tapi dia pasti mau. Dia itu anak yang baik, dia akan bahagia dengan cowok yang aku pilih Pa. Walau aku sedikit gak rela, seharusnya dia jadi menantu kita dan istrinya Althaf, tapi...”
“Sudah, walaupun dia tidak jadi menantu kita, tapi sekarang dia jadi Putri kita kan? Jangan sedih lagi.” Hasan memeluk istrinya, Hasan lalu melihat jam yang ada di dinding kamar mereka.
“Udah larut Ma, tidur yuk,” kata Hasan dan diangguki Gisella. Mereka memutuskan untuk tidur.
...
Keesokan harinya. Di desa.
Mereka semua telah memasukkan barang-barang mereka ke dalam mobil, satu persatu dari mereka masuk dan yang terakhir adalah Canya. Dia sedikit ragu meninggalkan desa ini, dia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang masih tertinggal. Tapi Canya tidak meninggalkan apa pun, Canya menggelengkan kepalanya lalu memasuki mobil.
Sedangkan tak jauh dari tempat mereka ada Azkara dan kedua temannya yang melihat mobil Canya yang mulai melaju. Satu teman Azkara menepuk pundaknya lalu tertawa.
“Kalo Lo udah ada rasa sama dia kejar aja! Nanti Lo bakal kehilangan dia kalo Lo diam kayak gini.” Azkara lalu melihat temannya, dia juga berpikir seperti itu tapi dia mengingat kembali pembicaraan dengan sang ayah kemarin malam.
FLASHBACK.
Semalam, setelah Azkara sampai. Dia diam-diam memasuki rumahnya agar sang ayah tidak mengetahui jika dia pergi terlalu lama. Namun siapa sangka, saat dia berjalan di ruang tengah tiba-tiba lampu langsung menyala. Dia langsung bisa melihat sang ayah yang berdiri dan menatapnya dengan tajam.
“Dari mana kamu?” pertanyaan dari sang ayah hanya dibalas senyuman oleh Azkara.
Azkara menggaruk tengkuknya. “Anu Yah, abis dari rumahnya Adi.” Azkara mencoba mengelak, berharap sang ayah percaya.
“Kenapa lama? Ya sudah lupakan saja, cepat sana tidur, udah malam.” Azkara lalu tersenyum setelah mendengar perkataan sang ayah. Untung ayahnya percaya dengan alasan yang ia buat.
“Satu lagi, jangan coba-coba pergi atau keluar dari desa tanpa Ayah!” kata sang ayah lagi.
Ada sedikit yang Azkara tidak sukai, ayahnya selalu memperlakukan dia seperti anak perempuan. Dia selalu dilarang keluar dari desa. Jika dia ingin pergi jalan-jalan dengan teman-temannya dan itu melewati perbatasan kota, maka sang ayah akan langsung mengurungnya di rumah. Itu yang membuat Azkara kesal.
FLASHBACK END.
“Gimana? Lo jangan ragu, ini semua masa depan Lo. Lo yang harus nentuin!” kata temannya lagi. Azkara menghela napas, setelah itu dia tersenyum dan mengangkat jempolnya. Dia lalu memakai helmnya dan menyalakan motornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Marriage: Love Edelweis [END] [Terbit]
Teen FictionCanya harus merelakan kekasihnya untuk selamanya karena kecelakaan, saat dia sudah ikhlas, dia dijodohkan dengan pria lain. Namun di saat pernikahannya dilangsungkan, kekasihnya dulu ternyata masih hidup dan membuat kacau di pernikahannya