Bab 17

2 2 0
                                    

“Kak Althaf!!!” Canya langsung bangun dan berteriak, hal itu membuat Marlina dan Gisella terkejut. Namun keduanya langsung menghampiri Canya dan mereka memeluknya. Canya menangis dan menceritakan mimpinya.

“Kak Althaf..,” kata-kata Canya tercekat di tenggorokan. Gisella mengangguk dia lalu mengelus rambut Canya. Marlina mengusap air mata Canya, pipinya sekarang sudah sangat tirus.

“Kita coba ikhlasin dia ya! Dia sudah tenang sama pencipta.” Suara Gisella seperti menangis. Canya menggelengkan kepalanya.

“Sayang kamu makan dulu ya! Udah empat hari kamu gak makan.” Canya melotot, apa empat hari? Ya, Canya tidak sadarkan diri selama empat hari. Dia dipindahkan ke rumah sakit dan dirawat. Tubuhnya sekarang terlihat sangat kurus, selama empat hari ini untuk memenuhi nutrisinya dia dibantu oleh alat-alat medis.

Mencoba melupakan sesuatu yang indah itu sangat sulit, dan tidak mungkin Canya melupakan Althaf. Tapi, jika memang tidak ada harapan lagi, dia akan mencoba untuk mengikhlaskan semuanya. Dia yakin Althaf juga menginginkan Canya untuk merelakan kepergiannya.

***

Tiga Tahun Kemudian.

Suara bising kendaraan saling bersahutan, jejeran kendaraan bermotor semakin memanjang. Ini sudah menjadi ciri khas ibu kota, di mana saat terjadi macet lalu lintas, akan banyak kendaraan yang akan berbaris. Panjangnya bisa mencapai kilo meter, dan itu sudah biasa. Tapi tidak untuk seorang wanita cantik berusia 21 tahun, dia sangat benci kemacetan, karena dia akan terlambat jika terus terjebak di antara mobil-mobil itu. Suara klakson saling bersahutan dan itu membuatnya jengah. Canya Oktavia Shandra, seorang wanita cerdas dan pekerja keras. Canya menyandarkan kepalanya di setir dan menghela napas.

*Drtt drttt

Ponselnya berdering, Canya langsung mendongak dan menekan tombol di layar yang ada di dasbor mobilnya.

“Canya Lo di mana? Acara udah mau mulai, kalo gak ada Lo gimana acara ini bakalan lancar?” suara melengking Arin langsung terdengar di penjuru mobil. Canya mengerutkan keningnya, lalu dia memutuskan panggilannya. Canya lalu menghubungi sopir agar datang ke tempatnya untuk membawa mobil yang ya gunakan.

Tak lama, sekitar 15 menit, sopir datang. Canya langsung keluar dan memberikan kunci mobil. Canya lalu berjalan dengan cepat melewati barisan kendaraan bermotor itu. Lebih baik berjalan kaki agar cepat sampai di aula.

...

Sekitar beberapa menit, Canya sampai dan dia langsung jadi pusat perhatian. Banyak orang yang sudah duduk di kursi yang disusun, di sebuah podium Kenandra sedang berbicara untuk mengisi waktu sebelum Canya datang. Canya tersenyum dan berjalan menaiki panggung, Kenandra menatap tajam pada Canya dan memberikan mikrofon pada Canya.

Canya mulai mengendalikan situasi, hari ini ada tamu dari kepolisian. Di organisasi, mereka melakukan sosialisasi dan sosialisasi ini dilakukan sebagai penilaian dari pusat untuk organisasi mereka. Sekarang, Canya yang menjadi ketua organisasi mereka karena senior-senior mereka yang lama sudah tidak bergabung dengan mereka lagi, mereka sudah dianggap alumni.
Setelah acara selesai, sekarang di belakang panggung, Canya sedang beristirahat. Acara telah selesai, Kenandra dan Arin menghampiri dia.

“Capek?” Arin bertanya sambil memberikan minum pada Canya. Canya tersenyum dan menerima minuman itu lalu meminumnya.

“Ya capek lah, baru juga dari rumah sakit udah diminta cepat datang ke aula, mana jalanan macet lagi.” Canya kembali ke mode cerewet nya. Arin menggelengkan kepalanya, dia lalu duduk di samping Canya.

“Eh, lihat ini si caper Reza Nugroho. Katanya dia coba bunuh diri.” Kenandra menunjukkan sebuah berita pada Canya dan Arin, di mana dalam berita itu dikabarkan jika Reza mencoba membunuh dirinya sendiri.

Young Marriage: Love Edelweis [END] [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang