Naka sudah berhasil mengumpulkan semua keluarganya diruang tamu termasuk haikal yang tadinya masih molor pun Naka terpaksa menarik kakinya biar bangun. pemuda itu masih sepet matanya karena semalem begadang ngerjain skripsi, sementara Adnan sudah mengunyah wafer coklat yang ada didalem kaleng kongguan, sementara Raffa sudah siap menyimak.
"Kenape sih lu? mau bagiin sembako kah sampe-sampe ngebangunin orang yang lagi nikmat tidur." Tukas Haikal menggaruk garuk pipinya yang masih ileran, "libur tuh bangunnya pagi bukan siang, kalo siang namanya jelmaan siluman." Ucap Raffa dan berhasil ditatap tanjam oleh sang abang, "hus, raffa nggak boleh ngomong gitu." Tegur ibu, bocah itu hanya menyengir saat ditegur pasalnya dia kesel dengan Haikal yang masih pagi sudah mau buat keributan saja.
"Abang mau ngomong apa?" Tanya ibu beralih menatap sang putra sulungnya yang beberapa kali menghela nafas dan menahan kesal karena kelakuan antek-anteknya, kalo bukan tidak mau ngomong hal penting Naka sudah menerkam Haikal detik itu pula lalu melakban mulutnya.
"Sebenernya Naka mau ngomong kalo naka udah nggak kerja dibanjar lagi." Haikal dan adnan melongo kaget dan hampir membuat Raffa kesedak karena susu coklatnya,
"Hah?!" Naka menganggguk mantap menjawab kecengangan mereka, "abang dipecat kah?" Tanya ibu adem banget suaranya, "lo pasti bolos mulu kali bang makanya dipecat." Sambar Haikal menegakan duduknya untuk mengambil toples berisi rengginang setelah itu melenggang ke dapur dan kembali dengan sambel trasi dimangkok kecil.
"Mau ngapain lu?" Tanya Adnan melihat gelagat Haikal yang cengar cengir sendiri, "nyemil lah apalagi." Haikal mencocol rengginangnya dengan sambel trasi seranya begitu nikmat, "abang lanjut aja emang nggak penting nyuruh mereka berdua kumpul mah tidak menghargai orang yang lagi ngomong." Haikal menghentikan suapapnya ketika mulut mercon raffa berucap, dia menengok kesemua arah lalau meletakan toples dan sambelnya dimeja, "lanjut." Pintanya tanpa dosa Naka berusaha menahan kekesalanya terhadap Haikal kampret itu.
"To the point aja, abang udah nggak kerja di banjar lagi tapi abang dipindahin dihotel sini yang lumayan bisa pulang pergi, terus abang juga mau bilang sama ibu kalo Naka ada keseriusan buat ngelamar anak gadis orang, buk."
"apa?!!" Kaget semuanya tak percaya dengan lalimat terakhir Naka namun ibu masih sedikit biasa saja meskipun kaget sebentar, "Woyy yang bener aja lu bang sat set amat sama mba itu?" Tanya Adnan meletakan kaleng makananya, "kenape lu? Mau nyusul juga lu kawin kaya bang Naka hah?" Adnan langsung menoyor kepala Haikal karenya mulutnya yang langsung jeplak mirip suara swalow mang ujang kalo dibawa jalan.
"Cocot lu udah mah bau jigong ngomong asal kelur aja." Sungut Adnan Haikal hanya mengomat kamitkan mulutnya menirukan gesktur Adnan bicara, "udahlah kalian tuh Rafa pindahin dikandangnya lusi juga lama lama." Raffa merelai keributan Abang abangnya itu entahlah mereka berdua tuh kalo disatuin bagaikan kucing dan tikus.
"Jadi abang mau nikahin anak orang tapi abang nggak pernah bawa dia main kerumah kita gitu?"
"Bukan gitu buk, ibu inget nggak tetangga kita yang didepan rumah... eh nggak yang diseblahnya lagi deh tau nggak yang bapaknya suka mihara kenari?"
"Samsudin?"
"Hooh, abang pacaran sama dia udah lama makanya demi ngindarin fitnah abang mau lamar dia bu menurut ibu gimana?" Ibu tersenyum dia menepuk bahu Naka mencoba menyalurkan kehangatan.
"Fitnah, fitnah apaan lo aja nggak sering ketemu sama dia." Celetuk Haikal, Naka menarik nafas, "berantem sebentar boleh nggak sih?" Tanyanya entah pada siapa saja yang mendengarkannya, "sabar-sabar." Saut Adnan menepuk-nepuk punggung Naka lumayan keras, "lo lagi nenangi malah pake tenaga dalem," ketus Naka.
"ibu mah terserah kamu le, kamu suka kamu cinta sama dia silahkan mau dinikahian pun memang benar nggak baik lama lama macarin anak orang ntar dikira nggak ada kepastian toh ya nggak enak buat si ceweknya."
Naka tersenyum dia meraih tangan ibu lalu dikecupnya dengan lembut, "ibu ngerestuin kah?" Ibu mengangguk membuat Naka reflek menoyol kepala Haikal membuat pemuda itu mendengkus kesal sembari mengusap usap kepalanya, "makasih ya bu, naka janji naka akan selalu terus berbakti sama ibu meskipun naka udah ounya keluarga sendiri." Naka memeluk ibu tanpa sadar dia menitihkan air mata, perasaanya tidak karuan campur aduk mirip es doger.
"Siapa yang naroh bawang disini." Ucap Adnan, "rafa mau peluk juga." Bocah itu seketika minta ikut peluk juga memang bocil satu ini suka kadang kadang Ibu menepuk kursihnya Rafa oun beranjak memeluk Ibu disusul Adnan, 'gua seneng banget ngeliat keluarga gua sehangat ini' Haikal tersenyum lalu ikut nimbtung. Suasana pagi ini begitu haru biru bagi mereka, mereka harus selalu menjaga keluarga ini tetao utuh suka duka harus bersama saling menguatkan satu sama lain. Saling bertanggung jawab saling melindungi dan membahagiakan tidsk perlu dalam kondisi apa nantinya.
Adnan menoleh dan mendapati Haikal yang memeluknya namun tanpa diduga Haikal meniup wajah Adnan.
"Iwhh bau jigongnya Haikal." Teriaknya menjauhkan wajah haikal dari dekatnya. Haikal menatap tajam Adnan seolah menandai anak itu.
*****
Suasana sore begitu indah angin menyeruak memasuki setiap celah yang dilewati warna jingga begitu indah sayangnya tidak ada persawahan disini, meskipun begitu tapi tetap indah karena suasananya masih asri.
"Kal."
"Eum, kenapa hen?" Heni menyetandar sepedanya didekat pohon yang begitu rindang, diikuti Haikal dia ikut menyetandar sepeda warisan bapaknya. Sebenarnya bukan buatnya saja Ayah mewariskan sepedanya lebih tepatnya pada anak anaknya jafi siapapun yang mau pakai boleh-boleh saja, kecuali raffa yang tidak bisa naik sepeda.
"Aku... aku mau ngomong sama kamu."
Perempuan itu menundukan kepalanya sebentar setelah menghela nafas beberapa kali, ditatapnya laki laki manis didepannya, rupanya memang tidak seperti mantan-mantanya, tidak seperti jidan ataupun laki-laki biasanya, dia hanyalah pemuda biasa dengan sejuta keceriaan bahkan hatinya begitu lembut saking lembutnya Heni merasa bersalah karena telah menyakitinya selama ini."Sebenarnya..."
Haikal masih diam menunggu meskipun dia sudah tau apa yang akan perempuan itu bicarakan padanya, "aku sebenernya balikan sama jidan udah setahun ini, kal. Dan aku nyembunyiin itu dari kamu, aku bener-bener minta maaf kal aku egois aku jahat." Ungkapnya dalam sekali tarikan nafas lalu terdiam tanpa suara.
"aku tau kok." Perempuan itu mendongak menatap laki laki yang masih begitu tenang itu.
"aku tau semua hubungan kamu sama jidan, tentang kamu yang sering nolak aku saat diajak jalan dengan alasan les kelas seni padahal nyatanya nggak ada jadwal sama sekali, karena kamu mau menghindar dari aku karena kamu lagi jalan sama jidan, tentang setatus Wa kamu yang lupa kamu privasi saat post foto jalan kamu sama jidan semuanya aku tau kok hen."
"Kal."
"Rasanya kek gimana ya saat kamu giniin aku, entah akunya yang terlalu sayang atau memang akunya yang terlalu bodoh." Begitu sesak dadanya saat mengungmapkan apa yang dia tahan selama ini, "kal, aku tau kata maafpun nggak cukup buat bayar semuanya aku salah aku egoiz, aku nggak pernah buka mata tentang kamu."
"Hen." Haikal memegang kedua bahu perempuan itu yang sudah tertunduk yang sepertinya tengah terisak pelan, "aku nggak tau pilihan aku ini bener atau nggak." Heni mendongak menatap wajah Haikal laki-laki itu memalingkan wajahnya sebentar lalu menunduk, "kal, kalo masih ada kesempatan buat aku, aku janji bakalan perbaikin hubungan kita yang rusak karena aku kal, jujur aku sayang kamu, aku cinta sama kamu cuman aku terlalu egois dan bodoh sampai-sampai aku masih ngejar-ngejar cintanya Jidan yang jelas-jelas aku tau dia seperti apa."
Haikal memeluknya erat tanpa memberi perempuan itu sepatah kata apapun, dia hanya memeluk perempuan itu menautkan dagunya dikepala perempuan itu sembari terpejam.
...
Sampai jumpaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Haikal
Ficção GeralRumah singgah pun kalau tidak dijagai dengan baik dia akan runtuh, rumah singgah memang memberikan banyak kebahagiaan. Meskipun pada akhirnya kebahagiaan itu akan hilang. _Haikal Alfahri