14 | Perhatian

1.4K 302 15
                                    

Kalea membuka aplikasi instagramnya. Itu akun random miliknya yang berisi foto-foto yang ia jepret dari kameranya. Gerakan Kalea terhenti pada foto Iren dan suaminya. Dalam hatinya terbesit rasa iri pada teman-teman dekatnya.

Iren begitu beruntung. Setiap hari selalu ditelepon oleh Mamanya bahkan mendapatkan sosok suami yang begitu mencintainya. Lalu ada Rea yang selalu dirayakan oleh keluarganya, kelurga kecilnya pun juga adalah keluarga yang harmonis. Lalu Morin yang selalu ditemani Mamanya setiap perform di luar kota, Papanya pun juga mencintai Morin. Dan juga Jehan, yang walaupun telah kehilangan Ayahnya, namun tuhan mengirimkannya suami yamg begitu baik.

Dulu Kalea pernah memimpikan itu, Kalea juga ingin memiliki keluarga utuh yang nyaman dan hangat. Namun sayangnya kepercayaan Kalea pada sosok lelaki di luar sana benar-benar habis tidak bersisa. Bagi Kalea, lelaki sama saja. Papinya menggambarkan banyak lelaki di luar sana. Lelaki akan baik di awal dan semakin mengenalnya, maka ia akan mengenal luka baru.

Kalea menghembuskan napasnya, tidak seharusnya ia menaruh kepercayaan pada Satria. Tidak seharusnya ia meminta Satria untuk tidak meninggalkannya.

"Mbak Kalea."

Kalea tersentak kaget, ia menolehkan kepalanya dan mendapati dokter yang sudah berdiri di sebelahnya.

"Iya, dok?"

"Mbak Kalea sudah boleh pulang, obatnya rutin diminum sampai habis ya. Seminggu lagi Mbak kembali ke rumah sakit untuk lepas jahitan lukanya. Perbannya rutin diganti dan untuk beberapa hari ini lukanya jangan kena air dulu," jelas dokter. Kalea mengangguk paham.

"Baik, dokter."

"Lalu untuk administrasinya--"

"Saya yang urus, dok."

Satria tiba-tiba melangkah masuk. Lelaki itu memakai baju kaos hitam dan jeans biru pudar. Kepalanya juga tertutup topi berwarna hitam.

"Oh baik, Pak. Mari ikut saya ke bagian administrasi."

"Eh? Biar gue aja yang urus..." Kalea menghentikan ucapannya karena Satria sudah melangkah keluar mengikuti dokter. Kalea menghembuskan napasnya, perasaannya mendadak tidak enak. Selama ini dia terbiasa mengurus sesuatu sendiri, maka jika hal sekecil ini saja dilakukan orang lain, Kalea jadi merasakan sesuatu yang aneh.

Seorang perawat kemudian membantu Kalea melepaskan infus di tangan kirinya. Setelah semalam Kalea melepas paksa infusnya, akhirnya perawat memindahkannya ke tangan kiri Kalea sedangkan tangan kanan bekas infus Kalea terbalut plaster luka.

Kalea mengganti pakaian pasiennya dengan pakaian yang semalam dikirimkan Rea untuknya. Tak lama Satria kembali setelah selesai mengurus administrasi Kalea.

"Ayo, saya antar ke apartemen kamu," ajak Satria lalu mengambil alih goodie bag Kalea.

"Lo gak kerja emangnya, Bang?" tanya Kalea. Satria membukakan pintu untuk mereka keluar.

"Pekerjaan saya itu urusan saya. Kamu dari kemarin nanyain pekerjaan saya terus," jawab Satria.

"Gue gak mau ngerepotin lo," ucap Kalea. Satria tiba-tiba menarik lembut tangan Kalea.

"Mau ke mana? Arahnya ke kanan, kalau ke sana tuh jalan ke kamar jenazah," ucap Satria karena Kalea berbelok asal saat mereka sudah di kooridor.

"Ih! Gak lucu!"

"Saya gak lagi melucu. Mau dibuktikan?"

Kalea langsung menggelengkan kepalanya dan mempercepat langkahnya. Tanpa sadar ia menarik tangan Satria yang masih menggenggam tangannya sejak tadi.

"Tunggu di sini sebentar, saya ambil mobil dulu," ucap Satria. Kalea mengangguk lalu menatap suasana rumah sakit dan tubuhnya terpaku melihat Papinya bersama istrinya. Ketakutan Kalea kembali muncul, kilasan wajah marah Papinya kembali ia ingat, juga bagaimana Papinya memukulnya dengan stick golf.

FelicidadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang