PERTENGAHAN BULAN MEI

48 8 5
                                    

Halo Rainku💙

Semoga masih suka sama ceritanya, Aaminn.

***

PERTENGAHAN BULAN MEI

-

Minggu pagi di pertengahan bulan Mei, sinar matahari lembut menyusup melalui tirai tipis di kamar Baskara, menciptakan pola cahaya lembut di atas kasurnya. Jam menunjukkan pukul delapan, tetapi Baskara masih nyaman terbaring di kasurnya, tenggelam dalam buku Stoikisme yang baru saja ia baca. Setiap minggu pagi, memulai hari dengan membaca buku adalah ritual yang telah menjadi bagian dari rutinitasnya, memberikan ruang untuk merenung sebelum menghadapi hari.

Setelah beberapa saat, ia menutup buku dan memandang sekeliling kamar yang tenang. Suara lembut Mamanya, Afifah, memanggil dari luar kamar, membawa nuansa hangat ke pagi itu. “Nak, ayo sarapan dulu sama Papa sama Meidiana,” panggil Afifah dengan nada lembut namun penuh perhatian.

“Iya, Ma,” jawab Baskara, sambil meletakkan buku di meja samping kasur. Ia kemudian berdiri dan menuju ruang makan, merasakan kegembiraan akan kebersamaan pagi dengan keluarganya.

Di ruang makan, aroma makanan yang menggugah selera menyambutnya. Telur rebus, sayur bayam, dan roti gandum tertata rapi di meja, siap untuk disantap. Meja makan dikelilingi oleh Meidiana, papa, dan mama di situ—masing-masing duduk dengan sabar menunggu Baskara bergabung. Afifah sudah duduk dengan senyum lembut, Papanya menunggu dengan wajah penuh kehangatan, dan Meidiana, dengan matanya penuh semangat, duduk sambil menggoyang-goyangkan sendoknya.

“Selamat pagi, Bas. Sarapan pagi ini menurut kamu enak?” tanya Afifah sambil menyendokkan telur rebus ke piring Baskara.

“Pagi, Ma. Iya, kayaknya enak banget ini,” jawab Baskara, memotong sepotong roti gandum.

“Kamu tadi di kamar ngapain?” tanya Afifah dengan lembut, tampak ingin tahu tentang kegiatan putranya.

“Baru selesai baca buku filosofi Stoikisme, Ma. Buku itu ngajarin kita supaya enggak terlalu mikirin hal-hal yang nggak penting,” jawab Baskara sambil mencicipi telur rebus.

Afifah mengangguk dengan penuh perhatian, dan terlukis senyuman di wajahnya. “Wah, bagus sekali, sayang. Memang penting banget untuk fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan. Kamu pasti jadi lebih pintar karena membaca buku-buku seperti itu.”

Papanya menambahkan dengan senyum bangga, “Teruskan kebiasaan baik ini. Lalu, apa yang pengen kamu lakuin setelah sarapan? Di Minggu pagi ini?"

Baskara menyeka mulutnya dan berkata, “Ibas mau pergi ke rumah Jeva dan Arvian. Ibas kangen sama mereka dan pengen main bareng.”

Papanya, Maliki, tersenyum lembut. “Hati-hati di jalan nanti, Bas. Perlu Papa anterin?”

Baskara tertegun sejenak, mengingat tujuannya yang sebenarnya ingin menemui Kanya. Namun, ia memutuskan untuk menolak tawaran itu. “Enggak usah, Pa. Ibaa bisa naik sepeda dari gudang.”

Papanya mengernyit sedikit. “Tapi, Bas, sepeda itu udah tua banget, udah kotor juga. Enggak pa-pa, Papa anter aja ya?”

Baskara dengan tegas menjawab, “Enggak perlu, Pa. Ibas pengen belajar mandiri dan sepeda itu masih bisa dipakai kok. Lagipula, Ibas udah terbiasa.”

Papanya mengangguk, terlihat memahami keputusan Baskara. “Baiklah, Bas. Kalau kamu merasa nyaman dan bisa, Papa percaya kamu.”

Beberapa menit kemudian setelah selesai sarapan, Baskara segera berpamitan dengan orang tuanya.  Saat langkahnya hampir menyentuh teras luar ketika tiba-tiba, Meidiana, adik kecilnya, berlari menghampirinya. Mata Meidiana bersinar ceria, dengan boneka kesayangannya yang tergenggam erat di tangan kanan. "Aa, main sama aku, dong! Kita gambar pemandangan atau main boneka," katanya dengan nad manja, suaranya lembut seperti angin pagi menyejukkan.

LAUT KARAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang