PERJALAN HARI PERTAMA DARI HARI SEBELUMNYA

31 1 0
                                    

Selamat hari senin, Rain💙

Semoga suka sama ceritanya, Aamiin 💙

***

PERJALANAN HARI PERTAMA DARI HARI SEBELUMNYA

-

Dari sudut ruang dapur, Meidiana mengintip dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu, alisnya terangkat. Seperti kucing mengamati mangsanya, ia bersembunyi di balik pintu, hanya kepala kecilnya yang menyembul. Sementara itu, Baskara mengembuskan napas panjang, seolah ingin mengusir beban yang menghimpit dadanya. Dengan langkah gontai, ia menuju kamarnya, namun matanya terhenti pada sosok Mamanya.

Di dapur, Mamanya sedang memotong cabai. Gerakannya cepat dan tegas, seolah setiap potongan cabai adalah pelepasan emosi yang tertahan. Cahaya lampu dapur memantul di atas pisau, menciptakan kilauan tajam yang menambah suasana panas di ruangan itu.

Baskara nyaris tiba di pintu kamarnya ketika Meidiana muncul. “Aa,” panggilnya pelan, cukup untuk membuat Baskara menoleh.

"Kenapa Mama bisa semarah itu?" tanyanya dengan suara kecil penuh penasaran. "Apa yang Aa lakukan sampai mama marah?"

Baskara menghela napas. “Aa enggak bawa helm sama telat pulang tanpa ngabarin Mama,” jawabnya datar, tak ingin memperpanjang percakapan.

Meidiana mengangguk, wajahnya menyiratkan pemahaman yang tercampur takut. Baskara segera memasuki kamar, membanting tasnya ke tempat tidur. Wajahnya memerah, otot-ototnya tegang, seolah ada badai yang berputar di dadanya. Kenapa aku bisa lupa waktu dan helm? batinnya menggerutu.

Untuk mengalihkan emosi, ia mengambil buku catatan baru yang dibelinya kemarin. Dengan cepat ia menulis judul di halaman pertama: Refleksi seorang anak desa berusia 13 tahun. Baskara mulai menulis, membiarkan kata-kata mengalir. Pikirannya melayang kembali ke saat mamanya meledak marah. Biasanya, mama lebih sabar. Namun, kali ini berbeda.

“Mungkin ini cara mama menunjukkan betapa ia peduli," gumam Baskara, mencoba memahami. Tetapi kemarahan itu telah meninggalkan bekas di hatinya. Ia terus menulis, berharap menemukan cara untuk memperbaiki segalanya, atau setidaknya memahami perasaannya lebih baik.

Saat beberapa kalimat terakhir tertulis, Baskara berhenti. Tangannya menggantung di atas kertas, jari-jarinya gemetar. Ada kekosongan mendadak dalam hatinya—ruang kosong yang hanya bisa diisi satu sosok: Papanya.

"Papa." Tulisnya perlahan.

Ia berhenti, menatap keluar jendela. Udara malam yang dingin menyusup, membawa suara-suara kota. Namun di kamar itu hanya ada kesunyian dan rasa rindu.

"Papa, aku merasa hilang arah kadang-kadang..." Baskara terus menulis, membiarkan kata-kata membawa kenangan. "Aku di sini menunggu, merindukan saat kita bisa bersama lagi."

Baskara menutup buku catatannya perlahan. Air mata mengalir di wajahnya, meninggalkan jejak rasa rindu. Tiba-tiba, suara langkah kaki Mamanya terdengar, mengetuk keheningan kamar.

“Bas, ayo makan. Mama udah masak ayam goreng kesukaanmu,” panggilnya lembut, nada suara yang bergetar tak bisa disembunyikan.

Baskara menoleh, memandang pintu. Ia mengusap wajah, berusaha menghapus sisa kesedihan. Dengan langkah perlahan, ia menuju pintu, merasakan ketegangan di udara.

Di ruang makan, suasana terasa hangat meski masih menyimpan sisa ketegangan. Meidiana sudah duduk, matanya berbinar. Baskara melihat sang mama menata piring dengan gerakan hati-hati. Ketika ia duduk, Mamanya menatapnya.

LAUT KARAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang