SELAMAT MEMULAI HARI SENIN, REN 💙
***
⚠CAUTION⚠
Narasi bab ini tidak bermaksud menyinggung kepercayaan dari seseorang, dan melainkan hanya sebuah simbolis dan metafora untuk menekankan interpretasi yang kuat. Dan jangan mengutip dari beberapa bagian dari novel jika kau tidak membacanya sampai akhir.
***
01.NARASI TENTANG DUNIA SASTRA
"Masa kecil adalah kanvas di mana tawa dan air mata melukis kenangan yang abadi dalam hati."
-
Dua puluh satu hari setelah April yang lebih hambar dari nasi sisa semalam, sore itu tak lagi punya sisa kesopanan. Baskara mematung di depan pohon tua bagaikan setan terlahir dari neraka. Ranting-rantingnya, alih-alih tangan setan, lebih mirip jari-jari tukang kredit yang sudah bosan menggedor pintu tapi tak pernah dibayar. Sialnya, pohon ini pernah menyaksikan tawa bocah tolol yang tidak punya cukup otak untuk paham bahwa hidupnya tak lebih dari seonggok tai busuk, dikoyak-koyak oleh penderitaan, lalu dilempar ke selokan tak berujung.
Baskara kemudian menendang tanah di bawah kakinya, meremas ranting kering di tangannya, lalu mematahkannya seakan itu bisa mengubah nasib dan menenangkan rasa marah yang merongrong batinnya.
"Kau berdiri di sini selama belasan atau bahkan puluhan tahun, tapi tak pernah memberikan apa-apa kecuali bayangan dan ranting-ranting sialan yang patah di waktu yang salah." Ia menunduk, melempar ranting yang kini patah, hancur dalam genggamannya.
Orang-orang Desa Nismala selalu lebih peduli pada desas-desus kematian ketimbang kehidupan. Mereka menyebarkan cerita tentang kematian Baskara seperti pedagang yang menjajakan kopi hitam di pagi hari tanpa benar-benar tahu apa yang mereka bicarakan. Mereka mengira Baskara sudah mati di usia dua puluh satu tahun, seolah angka di batu nisan lebih penting daripada nyawa yang tersisa. Padahal, jauh sebelum itu Baskara sudah mati, entah di usia lima belas, tujuh belas tahun, atau mungkin lebih awal. Kematian dalam hati jauh lebih sederhana daripada yang mereka kira.
Dia menggigit bibirnya hingga terasa perih, darah asin mengalir pelan di ujung lidah. "Tuhan...," desisnya, lebih mirip racauan orang mabuk daripada doa. Tatapannya menusuk ke arah pohon tua yang berdiri di depannya, seolah menantang langit.
Lalu, bagaikan disulut api neraka yang terbit di pojok warung kopi yang sudah lama tak disapu, seseorang bernama Mandala muncul tanpa suara. Tidak ada aba-aba, tak ada genta kematian, hanya kedatangannya tiba-tiba bagaikan tagihan listrik yang terus membengkak.
Mandala, si pecundang yang sudah seharusnya mati seperti bangkai babi di kubangan sekarang berdiri di sana, seakan-akan kematian pun malas mengurusnya. Bahkan, Tuhan sendiri sudah muak dan menyerah mengirimnya ke neraka. Bukan salah Tuhan, mungkin. Lahir dari rahim yang lebih pantas ditertawakan daripada dirayakan, Mandala sudah busuk sejak dalam kandungan. Bapaknya lebih sering bercinta dengan botol arak daripada memberi makan anaknya, dan ibunya? Entah, mungkin kabur dan melacurkan diri dengan dalih wanita perawan.
Sementara itu, Baskara menoleh lalu melihat sosok yang seharusnya hanya tinggal ingatan busuk di desa yang lebih jelek daripada pantat tikus got. Akan tetapi, di sini kenangan dijual murah seperti kondom bekas yang dibuang sembarangan di tempat umum.
KAMU SEDANG MEMBACA
LAUT KARAM
Roman d'amour𝐴 𝑡𝑜𝑢𝑐ℎ 𝑐𝑜𝑚𝑏𝑖𝑛𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛𝑠 𝑜𝑓 ℎ𝑖𝑠𝑡𝑜𝑟𝑖𝑐𝑎𝑙, 𝑓𝑎𝑛𝑡𝑎𝑠𝑦, 𝑎𝑛𝑔𝑠𝑡, 𝑎𝑛𝑑 𝑠𝑎𝑡𝑖𝑟𝑒. 𝐋𝐚𝐮𝐭 𝐊𝐚𝐫𝐚𝐦 menuturkan perjalanan hidup Baskara yang mimpinya diperkosa oleh kenyataan keparat. Sejak kecil, ia mengejar impian...