Selamat malam minggu, Ren💙
Semoga suka sama ceritanya, Aamiin
***
TANGAN MENARI DI ATAS SUNYI
“Jemari yang bisu menari, memahat kata-kata di udara; suara mereka tak terdengar, tetapi menghantam hati lebih keras dari teriakan.”
-
Zaidan, yang masih terkejut dengan pengakuan Azura, tampak berpikir sejenak sebelum bertanya, "Kalau kamu anak kepala sekolah, kenapa kamu berjualan? Bukannya gaji jadi PNS itu lumayan?"
Azura tersenyum tipis, matanya memancarkan ketenangan yang mendalam. Dia mengambil kertas dan pulpen lagi, lalu mulai menulis dengan penuh perhatian. Setelah beberapa saat, dia memberikan kertas itu kepada Zaidan. Di atasnya tertulis, "Aku tau, tapi aku lebih suka bekerja daripada memanfaatkan privilege dari orang tua yang memang tak selamanya di atas."
Jawaban itu membuat Zaidan terdiam sejenak, merenungi kata-kata Azura. Namun, rasa penasarannya belum sepenuhnya terjawab. "Tapi, kan tunjangannya lumayan?" Baskara bertanya, mencoba memahami lebih dalam.
Azura mengangguk sambil tersenyum, lalu menuliskan jawabannya di atas kertas dengan sikap yang ringan, "Iya, sih. Tapi ini udah jadi hobi daripada di rumah terus."
Setelah menyerahkan kertas itu kepada Baskara, Azura menambahkan tawa kecil yang hangat, menunjukkan betapa dia menikmati pekerjaannya meskipun mungkin bagi orang lain itu tampak sederhana. Bagi Azura, berjualan bukan hanya tentang uang, melainkan tentang independensi dan keinginan untuk merasakan dunia dengan caranya sendiri. Dia menolak untuk hanya bergantung pada apa yang telah disediakan, memilih untuk menempuh jalannya sendiri dengan senyuman dan semangat yang penuh.
Setelah beberapa menit berlalu, Zaidan dan Baskara, yang sejak tadi melontarkan berbagai pertanyaan. Zaidan ingin menuliskan sesuatu di atas secarik kertas. Tangannya bergerak perlahan, menuliskan kata demi kata dengan hati-hati, seolah takut mengganggu kesunyian di antara mereka. Setelah selesai, ia menyerahkan kertas itu kepada Azura, menatapnya dengan penuh harap. Tulisan itu berbunyi, "Boleh ajarkan aku bahasa isyarat?"
Azura membaca tulisan itu dan senyum tipis merekah di bibirnya. Tanpa suara, ia mengangguk, lalu meraih sebuah buku dari tumpukan di meja kecil di hadapannya. Buku itu berisi penjelasan tentang bahasa isyarat, lembaran-lembaran yang menjadi jembatan bagi dirinya, seorang tunawicara, untuk berkomunikasi dengan dunia yang tak selalu paham dengan diamnya. Dengan lembut, ia menyerahkan buku itu kepada Zaidan.
Zaidan menerimanya dengan penuh rasa ingin tahu, membuka halaman pertama dan mulai membaca dengan serius. Setiap kalimat di buku itu seolah membuka pintu baru dalam pemahamannya tentang komunikasi nonverbal, sebuah dunia yang begitu luas dan penuh arti, dunia yang selama ini dijelajahi Azura dengan tenang dan tabah.
Di samping Zaidan, Baskara diam-diam memperhatikan. Ia tidak mengalihkan pandangannya dari Azura, seolah enggan melewatkan satu gerakan pun. Matanya menangkap gerakan tangan Azura yang membentuk kata-kata tanpa suara, sebuah tarian halus yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang memahami bahasa isyarat.
Baskara menyadari, betapa banyak yang bisa disampaikan Azura melalui gerakan tangannya, lebih dari sekadar kata-kata yang biasa terucap. Di tengah kesunyian yang terasa begitu penuh makna, Baskara melihat bahwa setiap gerakan tangan Azura adalah sebuah puisi hidup, kisah yang ditulis tanpa tinta, namun terpatri dalam hati yang mau memahami. Di sisi Zaidan, ia menyaksikan, tidak hanya komunikasi, tetapi juga sebuah keindahan dalam diam yang selama ini belum ia sadari sepenuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LAUT KARAM
Romansa𝐴 𝑡𝑜𝑢𝑐ℎ 𝑐𝑜𝑚𝑏𝑖𝑛𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛𝑠 𝑜𝑓 ℎ𝑖𝑠𝑡𝑜𝑟𝑖𝑐𝑎𝑙, 𝑓𝑎𝑛𝑡𝑎𝑠𝑦, 𝑎𝑛𝑔𝑠𝑡, 𝑎𝑛𝑑 𝑠𝑎𝑡𝑖𝑟𝑒. 𝐋𝐚𝐮𝐭 𝐊𝐚𝐫𝐚𝐦 menuturkan perjalanan hidup Baskara yang mimpinya diperkosa oleh kenyataan keparat. Sejak kecil, ia mengejar impian...