Halo kalian💙
Semoga suka sama ceritanya, Aamiin
***
CERITA MENARIK
-
Di kelas VIII-A, suasana sunyi dan fokus. Baskara duduk di pojok belakang bersama Zaidan. Di depannya, Scarlett dan Rintik tekun menulis tugas Bahasa Indonesia mereka: sebuah cerita pendek dengan tema bebas. Baskara tampak santai, pena melayang di atas kertas, sesekali bibirnya menyeringai. "Tugas ini gampang banget," gumamnya sambil menghela napas puas.
Zaidan di sampingnya memperhatikan dengan seksama. Tubuhnya kurus namun berotot, kulitnya sedikit gelap mencerminkan kebiasaannya bermain sepak bola di luar jam sekolah. Rambutnya yang agak panjang selalu terlihat rapi. Saat melihat tulisan Baskara, mata Zaidan menyipit, penuh perhatian dan kekaguman.
"Kok bisa ada anak 13 tahun jago mengarang?" ucapnya heran, sambil menggelengkan kepala.
Bu Ayu, guru Bahasa Indonesia mereka, berjalan mengelilingi kelas. Suasana hening, hanya terdengar gesekan pena di kertas dan langkah kaki Bu Ayu di lantai. Kelas yang biasanya riuh kini berubah menjadi arena kontemplasi.
Baskara cepat menyelesaikan cerita pendeknya. Beberapa menit setelah diberikan tugas, ia sudah mengangkat tangan, siap menyerahkan hasil karyanya. Bu Ayu, heran melihat ketangkasan Baskara, mengambil kertas dari tangan Baskara dan mulai membacanya.
"Reinkarnasi?" tanya Bu Ayu, alisnya terangkat.
"Iya, Bu. Saya penasaran apakah reinkarnasi itu nyata atau tidak," jawab Baskara dengan semangat. Zaidan menambahkan dengan semangat, "Reinkarnasi itu nyata kalau kita lagi mimpi," sambil menyeringai. "Kalau saya, sih, enggak percaya. Reinkarnasi cuma ada di dunia anime, kayak di Angel Beats! dengan MC-nya rambut pink!"
Rintik dan Scarlett tertawa terbahak-bahak.
"Zai, kamu selalu dengan anime-anime-mu," ucap Scarlett sambil tersenyum.
"Kar, anime itu dunia kedua bagi Zaidan," ledek Rintik dengan senyum nakal ke arah Zaidan.
"Bener banget, Rin. Tanpa anime, hidupku bakal hampa," jawab Zaidan sambil tertawa. "Kalian harus coba sesekali."
Scarlett menggelengkan kepala dengan senyum lembut. "Sorry, mungkin aku lebih suka menonton drama kehidupan tetanggaku yang berisik!"
"Pantes aja ke sekolah selalu bawa buku—"
"Sssst, kalian bertiga, diam!" Suara Bu Ayu memotong percakapan mereka. Matanya tajam dan berkilat di balik kacamata tipis, menatap tegas. Wajahnya tegas, dengan tulang pipi tinggi dan rahang kuat, namun senyumnya yang jarang tampak selalu memberikan kesan bijaksana.
"Fokus mengerjakan cerita pendek kalian. Ini waktunya berkarya, bukan bercanda," lanjut Bu Ayu dengan nada yang tak bisa dibantah. "Zaidan, Scarlett, Rintik, ayo selesaikan tugas kalian."
Ketiga murid itu segera terdiam dan kembali menekuni tugas mereka, sadar di bawah pengawasan Bu Ayu, mereka harus menunjukkan hasil terbaik.
Baskara menahan tawa melihat teman-temannya dimarahi. Dengan tubuh tinggi dan wajah tegas, Baskara memiliki tatapan mata tajam dan penuh percaya diri. Rambut hitamnya yang sedikit acak-acakan menambah pesona maskulin pada dirinya. Senyumnya nakal tersungging saat Bu Ayu memeriksa tugasnya, meneliti setiap tulisannya dengan cermat. Setelah mengamati cerita pendeknya, Bu Ayu mempersilahkan Baskara untuk istirahat, kebetulan jamnya tiga puluh menit sebelum istirahat.
"Baskara, bagus ceritanya. Kamu boleh istirahat sekarang," kata Bu Ayu dengan nada lembut namun tegas.
"Boleh istirahat dulu, ya?" ledek Baskara kepada Zaidan, Scarlett, dan Rintik. "Jangan lupa selesaikan ceritanya, ya."
Baskara berdiri di luar kelas, memerhatikan Zaidan yang kebingungan. Dari dalam kelas, Zaidan melirik Baskara dengan raut wajah masam. Barusan Bu Ayu bilang jika ceritanya belum selesai, tidak boleh istirahat. Kini, Rintik dan Scarlett sudah mengumpulkan tugasnya pada Bu Ayu.
Di luar kelas, suasana terasa segar dengan angin lembut yang berhembus pelan, membawa wangi rumput yang baru dipotong. Sementara dari dalam kelas, terdengar sayup-sayup suara anak-anak yang sibuk menyelesaikan tugas mereka.
Baskara berdiri santai sambil memandangi Zaidan yang tampak frustasi. Rintik terlihat serius menulis, sesekali menggigit ujung pensilnya. Scarlett, dengan rambut panjang yang sesekali diselipkan di balik telinga, tampak tenang dan fokus menambahkan kalimat terakhir pada ceritanya.
Bel istirahat berbunyi, Zaidan akhirnya menyelesaikan tugasnya. Dia beranjak dan berjalan keluar kelas, menemui Baskara di lorong.
"Mengarang cerita dalam waktu yang kepepet memang susah," ujar Zaidan sambil meregangkan tubuhnya. "Tapi, lumayanlah. Ternyata seru juga."
Baskara tersenyum. "Menulis cerita itu seperti merangkai mimpi. Kadang, inspirasi datang justru saat kita terdesak."
Zaidan mengangguk setuju. "Ngomong-ngomong, kamu pernah eksplorasi seluruh sekolah ini belum?"
Baskara menggeleng. "Belum. Aku penasaran sama semua sudut sekolah ini. Apalagi, aku baru ingat kalau Azura sekolah di sini juga. Dia ada di bagian ajaran anak berkebutuhan khusus."
Mata Zaidan membulat. "Azura? Siapa dia? Pacar kamu?"
Baskara tertawa kecil. "Bukan. Aku pertama kali ketemu dia waktu ulang tahun adikku. Aku lagi di pusat kota Bandung beli alat gambar dan gelang custom. Kebetulan, enggak jauh dari sini. Azura itu pekerja keras, walaupun punya kekurangan. Dia tunawicara, tapi semangatnya luar biasa."
Zaidan mendengarkan dengan seksama. Mereka berdua kemudian mulai menjelajahi lingkungan sekolah.
Sekolah ini luas dan tertata rapi, dengan bangunan utama megah dalam arsitektur modern. Taman-taman hijau menyejukkan pandangan. Di bagian belakang sekolah, terdapat area khusus untuk program inklusif, tempat anak-anak berkebutuhan khusus mendapatkan pengajaran dan perhatian sesuai.
"Baskara, ayo ke bagian belakang sekolah. Aku penasaran sama tempat itu," ajak Zaidan.
Baskara mengangguk, dan mereka berdua berjalan melewati lorong-lorong sekolah yang semakin sepi. Langit-langit tinggi dan jendela besar memberikan kesan luas. Jalan setapak berkelok-kelok mengantar mereka ke taman yang dipenuhi bunga warna-warni, menuju bangunan inklusif dikelilingi pepohonan rindang. Suasana di sini terasa lebih tenang, dengan udara segar dan suara burung berkicau lembut.
Sebelum masuk ke area inklusif, Baskara dan Zaidan melewati penjaga di pintu masuk. Seorang pria paruh baya dengan seragam rapi menyapa mereka dengan sorot mata tajam.
"Kalian mau ngapain?" tanya penjaga bernama Pak Soya.
Baskara melangkah maju dengan sopan. "Saya ingin menemui teman saya, Pak. Namanya Azura."
Pak Soya mengangguk, lalu memperingatkan, "Oke, tapi jangan rusuh di sana."
Baskara mengiyakan, lalu dia dan Zaidan masuk ke area inklusif. Suasana di sini berbeda. Jalan setapak dikelilingi taman kecil dengan bunga yang ditata indah. Ada bangku-bangku taman untuk murid-murid yang ingin beristirahat atau belajar di luar ruangan. Bangunan berwarna cerah dengan desain ramah anak, menciptakan suasana nyaman.
Zaidan memperhatikan sekeliling dengan kagum. "Sekolah ini emang hebat. Anak berkebutuhan khusus juga bisa sekolah umum dengan ekstra keamanan."
Baskara tersenyum. "Iya, pendidikan inklusif bisa berjalan baik. Mereka layak mendapat kesempatan yang sama."
Mereka terus berjalan, mengelilingi kawasan itu. Banyak anak-anak berkebutuhan khusus asyik belajar dan bermain. Ruang kelas didesain dengan peralatan sesuai kebutuhan anak, memberikan lingkungan optimal.
Namun, Baskara belum bertemu Azura. Pikiran Baskara dipenuhi pertanyaan. Bagaimana Azura bisa tahu dia bersekolah di sini? Apakah anak berkebutuhan khusus bisa masuk ke area kelas murid umum tanpa penjagaan? Apakah ada sesuatu yang terjadi saat itu?
Rasa penasaran semakin kuat dalam benak Baskara. Ketika jam pulang sekolah tiba, dia bertekad mencari Azura di tempat jualannya. Dia ingin mendapatkan jawaban dari semua pertanyaan yang menghantuinya.
***
tbc
-25 Juli 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
LAUT KARAM
Romance𝐴 𝑡𝑜𝑢𝑐ℎ 𝑐𝑜𝑚𝑏𝑖𝑛𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛𝑠 𝑜𝑓 ℎ𝑖𝑠𝑡𝑜𝑟𝑖𝑐𝑎𝑙, 𝑓𝑎𝑛𝑡𝑎𝑠𝑦, 𝑎𝑛𝑔𝑠𝑡, 𝑎𝑛𝑑 𝑠𝑎𝑡𝑖𝑟𝑒. 𝐋𝐚𝐮𝐭 𝐊𝐚𝐫𝐚𝐦 menuturkan perjalanan hidup Baskara yang mimpinya diperkosa oleh kenyataan keparat. Sejak kecil, ia mengejar impian...