Sosok Ayah?

110 45 4
                                    

Mengenalmu adalah hal terindah bagi diriku sendiri.
~Daisy Aurellia Najela~

Nana sudah berdiri di depan gerbang sekolah, matanya menatap tajam ke arah gedung yang menjulang di hadapannya. Hari kenaikan kelas ini menjadi momen yang penting baginya—sebuah penanda bahwa ia harus melangkah maju, meskipun perasaannya masih tertinggal di masa lalu.

"Oh, sial!" desahnya saat tiba-tiba teringat sesuatu yang membuatnya terlambat berangkat ke sekolah. Ia menggelengkan kepala, berusaha mengusir perasaan cemas yang kembali menghantui. Namun, kenangan akan liburan kemarin tak mudah dilupakan. Suasana hati yang suram masih menghantui, seperti awan gelap yang enggan pergi. Kehilangan kekasih sekaligus sahabat terbaiknya adalah luka yang terlalu dalam untuk cepat sembuh. Nana merasakan ombak kesedihan yang terus mengintai, siap melanda kapan saja. Namun, selama ia bisa menahan diri dan berpura-pura tersenyum, itu sudah cukup baginya. Setidaknya, itulah yang selalu ia katakan pada dirinya sendiri.

"Sial, bisa-bisanya gue kesiangan tadi. Katanya mau hidup lebih baik, loh, Nana!" gumamnya, seolah mencoba menyemangati dirinya yang sedang terpuruk. Meski begitu, ia tahu bahwa perbaikan diri bukanlah hal yang mudah dilakukan, terutama ketika hati masih dipenuhi luka.

Pandangan matanya tertuju pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 7 lewat sedikit. Napasnya yang sejak tadi terengah-engah mulai sedikit mereda, namun hatinya masih terasa gelisah. Meskipun berhasil memasuki gerbang sekolah tepat waktu, Nana tidak ingin membuang waktu. Langkah kakinya terus bergerak cepat menuju kelas. Hari pertama semester ini tidak boleh dimulai dengan keterlambatan.

Tiba-tiba, saat sedang terburu-buru, langkahnya terhenti. BRAK... Nana tersungkur ke lantai dengan keras, menyebabkan rasa sakit menjalar dari pantatnya.

"Aduh!" ia meringis, sambil mencoba bangkit kembali.

"Makanya, jalan yang santai dong," suara seorang lelaki terdengar, dengan nada yang begitu tenang namun mengandung sedikit senyum di baliknya.

Nana segera menoleh ke arah suara itu. Di hadapannya, berdiri seorang lelaki dengan postur tubuh tinggi, sekitar 177 cm, kulitnya berwarna kuning langsat dan berambut sedikit ikal yang berkilau lembut di bawah sinar matahari pagi. Dia tampak santai, namun memiliki aura yang membuat Nana terpaku sejenak. Mata mereka bertemu, dan seketika itu juga, mata Nana yang tadinya redup karena kepedihan, kini berbinar.

"Hm?" bingungnya,, masih dengan wajah tenang.

Bisma Delvanio, yang lebih dikenal dengan panggilan Bisma, adalah seorang pria dengan wajah yang sangat mirip dengan almarhum ayah Nana. Kemiripan tersebut sering kali membuat Nana sulit untuk mengalihkan pandangannya setiap kali mereka berpapasan. Bukan semata-mata karena ketertarikan, melainkan karena rasa rindu yang mendalam pada sosok ayah yang telah tiada. Di dalam hati Nana, ada keinginan besar untuk lebih mengenal Bisma, meskipun ketakutan selalu menghambatnya.

"Bangunin ke!" seru Nana dengan nada kesal, sambil berusaha berdiri sendiri. Emosinya, yang sudah sejak awal tidak stabil, semakin meluap. Secara spontan, ia meraih tas Bisma dan menariknya dengan kuat.

Langkah Bisma terhenti mendadak. Dia berbalik menatap Nana dengan sikap santai. "Heh, bukannya bantu, malah kabur. Dasar enggak bertanggung jawab!" teriak Nana dengan nada ketus.

Bisma hanya memberikan senyum tipis. "Makanya, jalan aja yang pelan," ujarnya dengan tegas, seolah mengabaikan kemarahan Nana.

Nana terdiam sejenak, mendapati wajah Bisma yang kini sangat dekat dengannya. Ada sesuatu yang tidak biasa dalam momen tersebut. "Wajah lo... unik banget. Ganteng," ucap Nana tanpa sadar, seolah kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya.

OMBAK BERSORAK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang