Alasan Bisma Menyukai Gunung

29 14 7
                                    

Bisma (Ayah):
Kamu tahu kenapa aku suka gunung?

Nana anak Ips:
Enggak

Bisma (Ayah):
Dari gunung itu, aku bisa belajar gimana
kita mencapai sesuatu, belajar gimana
melupakan hidup yang mengganggu pikiran.

Kamu berpikir bahwa mendaki gunung bisa mengajarkan kita mencapai sesuatu dan melupakan hidup yang mengganggu pikiran. Tapi menurutku, laut dengan ombaknya yang tenang membuat pikiranku tenteram. Kamu tahu? Kamu itu seperti ombak, luas terbentang di permukaan dan meski hanya menyapa sebentar, kehangatanmu terasa nyata. Sedangkan kamu sangat menyukai gunung yang menjulang tinggi di atas permukaan. Karena itu, aku tak bisa mendakinya.

Bisma (Ayah):
Kamu tahu carrier itu seberat apa?

Nana anak Ips:
Enggak, aku kan enggak pernah
naik gunung kaya kamu

Bisma (Ayah):
Carrier itu berat kebanyakan orang bilang
Tapi menurutku Carrier itu tak ada apa-apanya di banding beban hidup aku.

Nana membaca pesan dari Bisma, dan satu kata di sana membuatnya terdiam. "BEBAN?" Bisma menyebutkan kata itu dengan nada yang menunjukkan luka dalam hatinya.

Nana merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar obrolan biasa, dan dengan cepat ia mengetik.

Nana Anak Ips:
Bisma, bisa kita bicara lewat telepon?

Bisma segera menyetujui permintaan itu, dan beberapa saat kemudian, mereka sudah terhubung melalui telepon. Suara Bisma terdengar lebih tenang, namun tetap ada kesedihan yang tersimpan di balik nada bicaranya. Mereka mulai berbicara, dan pelan-pelan, Bisma membuka dirinya, menceritakan pengalaman pahit yang selama ini ia simpan.

Nana mendengarkan dengan penuh perhatian saat Bisma bercerita tentang Sinda, perempuan yang pernah ia percayai sepenuhnya. Bisma ingin serius dengan Sinda, memberikan seluruh kepercayaannya, namun balasan yang ia dapatkan sungguh mengecewakan. Awalnya, Bisma tidak percaya saat temannya memberi tahu bahwa Sinda menduakannya. Ia berpikir semua itu hanya rumor yang tak berdasar. Namun, semua keyakinannya hancur saat ia melihat sendiri dengan mata kepalanya bahwa Sinda benar-benar menduakannya.

Bisma menjelaskan bagaimana hatinya hancur saat itu, betapa kecewanya ia, dan bagaimana kepercayaan yang selama ini ia berikan dengan tulus diabaikan begitu saja. Nana bisa merasakan betapa dalamnya luka itu, meskipun Bisma berusaha terdengar kuat di hadapannya.

"Aku paham sekarang," kata Nana dengan suara lembut. "Aku ngerti kenapa kamu merasa seperti itu. Tapi, Bisma, bukan berarti kamu harus membawa beban itu sendirian."

Bisma berbicara dengan Nana, suaranya terdengar berat saat ia mengungkapkan perasaannya.

"Aku enggak mau pengalaman kemarin yang mengerikan itu terulang lagi. Semakin dewasa, semakin susah buat bedain mana yang serius dan mana yang cuma numpang tenar main bareng aku," katanya dengan jujur. Ia menjelaskan bahwa hingga saat ini, belum ada yang bisa mengembalikan kepercayaannya seperti dulu. Ia mengakui bahwa dirinya masih trauma dengan cinta, dan sering kali merasa bahwa ia tidak pantas untuk siapa-siapa.

"Aku sebenarnya ingin punya seseorang yang selalu ada untuk mendukungku," lanjut Bisma. "Aku ingin ada yang bisa diajak traveling bareng, menikmati hidup selagi masih muda. Manfaatin hidup di dunia, mumpung kita masih punya waktu."

Nana mendengarkan dengan hati yang berat. Ia bisa merasakan betapa dalamnya luka yang Bisma rasakan, dan betapa berat beban yang selama ini ia tanggung.

"Seseorang yang terlihat hidupnya baik-baik saja, belum tentu dia merasakan kedamaian itu," tambah Bisma.

"Manusia adalah sumber topeng. Kita bisa memalsukan diri di hadapan banyak orang, berpura-pura bahagia padahal yang sebenarnya itu adalah kepalsuan."

Kemudian, dalam hatinya, Nana berpikir, "Kamu tahu, dari kenangan buruk, masa depan seseorang bisa terpengaruh. Aku ingin sembuh dari rasa takut yang aku miliki. Aku ingin mengajakmu untuk menyembuhkan rasa takut ini bersama." Meskipun ia tidak mengucapkan kalimat itu dengan lantang, perasaan itu jelas terukir dalam benaknya.

"Aku enggak mau mengecewakan siapa pun lagi, dan aku harap kamu juga begitu," kata Bisma dengan nada serius.

"Trauma dalam diri kita enggak boleh tumbuh, dan aku berharap kita bisa saling mendukung untuk menghindari itu."

Obrolan mereka berakhir dengan perasaan yang lebih dalam daripada sebelumnya, dengan Bisma yang akhirnya membuka dirinya lebih luas kepada Nana. Meskipun masa lalunya penuh luka, Bisma berharap bisa menemukan harapan baru melalui hubungan yang lebih tulus, dan ia berharap Nana bisa menjadi bagian dari proses penyembuhannya.

˖°𓇼🌊⋆

Bisma merasakan kelegaan yang samar setelah menutup teleponnya dengan Nana. Ia tidak menyangka bisa bercerita begitu banyak, seolah-olah beban yang selama ini ia simpan perlahan terangkat. Namun, bersamaan dengan itu, ada keraguan yang menggelayut di hatinya—apakah ia terlalu terbuka? Apakah Nana akan memandangnya berbeda setelah ini?

Dengan perasaan campur aduk, Bisma melangkah ke dapur. Ia membuka kulkas dan mengambil sekotak susu, berharap kesegaran minuman itu bisa menghilangkan sedikit kegelisahan yang masih tersisa. Setelah menuangkan susu ke dalam gelas, ia kembali ke ruang keluarga dan duduk di samping Gita, yang masih asyik menonton televisi. Namun, kehadirannya yang tiba-tiba membuat Gita terkejut.

Gita melompat kecil dari tempat duduknya, menatap Bisma dengan ekspresi sebal.

"Masuk kamar aja, ah. Ada orang gila!" ucapnya dengan nada kesal, sebelum memutuskan untuk meninggalkan ruang keluarga.

Bisma hanya tersenyum lelah, meskipun matanya menunjukkan sedikit keletihan yang tertinggal setelah hari yang panjang.

"Selamat bobo ya, cantik," katanya dengan nada bercanda, membuat Gita makin kesal sebelum akhirnya bergegas ke kamarnya.

Setelah Gita pergi, Bisma duduk sendirian, menikmati susu dingin dalam keheningan malam yang perlahan merasuk. Pikiran-pikirannya mengalir, kembali ke percakapan yang baru saja ia lakukan dengan Nana. Meski ia merasakan kedekatan yang tumbuh di antara mereka, ada juga kekhawatiran bahwa membuka luka lama bisa membuatnya kembali rentan.

Bisma (Ayah):
Na, makasih ya udah dengerin.
Kita bisa jalan-jalan ke Dieng?

Di tempat lain, ponsel Nana bergetar di atas meja belajarnya. Sebuah pesan masuk, namun pemiliknya sudah tertidur pulas, terbungkus dalam mimpi yang mungkin jauh lebih sederhana dibandingkan kenyataan yang harus ia hadapi keesokan harinya.

Sementara itu, di tangan Bisma, ponselnya kembali berbunyi. Ia mengangkat telepon itu dengan sedikit keraguan. Suara perempuan di seberang sana terdengar jelas, namun nadanya tidak ramah.

"Kamu susah dihubungi banget sih jadi orang," suara perempuan itu terdengar kesal, memecah ketenangan yang baru saja Bisma rasakan. Perasaan tenang yang tadi ia dapatkan dari percakapan dengan Nana perlahan terkikis, digantikan oleh ketegangan yang kini datang menghampiri.

Bisma menghela napas panjang, menyadari bahwa mungkin malam ini belum selesai untuknya. Ketenangan yang ia cari seakan menjauh, tergantikan oleh sebuah percakapan yang ia tahu tak akan mudah.

OMBAK BERSORAK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang