Duka

37 20 0
                                    

Kepergian adalah hal yang menyakitkan
~Daisy  Aurellia Njela~

Selesai makan malam, Nana kembali ke kamarnya yang penuh dengan kenangan masa kecil. Ia mengambil ponsel dan bantal karakter kucing yang selalu menjadi temannya saat tidur. Malam ini, rasa rindu yang mendalam pada Segara dan ayahnya kembali menghampiri, namun ada sesuatu yang berbeda. Ada perasaan damai yang perlahan muncul di tengah kesedihannya.

Duduk di ambang jendela, Nana memandangi bintang-bintang yang bersinar di langit Karawang. Cahaya bintang-bintang itu tampak seolah merestui kebahagiaan yang Nana rasakan malam ini, meski itu hanya seberkas kebahagiaan kecil di tengah rasa kehilangan yang masih melekat erat. Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ketika ia dan Segara masih kecil, penuh canda dan tawa tanpa beban.

Nana mengingat jelas bagaimana mereka berdua tertawa bersama, bercanda tentang hal-hal sepele di sekolah. Segara selalu berhasil membuat Nana tersenyum, bahkan di hari-hari ketika dia merasa sedih. Namun, hari itu berbeda. Hari itu, tawa mereka terhenti ketika guru datang dan menyuruh mereka pulang lebih awal.

"Segara juga boleh ikut pulang duluan, Bu?" pinta Segara dengan penuh semangat. Guru mereka mengangguk dan membiarkan mereka pulang bersama, tak menyadari bahwa itu adalah perjalanan terakhir mereka bersama dalam kebahagiaan tanpa beban.

Saat mereka masuk ke dalam mobil, Segara masih sibuk bercerita tentang rencana permainan mereka setibanya di rumah. Nana mendengarkan dengan senyum di wajahnya, meski ada sesuatu yang aneh dalam suasana hari itu. Supir keluarga Segara hanya diam, mungkin karena tahu bahwa tawa itu akan segera berubah menjadi kelam, bahwa perjalanan itu akan membawa mereka ke sebuah titik tanpa kembali.

Sesampainya di rumah, pemandangan yang tak pernah diharapkan oleh Nana terbentang di hadapannya. Banyak orang berdatangan, dan bendera kuning yang terpampang di depan rumah membuat hati kecilnya gemetar. Perasaan cemas mulai menyelimuti hatinya yang masih polos. Tanpa berpikir panjang, Nana berlari menuju dalam rumah, diikuti oleh Segara yang juga kebingungan dengan apa yang sedang terjadi.

Air mata mengalir deras membasahi pipi Nana saat ia melihat sosok yang begitu ia cintai, terbaring diam di tengah ruangan. Pria itu, ayahnya, dibalut kain kafan putih, seolah terlelap dalam tidur yang tak berujung. Tangannya bergetar hebat, tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Dunia yang sebelumnya damai dan penuh dengan tawa bersama Segara, kini seolah dihantam ombak besar yang memecah hatinya menjadi serpihan kecil.

"Ayah, ayah kenapa?" Nana terisak, memeluk tubuh ayahnya yang dingin dan tak lagi merespon.

"Ayah, bangun..." ucapnya lagi, dengan harapan bahwa ini semua hanya mimpi buruk yang akan segera berlalu. Namun, kenyataan tak memberikan ruang untuk itu. Ayahnya tetap terbaring, dengan wajah yang pucat dan mata yang tak lagi akan terbuka.

Wina, yang melihat putrinya begitu terpukul, segera menghampiri dan memeluk Nana erat-erat. Dia tahu, betapa dalamnya cinta Nana pada ayahnya. Dengan perlahan, Wina membawa Nana ke kamarnya, berusaha menenangkan putri kecilnya yang hatinya tengah hancur berkeping-keping. Segara, yang masih berada di sana, hanya bisa mengikuti di belakang mereka, merasa bingung dan tak berdaya menghadapi kesedihan sahabatnya.

Setelah berada di kamar, Segara mencoba menghibur Nana dengan cara yang ia tahu. Dia menggenggam tangan Nana erat-erat, mencoba memberikan sedikit kehangatan di tengah dinginnya kesedihan. "Hei Jela, masih ada aku di sini, ada bunda," kata Segara dengan suara lembut, sambil mengusap air mata yang terus mengalir di pipi Nana.

"Tapi, Segara... ayah enggak akan kembali lagi," jawab Nana dengan suara terbata-bata, matanya yang merah dan bengkak menunjukkan betapa hancurnya hati kecilnya.

Wina hanya bisa memandangi putrinya dengan perasaan yang campur aduk. Dia menyuruh Nana mengganti pakaiannya, berharap mungkin itu bisa sedikit mengalihkan perhatiannya. Sebelum meninggalkan kamar, Wina menitipkan Nana pada Segara, yang dengan senang hati menerimanya. Meskipun masih sangat muda, Segara merasa ada tanggung jawab besar untuk menjaga Nana, untuk memastikan bahwa dia tidak sendirian dalam menghadapi kesedihan ini.

Namun, tangisan Nana tak kunjung reda. Ia masih duduk dengan seragam sekolahnya, tak mau melepaskan sisa-sisa hari yang seharusnya biasa, tapi kini menjadi hari yang paling menyakitkan dalam hidupnya. Segara, yang duduk di sampingnya, memegang tangan Nana erat-erat, mencoba memberikan kekuatan yang dia sendiri hampir tak punya. Anak laki-laki itu sedikit kebingungan, tak tahu lagi apa yang harus dilakukan untuk membuat Nana tenang.

Di dalam kamar yang sunyi, hanya suara isak tangis Nana yang terdengar. Segara, meski tak tahu harus berkata apa, memutuskan untuk tetap berada di sana, menemani Nana dalam diam, dengan harapan bahwa kehadirannya, meski kecil, dapat memberikan sedikit rasa aman di tengah badai besar yang sedang menghancurkan hati sahabatnya.

Hari itu, Segara berjanji pada dirinya sendiri. Dia akan selalu ada untuk Nana, menjaga dan melindunginya, apa pun yang terjadi. Meski tak bisa menggantikan ayah Nana, Segara akan melakukan yang terbaik untuk memastikan bahwa Nana tidak merasa sendirian di dunia ini.

"Jela," sahut Segara dengan lembut, memanggil nama kecil sahabatnya yang tengah dirundung kesedihan mendalam. Namun, Nana tak merespons, seolah tenggelam dalam lautan emosinya sendiri. Segara, yang tak ingin menyerah, memaksa dengan lembut, "Jela, lihat aku dulu."

Nana akhirnya mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata, menatap Segara yang balas menatapnya dengan senyum yang penuh kasih. Segara, dengan hati-hati, mengusap lagi air mata yang mengalir di pipi Nana. Dia tahu, kata-kata mungkin tidak cukup untuk menghapus rasa sakit itu, tapi dia ingin Nana tahu bahwa dia tidak sendirian.

Dengan gerakan cepat namun penuh kehangatan, Segara memeluk erat sahabatnya. "Gak apa-apa, Jela, tangisin aja sepuas kamu. Semua orang di sini berhak sedih atas kehilangan seseorang yang kita sayangi. Tapi, jangan sedih terus, nanti ayah Jela ikut bersedih di sana," ucap Segara dengan suara lembut, mencoba menenangkan hati Nana yang rapuh.

Nana mendengar kata-kata itu, dan meski hatinya masih berat, ada sedikit kelegaan yang menyelinap. Dia tahu, Segara benar. Ayahnya pasti tak ingin melihatnya larut dalam kesedihan, meski rasanya begitu sulit untuk berhenti menangis.

"Masih ada aku, keluarga aku, dan bunda yang menyayangi Jela," lanjut Segara, tetap memeluk Nana erat. "Kalau Jela nanti rindu sama ayah, nanti aku temenin untuk mendokan ayah."

Kata-kata itu, meskipun sederhana, berhasil membuat Nana merasa sedikit lebih kuat. Perlahan, isakan Nana mulai mereda. Segara yang peka, merasakan perubahan itu dan melepaskan pelukannya. Dia memegang erat kedua tangan Nana, memberikan sedikit tekanan sebagai tanda bahwa dia ada di sana, dan akan selalu ada untuknya.

Segara kembali melemparkan senyum, sebuah senyum yang penuh kehangatan dan dukungan. Meskipun di dalam hatinya, dia sendiri juga merasa sedih dan tak berdaya, dia tahu bahwa Nana membutuhkan seseorang yang bisa membuatnya merasa aman, seseorang yang bisa dia andalkan. Dan Segara bertekad untuk menjadi orang itu, untuk menjadi cahaya kecil di tengah kegelapan yang sedang melanda sahabatnya.

Dalam senyuman itu, Nana menemukan secercah kekuatan. Meski duka itu belum sepenuhnya sirna, ia tahu bahwa ia tidak akan menghadapi semuanya sendirian. Ada Segara, dan ada orang-orang yang masih menyayanginya, yang akan selalu ada untuk menguatkan dia, tak peduli seberapa sulit perjalanan yang harus ia tempuh. Dengan menggenggam tangan Segara lebih erat, Nana akhirnya menemukan ketenangan dalam kehadiran sahabatnya, dan untuk pertama kalinya sejak kepergian ayahnya, ia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, semuanya akan baik-baik saja.

OMBAK BERSORAK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang