Ingin Mengenal

52 21 0
                                    

Karena aku adalah malam yang kelam 
Namun untuk dekat denganmu, aku harus menjadi mentari 
Sedangkan, aku tak punya cahaya secerah itu.
Daisy Aurellia Najela

Waktu sudah menjelang maghrib, ketika Nana akhirnya tiba di rumah, masih mengenakan seragam sekolah. Hari itu seperti hari-hari sebelumnya, Nana pulang terlambat, dan hal ini membuat Wina, ibunya, semakin khawatir. Sejak tadi, Wina sudah duduk menunggu di ruang tamu, hatinya penuh dengan kekhawatiran dan pertanyaan tentang kemana putrinya pergi setiap kali pulang terlambat.

Nana, yang sudah terbiasa dengan rutinitas ini, mencoba berjalan mengendap-endap agar suara langkah kakinya tidak terdengar oleh Wina. Dia tidak ingin terlibat dalam percakapan panjang tentang ke mana saja ia pergi sehabis sekolah. Namun, seperti yang sudah bisa ditebak, usahanya sia-sia. Wina, dengan nalurinya sebagai seorang ibu, langsung menyadari kehadiran putrinya dan segera menghampirinya.

"Kamu keluyuran ke mana dulu?" tanya Wina dengan nada lembut namun tegas, matanya menatap Nana dengan penuh kekhawatiran.

Nana hanya mengangkat bahu dan melemparkan senyuman tipis.

"Jam segini baru pulang, kamu kan enggak ikut organisasi apa-apa," lanjut Wina, mencoba memahami alasan putrinya sering pulang terlambat.

Namun, alih-alih menjawab, Nana hanya terus melangkah menuju kamarnya tanpa sepatah kata pun. Dia tahu betul, ibunya pasti akan khawatir, tapi ia belum siap untuk bercerita tentang apa yang sebenarnya terjadi. Senyuman itu adalah upayanya untuk menenangkan ibunya, meskipun dia tahu, Wina tetap merasa tidak tenang.

Wina, yang sudah sangat mengenal sifat putrinya, tidak memaksa Nana untuk menjawab. Dia hanya menegur dan menasihati dengan halus, berusaha menahan diri agar tidak terlalu menekan putrinya. Wina tahu, jika Nana merasa dipaksa, mungkin ia akan memberontak dan malah menjauh. Dalam hatinya, Wina percaya bahwa ketika saatnya tiba, Nana akan bercerita sendiri.

Setelah sampai di kamar, Nana menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Ia menatap langit-langit kamar sambil memikirkan berbagai hal yang telah terjadi belakangan ini. Pikiran Nana penuh dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk—antara rasa bersalah karena membuat ibunya khawatir, dan ketidakmampuan untuk menceritakan apa yang sebenarnya ia alami.

Nana kini asyik memainkan aplikasi Instagram di kamarnya, mencoba mengalihkan pikiran dari perasaan tak nyaman yang menghantuinya seharian. Namun, tiba-tiba saja, matanya membulat lebar, dan dengan refleks, ia langsung terbangun dari posisi berbaring. Di layar ponselnya, muncul sebuah akun yang sudah lama menarik perhatiannya—akun seorang laki-laki yang sering ia perhatikan diam-diam. Akun itu tiba-tiba muncul di bagian "Orang yang mungkin Anda kenal" di Instagram miliknya.

Namun, meskipun ada perasaan antusias yang timbul saat melihat akun tersebut, pikiran Nana malah melayang pada sosok lain—Segara.

Nama itu meluncur pelan dari bibirnya, "Segara," bisiknya dengan nada yang penuh kesedihan.

Dalam benaknya, ingatan tentang Segara kembali muncul.

"Aku akan mencintaimu, selalu mencintaimu. Dia cuma mirip ayah, Segara," gumamnya sedih, sambil menatap kosong pada layar ponselnya.

Hati Nana merasakan sebuah kerinduan yang mendalam, namun juga kebingungan. Sosok laki-laki di Instagram memang mirip dengan ayahnya, tapi dia bukan Segara, dan Nana tahu itu.

Meski begitu, Nana merasa sedikit lega dengan menemukan akun tersebut. Dia berpikir mungkin dengan berinteraksi lebih, ia bisa mendekati seseorang yang setidaknya mengingatkannya pada ayah, membayar rasa rindunya, meski perasaannya belum sepenuhnya jernih.

Setelah beberapa saat merenung, Nana akhirnya memutuskan, "Follow aja deh ya, itung-itung nambah followers," ucapnya pada dirinya sendiri, mencoba membujuk hatinya yang masih gamang.

Dengan satu klik, Nana mengikuti akun tersebut. Namun, di balik keputusan sederhana itu, ada lapisan emosi yang lebih dalam—perasaan campur aduk antara harapan, kenangan, dan kebingungan tentang apa yang sebenarnya ia cari.

Nana menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Setelah memutuskan untuk mengikuti akun Instagram laki-laki itu, ia merasakan sebersit keraguan di hatinya. Namun, penasaran yang lebih besar akhirnya mendorongnya untuk membuka profilnya.

Matanya terpaku pada foto-foto yang diunggah, salah satunya adalah potret sang laki-laki yang sedang berdiri di puncak sebuah gunung. Latar belakang pemandangan alam yang megah dan kabut tipis yang menyelimuti puncak gunung membuat foto itu terasa lebih hidup. Nana terdiam, pandangannya penuh dengan kekaguman. Bukan hanya karena foto itu sendiri, tetapi karena aura misterius yang terpancar dari laki-laki tersebut. Story Instagram-nya juga dipenuhi dengan potret-potret indah gunung dan pemandangan alam lainnya—sesuatu yang selalu membuat hati Nana merasa damai.

Namun, di balik semua itu, Nana menyadari sesuatu yang membuat hatinya terasa berat. Kekaguman yang ia rasakan bukanlah karena ia mencintai laki-laki itu, melainkan karena ia melihat bayangan ayahnya dalam setiap garis wajahnya. Ada kemiripan yang sulit diabaikan, dan itu membuat Nana merasa terikat secara emosional meskipun ia tahu betul bahwa laki-laki itu hanyalah orang asing baginya.

Nana terus memperhatikan profil Instagramnya, tetapi ia berhati-hati untuk tidak terlalu terlibat. Ia menahan diri untuk tidak menggali lebih dalam, bahkan tidak berpikir untuk menghubunginya. Baginya, laki-laki itu tetaplah sebuah sosok misterius, seseorang yang hanya bisa ia amati dari kejauhan.

Dalam diam, Nana merenung. "Semakin banyak kita tahu tentang seseorang yang kita kagumi, semakin besar pula kemungkinan kita jatuh lebih dalam," pikirnya.

Nana percaya bahwa mengetahui lebih banyak tentang seseorang hanya akan membawa rasa sakit. Semakin dalam perasaan tumbuh, semakin sulit baginya untuk menjaga jarak. Dan yang paling Nana takuti adalah penolakan—perasaan yang mungkin saja akan menghancurkannya jika ia terlalu terlibat. Bagi Nana, lebih baik mengagumi dari kejauhan daripada menanggung sakit hati karena kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan.

"Eh bentar, tapi dia lagi enggak punya cewek, kan?" pikir Nana, matanya berputar mencoba mencari kepastian.

"Tapi masa dia jomblo sih? Mana mungkin punya pacar, iyakan? Soalnya tadi di sekolah dia sempat usap-usap kepala," batinnya, sembari tersipu malu saat mengingat momen itu.

Pipinya memerah, dan senyum kecil tak bisa ditahan. Dengan cepat, Nana mengejapkan matanya, mencoba mengalihkan fokusnya. Ia membuka aplikasi WhatsApp dan mulai mencari nama Diki, sahabat yang duduk di belakangnya di kelas. Diki juga teman lama Bisma, seseorang yang mungkin tahu lebih banyak tentang Bisma dibandingkan dirinya.

Nana:
Bisma punya cewek gak sih?

Nana merasa perlu memastikan dulu sebelum melangkah lebih jauh untuk dekat. Meskipun Nana tahu bahwa Diki dan Bisma sepertinya tidak terlalu akrab akhir-akhir ini, ia yakin Diki masih memiliki informasi yang ia butuhkan.

Tak lama kemudian, balasan dari Diki muncul.

Diki:
Gak. Lu mau apa sih nanya dia mulu?

Nana tersenyum kecil membaca balasan Diki. Dia tahu Diki mungkin merasa jengkel karena Nana menanyakan tentang Bisma, tapi Nana tak peduli. Baginya, hanya dia yang bisa menilai siapa Bisma sebenarnya.

Nana:
Thanks.
{Read}

Nana meletakkan ponselnya dan kembali merenung. Walaupun dia tahu Diki tidak terlalu menyukai Bisma, ia tetap ingin memberi Bisma kesempatan untuk menunjukkan siapa dirinya sebenarnya.

"Biar gue sendiri yang menilai," gumamnya pelan.

OMBAK BERSORAK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang