Taman Sekolah Kembali

41 22 13
                                    

Suasana kantin menjadi hiruk-pikuk setelah bel istirahat pertama berbunyi. Suara-suara melengking dari para siswa dan siswi memenuhi udara, menciptakan atmosfer seperti di sebuah konser yang ramai. Namun, ini bukan konser, melainkan kantin sekolah. Alih-alih berteriak karena suara musik, mereka berteriak untuk memesan makanan.

"Manggggg, nasi gorengnya dua!" Teriakan Adul menggema di kantin, seolah dia sedang memanggil seseorang dari kejauhan. Dia duduk santai, malas mengantri, dan lebih memilih memesan dengan cara yang cukup 'nyentrik'. Suaranya yang keras seperti toa, cukup berhasil menarik perhatian penjaga kantin.

"Kalau mesen yang sopan, bego," ujar Diki sambil menepuk punggung tangan Adul dengan keras, membuat Adul meringis kesakitan.

"Nih gue contohin," lanjut Diki, yang kemudian menirukan cara Adul memesan. "Mangggg, nasi gorengnya dua!" Teriaknya, juga sambil terduduk manis.

Dea, yang duduk tak jauh dari mereka, hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Melihat tingkah kedua temannya itu, dia merasa mereka berdua sama-sama tidak waras. Di matanya, kelakuan mereka yang sama-sama tidak sopan membuatnya semakin yakin bahwa dunia laki-laki memang penuh dengan hal-hal absurd.

Sementara itu, Nana baru saja tiba di kantin, sedikit terlambat karena sebelumnya dia harus membantu Bisma terlebih dahulu. Dengan napas sedikit tersengal, dia mendekati Dea dan langsung duduk di sampingnya. Begitu duduk, Nana dengan cepat meraih ponsel dari saku bajunya, seolah ada sesuatu yang mendesak yang perlu dia lihat atau balas.

Dea melirik sekilas ke arah Nana yang tampak sibuk dengan ponselnya.

"Lo dari mana?" tanya Dea, penasaran.

"Toilet," jawab Nana pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.

Suara-suara di kantin masih terus bergemuruh, dengan Adul dan Diki yang kini sibuk bercanda dalam obrolan mereka. Sementara itu, Nana tetap fokus pada ponselnya, sesekali tersenyum kecil, entah karena sesuatu yang dia baca atau mungkin karena pesan yang baru saja dia terima. Dea hanya tersenyum kecil, mengetahui bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian biasa antara Nana dan Bisma.

Tapi untuk sekarang, Dea memilih untuk tidak bertanya lebih jauh, membiarkan Nana tenggelam dalam dunianya sendiri sejenak di tengah kekacauan kantin yang semakin riuh.

Bisma (Ayah):
Makasih banyak yaaa nasi gorenya
enakkk bangettt. Oh iya, kamu bisa ke taman?

Nana terkejut ketika melihat notifikasi pesan dari Bisma muncul di layar ponselnya. Matanya terbuka lebar, dan ekspresi wajahnya menunjukkan keterkejutan yang tak bisa disembunyikan. Dea, Diki, dan Adul yang duduk di sekitarnya langsung memperhatikan, merasa penasaran dengan apa yang membuat Nana begitu terkejut. Namun, Nana tampak masa bodoh dengan tatapan teman-temannya dan tetap fokus pada ponsel yang ia pegang.

Dea yang biasanya lebih pengertian, kali ini tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar.

"Awas lo jatuh cinta sama HP. Bakso bakar yang udah datang aja lo abaikan. Kalau mau sama HP, gak usah mesen bakso bakar," celetuknya dengan nada setengah bercanda, namun ada sedikit kekhawatiran di balik kata-katanya.

Mendapat teguran itu, Nana akhirnya sadar dari lamunannya dan segera mengantungi ponselnya. Dengan cepat, dia mengalihkan perhatiannya kepada bakso bakar di depannya. Tanpa menunggu lama, Nana mulai makan dengan lahap, menghabiskan bakso bakar itu dengan cepat.

"Udah, gue pergi duluan ya," ucap Nana tiba-tiba sambil berdiri.

Teman-temannya hanya bisa menatap kepergiannya yang tergesa-gesa. Dea, yang merasa ada sesuatu yang tidak beres, menatap Diki dengan curiga. Mereka bertukar pandang, dan dengan isyarat alis yang ia angkat, Dea menyiratkan pertanyaan yang ingin ia ajukan.

"Nana bilang, lo dulu akrab sama Bisma. Bahkan temenan dari SD," ucap Dea perlahan, sambil menatap Diki yang tiba-tiba tersedak makanannya. Diki segera mengambil es di sampingnya dan meminumnya dengan tergesa, membuat Dea hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Menurutnya, Diki sangat lebay, baru mendengar nama Bisma saja sudah terdesak begitu.

Setelah meneguk esnya, Diki mengangguk, menegaskan pernyataan Dea.

"Iya, gue dulu akrab sama dia. Tapi... dia orangnya tengil gitu, pengen menang sendiri," jelas Diki dengan nada yang sedikit enggan.

Dea menunggu sejenak, lalu Diki menambahkan, "Enggak pantes buat Nana."

Dea mengangguk pelan, mencoba memahami sudut pandang Diki. Meski sebenarnya, dia juga merasa Bisma mungkin bukan yang terbaik untuk sahabatnya, tetapi dia tahu bagaimana perasaan cinta bisa membutakan seseorang. Nana, sahabat yang selalu ceria dan penuh semangat, kini sepertinya mulai terjerat dalam perasaan yang mungkin tidak sepenuhnya dia pahami. Namun, Dea tahu bahwa mencoba mengubah perasaan seseorang yang sedang jatuh cinta tidaklah mudah.

Dea dan Diki duduk diam sejenak, merenungkan percakapan mereka. Di tengah hingar-bingar kantin, keduanya sama-sama menyadari bahwa apapun yang akan terjadi antara Nana dan Bisma, mungkin akan membawa mereka ke situasi yang lebih rumit.

˖°𓇼🌊⋆

Nana terduduk di bawah pohon besar di taman sekolah, tempat yang biasanya sepi dan tenang, sempurna untuk merenung atau sekadar bersantai. Di siang hari, taman ini memberi perasaan damai, namun Nana tahu bahwa ketika sore menjelang, kesunyian tempat ini bisa berubah menjadi menyeramkan. Meskipun begitu, dia merasa nyaman di sini, menunggu seseorang yang sangat ingin ia temui.

Suara langkah kaki di atas rumput yang mendekat membuat Nana menoleh ke arah depan.

"Hei, udah nunggu lama?" suara familiar itu memecah keheningan.

Nana mengangkat kepalanya dan melihat Bisma berdiri di depannya, senyum hangat menghiasi wajahnya. Ia membalas senyuman itu, lalu dengan isyarat tangannya, mengajak Bisma untuk duduk di sampingnya. Tanpa ragu, Bisma menuruti ajakan Nana, duduk di sebelahnya di bawah pohon besar itu.

"Enggak ko, aku juga baru dateng."

Detak jantung Nana mulai berpacu lebih cepat, sesuatu yang tidak bisa dia kendalikan. Perasaan yang muncul dalam dirinya semakin kuat, seiring dengan kehadiran Bisma yang kini begitu dekat. Nana tidak bisa menolak fakta bahwa dirinya telah jatuh hati pada Bisma. Dia berpikir, mungkin detak jantungnya berdebar kencang karena kekagumannya terhadap Bisma, yang sedikit banyak mengingatkannya pada sosok ayahnya.

Dengan lembut, Nana meraih tangan kanan Bisma, memperhatikan luka yang sempat dikhawatirkannya. Ia menggenggam tangan itu, mencoba meyakinkan dirinya bahwa Bisma baik-baik saja. Bisma menatap Nana dengan wajah yang sedikit memerah, merasa hangat dan nyaman dengan perhatian yang diberikan padanya. Di matanya, Nana terlihat begitu manis dan tulus.

Suasana di antara mereka terasa intim, dan dalam momen ini, Bisma, yang biasanya cenderung menjaga perasaannya, tidak bisa menahan diri untuk bertanya sesuatu yang sudah lama bersemayam di benaknya.

"Kamu suka sama aku?" tanyanya pelan, suaranya terdengar serius dan tulus.

Nana terkejut dengan pertanyaan itu. Matanya melebar sedikit, namun ia tidak segera menjawab. Pertanyaan Bisma menggema di kepalanya, membuatnya merenungkan apa yang sebenarnya ia rasakan. Tatapannya bertemu dengan tatapan Bisma yang penuh harap dan ketegangan.

OMBAK BERSORAK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang