Dia Lagi

93 42 3
                                        


Nana mengangguk cepat dan segera menuju toilet dengan langkah cepat. Sementara itu, Dea, Diki, dan Adul saling memandang dengan rasa penasaran. Mereka tahu Pak Ajun jarang menunjukkan perhatian khusus, dan ini adalah sesuatu yang tidak biasa.

Nana menghembuskan napas lega, merasakan seolah ia telah terhindar dari hukuman yang mungkin mengancamnya. Ia bersyukur karena tidak harus menghadapi konsekuensi langsung dari kekacauan di dalam tasnya.

Namun, tanpa sengaja, Nana menabrak seseorang lagi saat ia terburu-buru menuju toilet. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan tentang Pak Ajun yang mungkin akan menjadi wali kelasnya. Jika itu terjadi, ia pasti akan menghadapi hukuman setiap hari karena kebiasaannya yang sering terlambat. Membayangkannya saja sudah membuat Nana merasa tidak sanggup. Setelah menabrak, Nana melirik marah ke arah sosok yang ia tabrak.

"Kamu hobi banget nabrak orang yang lagi jalan, ya?" tanya Bisma dengan nada lembut namun menyiratkan sindiran.

"HE LO KALI, ORANG LAGI BURU-BURU!" sahut Nana dengan nada kesal.

"Jadi cewek, kok kasar banget sih?" balas Bisma, suaranya penuh godaan.

"Lo jadi laki, kok ngomong lembut banget sih?" timpal Nana, mencoba membalas dengan nada yang sama.

Bisma mendekatkan wajahnya ke Nana, membuat detak jantung Nana semakin cepat. Ia berusaha keras untuk tidak tersenyum di hadapan Bisma yang berkulit tan manis. Tanpa bisa menahan malu, Nana memejamkan matanya sejenak.

"Kan di sekolahin, mulutnya mba," bisik Bisma lembut.

HANCUR SUDAH EKSPETASI NANA!

"SIAL," gumam Nana dalam hati, merasa frustrasi. Semua harapannya untuk cerita romantis yang indah seperti Romeo dan Juliet hancur berantakan. Dia merasa terperangkap dalam kenyataan yang jauh dari impiannya.

Nana menatap Bisma dengan tatapan penasaran. "Lo tahu nggak... Kata orang, kalau seseorang terus-menerus bertemu dengan orang yang sama, mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan."

Bisma menatap Nana dengan bingung. "Maksud lo?"

"Jod..."

"Awas, gue mau lewat!" kata Bisma memotong ucapan yang hampir terucap dari mulut Nana, lalu mendorongnya sedikit menjauh untuk menghindari terhalangnya jalannya.

LAH, LAH, TADI BARUSAN DIA NGOMONG GUA KAN? GUA KAN KASAR! ENGGA, ENGGA, TADI PAGI JUGA DIA NGOMONG LO GUA!

Nana hanya bisa menatap dengan kebingungan, wajahnya cengo sambil memperhatikan punggung Bisma yang menjauh. Dalam hatinya, ia merasa kesal dan terabaikan, sementara Bisma tampak tidak peduli dan terus melangkah menuju ruang mapala, tempat berkumpulnya anak-anak pecinta alam.

"HE!" teriak Nana, menghentikan langkahnya yang akan memasuki ruangan. Ia berbalik dan melihat Bisma yang masih berdiri di depan pintu, tampak tak terganggu oleh keberadaannya.

Bisma berhenti sejenak mendengar teriakan Nana. Dia memandangnya dengan heran, "Lo kenapa sih?" tanyanya, tampak bingung dengan reaksi Nana.

Nana berdiri berhadapan dengan Bisma, menarik nametag yang tertempel di bajunya. "Bisma Delvanio," ucap Nana pelan, memandangi nama yang tertulis di situ. Ia merasa nama itu menarik dan sedikit unik. Nana sering mengamati laki-laki di hadapannya dan merasa familiar dengan wajahnya yang mirip sosok ayahnya, meskipun ia belum mengetahui lebih jauh tentang nama dan kehidupan Bisma.

Dengan rasa ingin tahu yang mendalam, Nana tetap berdiri di depan Bisma, berusaha mencari tahu lebih banyak tentang sosok yang telah menarik perhatiannya. Bisma, yang merasa agak aneh dengan tingkah Nana, menunggu dengan sabar sambil mengamati reaksi gadis tersebut.

"Gue cuma mau tahu lebih lanjut tentang lo," kata Nana akhirnya, berusaha menenangkan diri. "Kenapa lo sering banget muncul di waktu-waktu yang bikin gue bingung?"

Bisma tersenyum tipis, mengertikan keningnya. "Ha?"

"Hmm, nama yang bagus," puji Nana, membuat Bisma tersenyum lebar dengan penuh kebanggaan.

"Mau masuk sispala?" tanya Bisma, mengulangi pertanyaan yang sudah ia lontarkan berkali-kali. Namun, Nana masih tampak tenggelam dalam pikirannya, memikirkan arti dari nama Bisma yang tertulis di nametag-nya.

"Nggak tertarik!" jawab Nana tegas, seraya melangkah menuju toilet untuk membersihkan tasnya yang penuh nasi goreng.

"Ha?" Bisma terkesiap dengan jawaban Nana, merasa sedikit bingung.

"Ada cewek aneh begini?" gumamnya, berbicara pada dirinya sendiri dengan nada heran.

Di dalam ruang sispala, suasana mulai ramai dengan kehadiran anggota lainnya. Arul, salah satu teman Bisma, melirik ke arah mereka sambil mengedarkan pandangannya.

"Ada cewek yang nempel lagi nih," ejek Arul dengan nada bercanda.

"Sebenarnya, dia siapa sih?" tanya seorang perempuan yang bersama Arul, penasaran dengan kehadiran Nana yang tiba-tiba.

"Gue juga nggak kenal. Cuma, cewek itu sering banget ketemu sama gue. Lucu juga sih," jawab Bisma sambil tersenyum tipis, tampak agak tertarik dengan tingkah Nana.

Perempuan itu mengangguk sambil tersenyum. "Gue mau ke toilet dulu, ya," ucapnya sambil melangkah menuju pintu.

Meskipun Nana tampaknya tidak tertarik untuk bergabung dengan sispala, Bisma merasa ada sesuatu yang unik dalam dirinya—sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih lanjut.

Sementara itu, di toilet, Nana masih berusaha membersihkan tasnya dengan sabar. Di dalam hati, ia merasa frustrasi dan bingung dengan semua kejadian pagi ini, termasuk pertemuan singkatnya dengan Bisma. Namun, di balik rasa frustasi itu, ada rasa ingin tahu yang tumbuh, membuatnya bertanya-tanya tentang sosok yang baru saja ditemuinya.

Nana memandang dirinya di cermin, menepuk-nepuk pipinya yang memerah karena rasa malu. Betapa memalukannya bertemu dengan seseorang yang ia kagumi dalam situasi yang begitu jauh dari harapan. Tidak ada drama romantis seperti di anime, drakor, atau webtoon—semuanya terasa sangat berbeda dari yang ia bayangkan.

Terdengar suara pintu kamar mandi berderit saat dibuka, dan Nana melirik ke arah pintu yang terbuka lebar.

"Untunglah bukan setan yang keluar," gumamnya dalam hati, merasa lega meskipun suasana masih terasa tidak nyaman.

Nana melanjutkan membersihkan tasnya, yang masih menyisakan sedikit nasi goreng. Namun, seorang perempuan dengan rambut panjang yang mengenakan bando, tampak tidak sabar. Perempuan itu terus-menerus meliriknya dengan tatapan sinis yang jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaannya.

"Apaan sih?" gumam Nana dalam hati, merasa terganggu dengan tatapan tajam perempuan itu.

Semangat Nana yang sempat mengembang kini meredup menjadi ketidaknyamanan. Ia mencuci tangannya, berusaha mengalihkan perhatian dari tatapan sinis tersebut. Ketika pandangannya bertemu dengan perempuan di sampingnya, Nana tersenyum dengan sopan, berharap untuk meredakan ketegangan. Namun, perempuan itu hanya membalasnya dengan ekspresi dingin, tanpa mengubah nada.

Dengan penuh pertanyaan yang berkecamuk di pikirannya, Nana meninggalkan toilet. Apakah perempuan itu mengenalinya? Apakah ia tidak suka padanya? Atau memang perempuan itu memiliki sikap yang dingin dan tidak ramah? Pikiran-pikiran tersebut terus berputar di kepalanya, meninggalkan Nana dengan perasaan campur aduk dan penuh rasa ingin tahu.

OMBAK BERSORAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang