Prolog

121 48 7
                                    

"Orang-orang memperhatikan kita," bisik Nana, suaranya hampir tenggelam oleh gemuruh obrolan manusia.

Segara segera melepaskan genggamannya, meski ada rasa enggan yang terlihat jelas di matanya.

Dengan tatapan yang menyiratkan kepedihan, Nana langsung melangkah cepat menuju tempat di mana Dea berdiri. Segara hanya bisa terdiam, memandangi punggung Nana yang semakin menjauh, sebelum akhirnya dengan berat hati kembali ke kasir untuk memesan ulang.

"Cowok yang tadi di sebelah lo cakep juga, pegang-pegang tangan lagi, kenalin dong sama dia," kata Dea dengan nada riang, tak sadar akan ketegangan yang baru saja terjadi. Namun, Nana tampak tak mendengarnya, larut dalam layar ponselnya, mengabaikan celoteh Dea.

Dea lalu mengamati sahabatnya dengan lebih cermat. Wajah Nana yang biasanya sudah tampak murung kini terlihat lebih kelam, seolah ada beban berat yang tak terlihat namun jelas terasa.

Tak lama kemudian, pesanan mereka tiba. Pelayan meletakkan minuman dan makanan di meja dengan sopan. "Biasanya, yang datang ke sini kebanyakan berpasangan, tapi hari ini saya melihat banyak yang datang bersama teman-teman," ucapnya dengan nada ramah.

Nana seketika membeku, lalu menatap pelayan dengan tatapan tajam yang menusuk. "Kamu kenapa masih kerja? Kenapa enggak pergi jalan-jalan bareng pasangan kamu aja?!"

Dea hanya bisa menepuk jidatnya, meski tak lagi terkejut dengan kebiasaan sahabatnya yang sering berbicara seolah kata-katanya adalah pisau yang tajam.

Pelayan kafe itu terdiam, ekspresinya berubah masam sebelum akhirnya berbalik pergi dengan langkah berat, meninggalkan meja mereka dengan jelas menunjukkan ketidaksenangan.

"Apa sih? Tolol banget, deh," tegur Dea dengan nada kesal, tapi Nana hanya membalasnya dengan senyum tipis, lalu kembali mengabaikan sahabatnya.

"Ada apa sih, Na?" tanya Dea penuh kebingungan.

Nana hanya menggeleng pelan, jari-jarinya sibuk memutar-mutar sedotan di dalam gelas, wajahnya datar. Saat ia mengangkat kepala untuk menatap Dea, matanya tak sengaja bertemu dengan pandangan Segara, yang duduk tak jauh darinya, tepat di seberang meja.

Nana menghela napas berat, ia tak suka dengan keadaan saat ini, merasa ingin menyapa tapi tak bisa, ingin beranjak dari kafe tetapi pesanan Nana dan Dea masih belum di habiskan. Yang Nana bisa sekarang hanya terdiam dan berpura-pura tak mengenal laki-laki yang terduduk disebrang sana. Bukan ia tak peduli, Nana lakukan agar semua baik-baik saja, seperti apa yang Segara inginkan!.

Kalian tahu rasanya? Rasanya sesak sekali, harus berpura-pura tak mengenali seseorang yang dulunya selalu ada buat kita, seseorang yang selalu bikin kita tersenyum, seseorang yang selalu ada disaat semuanya tak berpihak. Yang dilakukan hanya melihat dia bahagia dengan kehidupan baru nya, walau di kehidupannya saat ini tak ada cerita tentang kita lagi.

Segara menghela napasnya gusar, ia tak bisa terdiam diri menemukan Nana. Ini kesempatan terbaik dirinya untuk segera memperjelaskan keadaan agar Nana tak lagi salah paham atas kepergian dirinya.

"Mau kemana, Gara?" Tanya salah satu teman, namun Segara menghiraukan, pandangannya tetap tertuju kepada tempat Nana terdiam.

Segara yang sudah berdiri disamping meja, Nana dan Dea yang asyik mengobrol langsung terdiam membisu. Segara spontan menarik pergelangan tangan Nana.

"Ada apa ini?"

"Lo siapa? Pegang-pegang tangan Nana!" Laki-laki yang tak di kenal, tiba-tiba memegang tangan sahabatnya, sahabat mana yang tak akan marah ketika orang asing bersikap seperti itu?.

"Apa sih?" Nana mengibas agar pergelangan tangannya terlepas dari genggaman tangan Segara.

"Ikut" Ucapnya.

"Lo kenal dia?" Tanya Dea sembari menunjuk-nunjuk kearah Segara.

"ENGGAK!" Dengan tegasnya Nana menjawab.

Seraya segara menarik Nana agar berdiri dan mengikuti langkah kakinya. Dengan terpaksanya Nana menuruti apa yang dimau Segara.

Dea hanya terdiam, kedua bola matanya mengikuti langkah kaki Nana berjalan dengan laki-laki yang ia tak kenal. Dan juga teman-teman Segara pun terlihat heran melihat kejadian.

Langkah kaki keduanya terhenti di tempat sunyi, di samping kafe yang mereka kunjungi, Nana menatap Segara "Cepet mau apa?"

Segara menarik Nana kedalam dekapannya. "Sorry" Lirihnya pelan

"Aku yang memulai duluan, kamu enggak harus menyesal tentang itu" ucap Segara.

"Dan tentunya ini salah aku!" Ucap Nana

"Kamu enggak pernah salah di mata aku" keukeuhnya.

Nana menghela napasnya dalam-dalam, menjauhkan diri dari dekapan Segara "Buka matanya. Aku orang jahat yang menyelimuti diri sendiri dengan kebaikan. Enggak kaya kamu, yang baik sesungguhnya, Segara. Ya, baik banget malah. Sampai pengen laut yang sudah menghancurkan datarannya sendiri pun ingin kamu bersihkan walau itu membuat kamu sendiri kacau"

"Karena aku yakin setelah badai, laut itu akan kembali indah"

"Kamu harus tahu juga Segara. Sebersih apapun laut yang sudah hancur karena badainya sendiri. Kamu benar ia akan berubah, tapi ia tak akan sama seperti dulu. Dan itu seperti aku, yang gak akan tetap sayang sama kamu, hatiku selama satu tahun sudah berubah, sudah terjatuh kepada lautan lain, dan tentunya lautan itu bukan kamu, forgive me"

Segara melepaskan genggaman pergelangan tangan Nana, ia hanya tersenyum manis kepada gadis yang berdiri di hadapannya, membuat hati seorang Nana semakin teriris-iris dengan senyuman yang Segara berikan, ia sudah jahat sekali kepada Segara, shit!!! SIAL.

Dengan tak sudi ia menangis, Nana membendung air mata di pelupuk dan beranjak jauh dari Segara terdiam di tempat dengan kakunya. Nana sendiri selalu berharap bahwa Segara menemukan sosok yang baik darinya, karena yang Nana rasakan adalah ketidak pantasan untuk selalu ada buat Segara.

Nana membereskan barangnya, menarik tangan Dea untuk segara pergi dari cafe. Dea hanya mengikuti Nana tanpa tahu kejadian apa yang sekarang di hadapi sahabatnya ini.

"Na kita mau kemana?" tanya Dea memastikan, serentak langkah kaki Nana berhenti dan membalikkan badannya ke arah Dea yang berada di belakang mengikuti langkahnya dan pergelangan tangan yang ia masih pegang dengan kencangnya.

"Tadi siapa?" Tanya Dea kembali dengan rasa penasarannya.

Nana menatap sahabatnya dengan pandangan kosong, tanpa berkedip, tak bisa berucap, ia hanya ingin mengeluarkan bendungan air matanya, dan Nana langsung memeluk tubuh Dea dan membasahi pundak Dea dengan air matanya.

"It's oke, Na" Dea memeluk kembali Nana, dan mengelus-elus punggung Nana dengan tanggannya.

OMBAK BERSORAK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang