Taman Sekolah

62 29 3
                                    

Nana berdiri kaku di depan pintu kelas, tersenyum kepada Dea yang memandangnya dengan rasa ingin tahu yang mendalam. Dengan penuh keraguan, ia mengetuk pintu, menarik perhatian Pak Ajun yang tengah memberikan penjelasan di depan kelas. Pak Ajun menoleh ke arahnya dan memberi isyarat agar Nana memasuki ruangan.

Nana melangkah masuk dengan jantung berdebar, dan Pak Ajun meminta Nana untuk mendekat. Seperti biasa, pertemuan semacam ini sering kali menjadi momen negosiasi. Nana merasa seolah-olah hari ini benar-benar menentangnya, dan ia hanya bisa pasrah.

"Kamu bersihin tas sampai hampir sejam?" tanya Pak Ajun dengan nada tegas, berusaha menilai apakah penjelasan Nana bisa diterima.

Nana berusaha menjaga ketenangan dan tersenyum, meskipun rasa malu masih membayangi.

"Iya, Pak. Soalnya tadi air di toilet mati," jawabnya dengan hati-hati.

Pak Ajun menatapnya dengan ekspresi skeptis, tampak ragu terhadap penjelasan Nana. "Baiklah, lain kali pastikan hal seperti ini enggak terjadi lagi," ujar Pak Ajun dengan nada peringatan.

Nana mengangguk penuh rasa syukur dan mengucapkan terima kasih. Begitu meninggalkan meja Pak Ajun, Nana mengusap dadanya sebagai tanda lega, merasa berterima kasih karena masalah tersebut tidak berlarut-larut. Di sisi lain, teman-temannya yang menyaksikan kejadian tersebut menahan tawa, tampak geli melihat ekspresi Nana yang memancarkan campuran antara malu dan lega.

Perkenalan Pak Ajun sebagai wali kelas akhirnya selesai, dan bel istirahat pertama berbunyi, menandai waktu untuk bersantai. Nana dengan cepat mengambil susu kotak dari laci mejanya dan melangkah pergi dari teman-temannya yang bergegas menuju kantin. Nana tidak menyukai kerumunan yang mengantri makanan; ia lebih memilih ketenangan di bawah pohon rindang di taman, ditemani secangkir susu dan buku bacaan favoritnya.

˖°𓇼🌊⋆

Suasana kelas Bisma seketika berubah menjadi hiruk-pikuk. Anak-anak segera berhamburan keluar, berlomba-lomba menuju kantin untuk mendapatkan makanan favorit mereka. Namun, di tengah kegaduhan itu, Bisma hanya tersenyum tipis. Dia bukan tipe yang suka keramaian, apalagi antrian panjang di kantin. Sebaliknya, dia lebih menyukai ketenangan, tempat di mana dia bisa berpikir atau sekadar menikmati momen-momen sunyi.

Tanpa banyak bicara, Bisma memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dan melangkah keluar kelas. Dia tidak mengikuti arus murid lain yang berlari menuju kantin. Sebaliknya, kakinya membawa dia ke tempat yang lebih damai—taman sekolah yang terletak di belakang gedung utama.

Taman itu adalah tempat favorit Bisma, dengan pepohonan rindang dan bangku-bangku kayu yang tersebar di beberapa sudutnya. Di sana, dia bisa menikmati angin sepoi-sepoi dan suara burung yang berkicau, jauh dari keramaian kantin dan suara riuh teman-temannya. Setiap kali dia merasa butuh waktu untuk sendiri, taman inilah yang selalu menjadi pilihannya.

Begitu tiba di taman, Bisma melihat bahwa ia tidak sendirian. Di salah satu bangku yang berhadapan dengan kolam kecil, Nana sudah duduk lebih dulu. Sepertinya, Nana juga merasakan hal yang sama; keinginan untuk menghindar dari hiruk-pikuk kantin dan mencari ketenangan.

Nana duduk sambil menatap air kolam yang tenang, sesekali menghela napas panjang seolah ingin melepas beban yang ada di pikirannya melayang pada kenangan-kenangan masa kecil bersama Segara, di mana rasa sakit dan nostalgia bercampur aduk. Namun, saat ini, hatinya juga tertambat pada Bisma. Setiap kali memikirkan pria itu, hatinya berbunga-bunga dan senyum lebar tak bisa tertahan, seolah-olah ia terserang penyakit kegembiraan yang membuatnya tampak gila.

Bisma memperhatikan dari kejauhan, ragu sejenak apakah ia harus menyapa atau membiarkan Nana dengan kesendiriannya. Akhirnya, Bisma memutuskan untuk berjalan mendekat dan duduk di samping Nana.

"Hai," sapa suara lembut seorang laki-laki dari belakang Nana.

Nana, yang sedang meminum susunya dan terbenam dalam buku, langsung menoleh dengan rasa penasaran. Suara ini terasa sangat familiar.

"Bisma?" Mata Nana membesar, menatap Bisma dengan penuh antusias dan kegembiraan yang nyata.

Bisma tersenyum dengan penuh kehangatan dan mengusap lembut kepala Nana, seolah-olah mengakui keberadaannya dengan penuh keakraban.

"Kamu manis juga. Nama kamu siapa?" tanyanya dengan nada ramah yang membuat Nana merasa dihargai dan diperhatikan.

SIAL! Jantung Nana berdegup tak terkendali dan bola matanya semakin membesar mendengar pertanyaan dari Bisma. Wajahnya yang terkejut jelas terlihat oleh Bisma, yang tampaknya menikmati reaksinya.

Bisma tertawa ringan, menyandarkan punggungnya ke bangku sambil meminum susu yang ia beli tadi pagi di kantin sekolah.

"Siapa nama kamu?" tanyanya lagi dengan nada santai.

Nana terdiam sejenak, terbata-bata mencoba mengumpulkan keberanian. "Aku Nana, dari kelas XII IPS 1," jawabnya dengan suara gugup. Tanggapan tersebut membuat Bisma tersenyum tipis dan menyipitkan matanya dengan rasa penasaran.

"Kamu suka aku ya?" tanya Bisma dengan nada yang serius namun penuh rasa ingin tahu.

Pertanyaan itu terasa seperti dentuman keras di telinga Nana. Kepo atau penasaran? Dua hal yang sama, bukan? Ha sial! Nana merasa kepalanya berputar, tidak bisa berpikir jernih.

"PEDE BANGET SIH JADI ORANG!" seru Nana dengan nada kesal, seolah-olah mencoba melindungi dirinya dari situasi canggung.

Dengan refleks, Nana berdiri, tersenyum tipis, dan berjalan menjauh dari Bisma. "Babay Bisma," ucapnya dalam hati, berharap Bisma tidak bisa mendengar pikirannya.

"Hei, kamu mau kemana?" teriak Bisma mengejar Nana dengan nada penasaran.

Nana tidak memperdulikan teriakan Bisma dan terus melangkah menuju kantin, tempat di mana teman-temannya masih berkumpul. Sesampai di kantin, Nana melihat mereka yang tengah mengobrol bahagia. Tanpa menyapa, Nana langsung duduk di samping Dea, memasang wajah ceria seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dea menatap Nana dengan penuh pertanyaan, tapi Nana hanya memaksakan senyum yang paling bahagia, berusaha menutupi kekacauan emosinya.

Tiga sekawan memandang Nana dengan keheranan, tidak mengerti bagaimana suasana hatinya yang buruk di pagi hari bisa berubah begitu drastis.

"Kenapa, sih?" tanya Dea, bingung dengan perubahan mendadak Nana.

"Tadi lo pada tahu enggak?" tanya Nana, penuh semangat.

"Ya mana gue tahu, emang gue cenayang yang bisa nebak isi kepala lo?" cecar Dea, penasaran.

"Gue ketemu Bisma, tadi di taman!" ucap Nana dengan antusias, matanya bersinar penuh kegembiraan.

Ketiga temannya terkejut mendengar penuturan Nana.

"Serius, lo? Bisma yang anak mapala itu kan?" tanya Dea, tak percaya.

Nana mengangguk dengan semangat yang memancar. "Gila. Padahal dia biasanya cuek banget."

"Hati-hati aja, Na," sahut Adul, mencoba meredam euforia Nana dan Dea.

"Apa sih? Iri lo sama perhatian Bisma?" cecar Dea, berusaha mengabaikan peringatan Adul.

"Iya, hati-hati aja," Diki menambahkan, berusaha meyakinkan.

"Apa sih? Gak asyik! Bye, gue ke kelas duluan," kata Nana, memilih untuk menjauh daripada terjebak dalam gosip atau komentar negatif tentang Bisma. Ia lebih suka tidak membiarkan pendapat orang lain mempengaruhi penilaiannya sendiri.

Nana melangkah dengan percaya diri, meninggalkan teman-temannya yang masih terheran-heran, sementara pikirannya dipenuhi kegembiraan dan rasa ingin tahu mengenai Bisma.

OMBAK BERSORAK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang