Hari ini—hari terakhirku untuk melihatmu, ayah
~Daisy Aurellia Najela~Daun-daun kering berjatuhan dari pepohonan di sekitar pemakaman, terbawa oleh angin yang dingin dan menyapu tubuh kecil Nana. Di bawah langit yang mendung, Nana berdiri di depan makam ayahnya, mencoba menahan perasaan kehilangan yang semakin berat.
"Ayah, Nana akan selalu merindukan ayah," ucapnya.
Di sekelilingnya, orang-orang mulai meninggalkan pemakaman, memberi waktu bagi keluarga untuk berpisah dengan yang terkasih. Namun, perhatian Nana tertuju pada seorang anak laki-laki yang berdiri agak jauh di seberang pemakaman, menangis deras sambil memeluk ibunya.
Anak laki-laki itu terlihat seumuran dengannya, tapi wajahnya asing bagi Nana maupun Segara. Pakaian serba hitam yang dikenakannya tidak bisa menyembunyikan rasa sedih yang terlukis jelas di wajahnya. Ibu anak itu pun tampak sama berduka, dengan wajah yang sebagian tertutup oleh kain hitam panjang. Nana tak bisa melihat dengan jelas, tapi ada sesuatu tentang mereka yang membuatnya merasa aneh. Siapa mereka? Kenapa mereka ada di sini?
Setelah semua orang mulai meninggalkan pemakaman, termasuk Nana dan keluarganya, Nana menoleh ke belakang sekali lagi, ingin melihat makam ayahnya untuk terakhir kalinya.
"Siapa sih?" pandangan Nana kembali tertuju pada anak laki-laki dan ibunya yang masih berdiri di sana. Wajah bingung Nana tertangkap oleh anak laki-laki itu, yang kini tengah menaburkan bunga di atas makam ayahnya. Pandangan mereka bertemu sejenak, sebelum anak laki-laki itu menundukkan kepala lagi, menahan tangis.
"Bunda," sahut Nana pelan, memecah keheningan.
Wina, yang berada di sampingnya, merespons dengan lembut, mengusap kepala putrinya dan melemparkan senyum, meskipun senyum itu masih dibayangi duka.
Nana menyuruh Wina untuk melihat ke arah belakang, ke arah dua sosok yang masih tetap di sana, enggan beranjak. Dia merasa penasaran, ingin tahu siapa mereka dan apa hubungan mereka dengan ayahnya.
"Bunda kenal mereka siapa?" tanya Nana, matanya penuh kecurigaan yang tak biasa terlihat pada anak seusianya.
Wina menatap ke arah yang ditunjukkan Nana. Sekilas, ada bayangan kesedihan yang melintas di wajahnya, sebelum dia mengangguk pelan.
"Temannya ayah," jawab Wina singkat, berusaha menyembunyikan sesuatu di balik suaranya yang tenang.
Namun, jawaban itu hanya membuat Nana semakin bingung. Teman seperti apa yang tidak pernah dia dengar sebelumnya? Dan kenapa mereka tampak begitu terpukul dengan kepergian ayahnya? Banyak pertanyaan yang berputar di kepala Nana, tapi dia memutuskan untuk tidak mendesak lebih lanjut, setidaknya untuk saat ini. Dia masih terlalu lelah dan terlalu sedih untuk mencari tahu lebih jauh.
Saat mereka berjalan menjauh dari pemakaman, perasaan Nana terasa campur aduk. Ada kesedihan yang mendalam karena kehilangan ayahnya, tapi juga ada rasa penasaran yang mengusik pikirannya tentang identitas anak laki-laki dan ibunya itu. Siapa mereka sebenarnya? Apa yang mereka sembunyikan? Nana merasa bahwa ada lebih banyak cerita yang belum ia ketahui, cerita yang mungkin bisa membantunya memahami lebih dalam tentang ayahnya, dan mungkin, tentang dirinya sendiri.
˖°𓇼🌊⋆
"Ma, kenapa kita harus nunggu sepi dulu?" tanya anak laki-laki itu dengan suara pelan, matanya masih sembab karena menangis.
Perempuan di sebelahnya, yang wajahnya sebagian tertutup kain hitam, mengelus rambut anaknya dengan lembut. Dia menghela napas panjang sebelum menjawab, berusaha menenangkan perasaan anaknya yang masih rapuh.
"Biar kita bisa leluasa mendoakan ayah, tanpa banyak orang," jawabnya lembut, suaranya penuh kasih sayang, meskipun ada getir yang tersembunyi di baliknya. Dia tahu bahwa situasi ini sulit bagi anaknya, tapi ini adalah satu-satunya cara untuk memberikan penghormatan terakhir kepada seseorang yang dulu begitu berarti dalam hidup mereka.
Anak laki-laki itu mengangguk pelan, mempercayai ucapan mamanya. Dia menatap makam di depannya, di mana bunga-bunga yang dia taburkan tadi perlahan menyatu dengan tanah. Meski dia belum sepenuhnya mengerti alasan di balik kepergian mereka yang harus diam-diam, dia tahu bahwa ini penting bagi mamanya.
"Ayah pasti tahu kita di sini, kan, Ma?" tanya anak itu lagi, suaranya mulai gemetar, mencoba mencari kepastian.
Perempuan itu tersenyum kecil, meski air mata hampir tumpah dari pelupuk matanya. "Tentu saja, sayang. Ayah selalu tahu. Kita ada di sini untuknya, dan dia pasti merasakannya."
Mereka berdua duduk di dekat makam, berdoa dengan hening. Angin sore yang dingin menyapu lembut, seakan menjadi penghubung antara dunia mereka yang masih hidup dengan dunia yang sudah ditinggalkan oleh orang-orang yang mereka cintai.
Setelah beberapa saat, anak laki-laki itu merapatkan diri lebih dekat pada mamanya.
"Ma, apa ayah pernah cerita tentang anak perempuan tadi dan bundanya?" tanyanya, mengingat wajah Nana yang sempat dilihatnya tadi, penuh dengan kesedihan yang juga dia rasakan.
"Anak perempuan itu kan ya?" tanyanya kembali untuk menyakinkan. "Dia cantik ya."
Perempuan itu terdiam sejenak, memikirkan bagaimana harus menjawab pertanyaan anaknya. Akhirnya, dia menatap anaknya dengan lembut.
"Ayah pernah cerita sedikit, sayang. Tapi, mungkin nanti, saat kamu sudah lebih besar, Mama akan cerita lebih banyak. Sekarang, yang penting kita mendoakan ayah, agar dia tenang di sana."
Anak laki-laki itu kembali mengangguk, meskipun ada sedikit rasa penasaran di dalam hatinya. Dia tahu bahwa ada lebih banyak cerita yang belum dia ketahui, tetapi untuk saat ini, dia puas dengan jawaban mamanya. Dia kembali menunduk, menatap makam ayah Nana dengan perasaan campur aduk antara kesedihan dan rasa tanggung jawab yang mulai muncul dalam dirinya, meskipun dia masih terlalu muda untuk sepenuhnya memahami semuanya.
Setelah beberapa saat, ketika mereka merasa sudah cukup lama berada di pemakaman, perempuan itu menggenggam tangan anaknya erat-erat.
"Kita pulang sekarang, ya, sayang. Nanti kita bisa datang lagi kalau kamu mau," katanya sambil berdiri, siap meninggalkan tempat yang penuh kenangan pahit.
Anak laki-laki itu menatap makam untuk terakhir kali sebelum mengikuti mamanya. Di dalam hatinya, dia berjanji akan selalu mendoakan ayah Nana. Perasaan bahwa dia harus menjaga sesuatu yang berharga bagi mamanya semakin menguat, meskipun dia tak sepenuhnya mengerti kenapa.
Saat mereka berjalan menjauh dari pemakaman, bayangan Nana yang penuh kesedihan masih terngiang di benak anak laki-laki ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
OMBAK BERSORAK
RomanceKebahagian sudah di reggut paksa, seperti ombak yang menghantam dataran menjadi hancur lebur tak tersisa. Dengan sisa-sisa kepingan kehancuran, seorang gadis menutup dalam jiwa yang tak bisa di utarakan, membuatnya tak sadar bahwa kehidupan yang se...