Masih Kamu

64 27 1
                                    

Andai kamu tahu
Aku disini tak ingin kehilangan lautku.
~Segara Argantara Prayoga~

Cika dan Segara adalah dua dunia yang bertabrakan. Cika, seorang perempuan dengan penampilannya yang mencolok, selalu menarik perhatian di mana pun ia berada. Rok sekolah yang nyentrik, rambut bergelombang yang diwarnai pink, dan earphone hitam yang selalu menemaninya, membuatnya sulit untuk dilewatkan. Namun, di balik penampilannya yang penuh warna, tersembunyi perasaan yang dalam terhadap Segara, pria yang dijodohkan dengannya oleh keluarganya.

"Lo bisa enggak sih, sehari aja jangan ikutin gue?" keluh Segara, ketika Cika kembali membuntutinya.

"Cika enggak boleh pulang bareng?" jawab Cika dengan nada polos, meski hatinya sedikit perih.

Segara hanya menghela napas, merasa lelah dengan perhatian yang tak diinginkannya. Baginya, Cika hanyalah gangguan, pengingat konstan tentang sesuatu yang tak bisa ia kendalikan—sebuah perjodohan yang ia rasa tidak adil.

Meski begitu, Cika tidak menyerah. Di "Reverie Higschool" tempat di mana kebebasan berekspresi adalah hal yang biasa, ia merasa nyaman menjadi dirinya sendiri. Sekolah ini memang hanya bisa dimasuki oleh kalangan berada, tapi bagi Cika, itu bukan sekadar status sosial. Itu adalah tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa harus takut dihakimi, kecuali oleh Segara, yang tampaknya selalu memiliki pandangan berbeda tentangnya.

Sore ini, ketika mereka berjalan menuju mobil, Cika dengan sigap mengambil alih peralatan lukis yang dibawa Segara. "Biar Cika aja yang bawa," katanya sambil tersenyum.

Segara menyerah, membuka pintu mobil tanpa banyak berkata. Cika, tanpa mau ketinggalan, buru-buru masuk ke sisi lain mobil dan duduk di sebelahnya. Di sepanjang perjalanan, Cika mulai berbicara tentang sesuatu yang sangat ia sukai—mendaki gunung.

"Segara tau enggak? Mendaki itu bisa bikin Segara ngerasain kebebasan yang enggak Segara dapetin di tempat lain. Cika yakin Segara bakal suka kalau coba lagi. Siapa tahu, Segara bisa ngelukis pemandangan gunung yang keren di sana."

Namun, ucapan Cika tak mendapat tanggapan. Segara tetap diam, pikirannya melayang jauh. Bukan pada gunung yang Cika ceritakan, tapi pada lautan. Laut yang menjadi saksi bisu masa kecilnya bersama seorang gadis yang pernah ia kenal. Gadis yang masih sering hadir dalam lamunannya, meski waktu telah lama berlalu.

Mereka akhirnya tiba di rumah Segara. Cika turun dengan membawa peralatan lukis, tetapi Segara segera meminta agar ia sendiri yang membawanya. Perdebatan kecil pun tak terhindarkan, namun akhirnya Segara berhasil memenangkan argumen tersebut dan mengambil alih peralatan lukisnya.

Tanpa banyak berkata, Segara langsung menuju kamarnya. Cika, yang penasaran, mengikuti dari belakang. Di dalam kamar, ia terpana melihat berbagai lukisan yang terpajang di dinding. Karya-karya Segara begitu memukau, penuh dengan detail dan emosi yang tersembunyi di balik setiap guratan. Namun, perhatian Cika segera tertuju pada sebuah buku gambar yang tergeletak di atas meja belajar.

Saat tangannya hendak menyentuh buku itu, Segara dengan cepat menepuk tangannya pelan, menahannya. "Jangan," ucapnya singkat, tapi cukup untuk membuat Cika terdiam.

Ada sesuatu yang Segara sembunyikan di dalam buku itu, sesuatu yang belum siap ia bagi dengan orang lain, termasuk dengan Cika. Meski begitu, Cika tidak merasa tersinggung. Ia tahu, ada bagian dari Segara yang masih tertutup rapat.

"Aku cuma penasaran," ucap Cika, suaranya lembut.

"Sudah berkali-kali gue bilang, tapi kenapa masih ngeyel?" kesal Segara, suaranya penuh frustrasi.

Cika hanya memasang wajah kesalnya. Apa sebenarnya yang ada di dalam buku gambar itu? Mengapa Segara begitu melarangnya untuk melihat? Rasa penasaran yang telah lama mengusik pikirannya kembali muncul, namun seperti biasa, ia gagal mendapatkan jawaban.

Sambil merapatkan buku gambar itu ke dadanya, Segara memintanya untuk keluar dari kamar. Kehadiran Cika yang terus membuntutinya membuatnya merasa risih. Namun, Cika tetap ngotot ingin berada di kamar Segara. Lagi-lagi, Segara hanya bisa menyerah, memilih untuk meninggalkan Cika sementara ia membersihkan diri di kamar mandi.

"Di mana ya buku gambar tadi?" gumam Cika, rasa penasarannya semakin membuncah. Tanpa pikir panjang, ia mulai mencari buku itu di dalam lemari.

Tak lama kemudian, ia menemukannya. Dengan cepat, ia membuka buku gambar tersebut dan mulai melihat isinya sebelum Segara kembali dari kamar mandi. Namun, yang dilihatnya membuat raut wajahnya berubah semakin kesal. Di sana, tergambar sosok seorang perempuan yang tak ia kenali. Siapa dia? Hatinya diliputi rasa cemburu yang samar. Tanpa membuang waktu, Cika memotret beberapa halaman lalu mengembalikan buku gambar itu ke tempat semula.

˖°𓇼🌊⋆

Saat Segara kembali dari kamar mandi, ia mendapati kamarnya sudah kosong. Cika tak lagi berada di sana, tapi tas dan barang-barang musiknya masih tergeletak di atas kasur. Dengan rasa penasaran, Segara keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang lukis untuk mengerjakan tugas sekolahnya.

Begitu ia menggeser pintu, ia menemukan Cika sedang asyik bermain dengan kanvas, cat warna, dan kuas. Segara hanya bisa menepuk jidatnya, merasa jengkel melihat bagaimana Cika lagi-lagi mengacak-acak barang-barangnya.

"Cika lagi lukis gunung nih," ujar Cika sambil tersenyum bangga.

Segara tak bisa menahan tawanya. Lukisan Cika yang berantakan dan terlihat seperti gambar anak kecil membuatnya geli. Sudah jelas, melukis bukanlah bakatnya.

Cika lalu mengalihkan pandangannya ke arah lukisan Segara, pemandangan laut dengan sosok manusia yang tampak abstrak. Cika tak mengerti apa yang Segara coba gambarkan. Sekarang, pikirannya melayang pada kemungkinan bahwa sosok di dalam lukisan itu adalah perempuan yang ada di buku gambar Segara.

"Laut lagi?" ujar Cika dengan nada yang tak bisa menyembunyikan sedikit kekesalannya.

Segara terdiam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kenangan bersama Nana di masa lalu kembali mengapung di benaknya, mengisi setiap sudut pikirannya dengan nostalgia. Namun, setiap kali ia terlalu dalam mengingat masa lalu itu, rasa sakit di kepalanya pun kembali menyerang. Jika ia tidak melukis, ia takut kenangan itu akan benar-benar hilang dari ingatannya. Lukisan adalah caranya menjaga kenangan itu tetap hidup.

"Segara..." lirih Cika, sambil menangkup wajah Segara dengan kedua tangannya, pandangannya dipenuhi kekhawatiran.

Darah mengalir dari hidung Segara, menetes perlahan ke tangannya. Cika panik, segera meraih tisu dan dengan lembut mengelap darah yang mengucur.

"Gara, tenang... semuanya akan baik-baik saja," bisiknya, mencoba menenangkan pria yang jelas tampak lemah di hadapannya.

Namun, penglihatan Segara mulai kabur. Sosok Cika di sampingnya terlihat semakin buram. Kepalanya terasa berat, dunia seakan berputar. Ia meraih kepalanya yang terasa sakit dan, sekejap kemudian, tubuhnya lunglai jatuh ke lantai, tak sadarkan diri.

Cika menahan napas sejenak, hatinya tenggelam dalam kepanikan. Ia segera berlari keluar kamar, memanggil para asisten rumah tangga untuk membantu membawa Segara ke rumah sakit.

OMBAK BERSORAK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang