Tangan Yang Luka

35 21 1
                                    

Bisma menghela napas pelan saat melihat barang-barang yang disiapkannya hampir selesai. Hanya tinggal beberapa item kecil yang perlu diperiksa dan dilaporkan kepada sekretaris. Setelah sejenak duduk untuk istirahat, ia meraih ponsel dari saku bajunya. Matanya terpaku pada notifikasi WhatsApp, dan tanpa pikir panjang, ia membuka aplikasi itu. Ia melihat story dari Deasy Aurellia Najela, yang tampak sedang membahas anime.

"Dia suka anime," ucapnya singkat, senyum tipis terukir di wajahnya.

Bisma (Ayah):
Kamu suka nonton AOT?

Bisma segera membuka balasan chat—dengan tertawa kecil saat membaca pesan tersebut.

Nana:
Iya, Attack on Tintan

"Attack on Titan, Yah, bukan Tintan," gumamnya sambil mengoreksi pesan tersebut, merasa terhibur.

Setelah itu, Bisma kembali fokus membantu Arul mempersiapkan peralatan. Namun, sebuah kecelakaan kecil terjadi—tangannya secara tak sengaja terkena benda tajam yang tergeletak di atas meja, membuatnya berdarah.

"Siapa sih yang naruh paku di sini?" gerutunya, menahan rasa sakit.

Arul yang mendengar keluhan Bisma segera menghampirinya dan melihat darah yang menetes dari tangan temannya.

"Bentar, gue ambilin P3K," ujar Arul. Namun, Bisma menahannya. "Enggak papa, gue bisa sendiri. Lu beresin aja peralatannya."

Meski Arul tampak ingin membantunya, Bisma langsung berjalan keluar ruangan, menuju ruang UKS untuk merawat lukanya. Tanpa disadari, dari kejauhan, Nana memperhatikan Bisma. Saat melihatnya berbelok ke ruang UKS, rasa khawatir menguasai diri Nana. Tanpa berpikir panjang, ia pun bergegas menghampiri Bisma, meskipun awalnya ia berniat pergi ke toilet.

Nana tiba di depan ruang UKS tepat saat Bisma membuka pintu. "Bisma, kamu enggak apa-apa?" tanyanya dengan nada cemas, matanya tertuju pada tangan Bisma yang terluka.

Bisma terkejut melihat Nana, namun ia segera tersenyum untuk menenangkan. "Cuma luka kecil kok, enggak perlu khawatir," jawabnya, meskipun rasa sakit masih terasa di tangannya.

Nana menghela napas lega, tapi rasa khawatirnya belum sepenuhnya hilang. "Biar aku bantu," tawarnya, mencoba mengambil alih kotak P3K dari tangan Bisma.

Namun, Bisma menggeleng. "Aku bisa sendiri. Kamu enggak perlu repot."

Nana tetap bersikeras, tapi melihat tekad Bisma, akhirnya ia hanya tersenyum kecil dan mengangguk. "Oke, tapi kalau ada yang kamu butuhkan, jangan ragu bilang ya."

Mata Nana terbelalak saat melihat tangan kanan Bisma yang terluka. Dengan sigap, ia mencari obat dan perban di ruang UKS, sementara Bisma hanya bisa menghela napas pelan, merasakan sedikit rasa lega saat melihat kepedulian yang Nana tunjukkan. Ini adalah perhatian yang jarang ia dapatkan sejak lama, terutama setelah kepergian kekasih yang pernah ia cintai.

"Kenapa kamu bisa terluka begini?" tanya Nana dengan nada khawatir, setelah menyuruh Bisma duduk di atas kasur UKS. Tangan lembutnya memegangi tangan kanan Bisma yang terluka, membuat Bisma merasa nyaman di tengah rasa perih yang ia rasakan.

Bisma tersenyum tipis, meski rasa sakit masih terasa. Di tangan kirinya, ia mengusap kepala Nana dengan penuh kasih.

"Cuma luka kecil kok," jawabnya ringan, berusaha menenangkan Nana.

Nana menggeleng pelan, tak setuju. "Luka kecil kalau enggak diobati bisa membesar, lho. Lain kali hati-hati ya, jangan sampai terluka lagi."

Kata-kata Nana, yang penuh perhatian dan kepedulian, membuat Bisma merasa bahagia bercampur haru. Perhatian seperti ini adalah sesuatu yang ia rindukan, sesuatu yang tidak ia dapatkan. Hatinya seakan dipenuhi kehangatan yang sudah lama ia lupakan.

"Makasih," gumam Bisma dalam hatinya.

Setelah selesai membalut luka Bisma, Nana menatapnya dengan tatapan penuh perhatian. "Bisma, kamu udah makan?"

Bisma hanya menggeleng pelan. "Belum. Bel istirahat juga belum bunyi," ujarnya, menyembunyikan fakta bahwa ia sudah lapar sejak pagi karena tidak sempat sarapan di rumah. Namun, seperti biasa, ia memilih untuk menahannya sampai waktu istirahat tiba.

Nana menghela napas kecil, memandang Bisma dengan pandangan yang seakan menilai sesuatu. Kemudian, tanpa banyak bicara, ia berkata, "Tunggu sebentar ya," lalu bergegas keluar dari ruang UKS.

Bisma hanya bisa menatap pintu yang baru saja ditinggalkan oleh Nana. Ia bertanya-tanya ke mana Nana pergi.

Setelah meninggalkan ruang UKS, Nana dengan langkah cepat menuju kelasnya. Ia tahu waktu istirahat belum tiba, namun ia tak ingin membuat Bisma menunggu lama untuk makan. Saat masuk ke dalam kelas, suasana sudah cukup tenang dengan beberapa anak yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Beberapa dari mereka berbicara dengan suara pelan, sementara yang lain asyik membaca buku atau memeriksa ponsel mereka.

"Si Nana buru-buru amat?" bisik-bisikan teman satu kelas Nana yang sedang mengobrol sedikit terdengar di indra pendengaran Nana.

Namun Nana tetap berjalan menuju mejanya, tempat kotak bekal yang ia siapkan tadi pagi masih tergeletak. Tanpa ragu, ia membuka tasnya dan meraih kotak bekal yang berisi nasi goreng buatan Wina, ibunya. Sebuah senyum tipis terukir di wajahnya, mengingat betapa hangatnya momen ketika ia menawarkan nasi goreng itu kepada Bisma tadi.

"Nana, ngapain buru-buru banget?" tanya salah satu teman sekelasnya, yang duduk tak jauh dari meja Nana.

Nana tersenyum sedikit, mencoba menyembunyikan kegugupannya.

"Enggak apa-apa, cuma ada sedikit urusan," jawabnya sambil mengambil kotak bekal itu ke dalam tasnya.

Sinta mengangkat alis, penasaran namun tidak bertanya lebih lanjut. "Oh, oke."

Nana kemudian segera berbalik, meninggalkan kelas untuk kembali ke ruang UKS. Sesampai di ruang UKS dengan kotak bekal di tangannya dan duduk di samping Bisma. Tanpa berkata banyak, ia membukakan kotak bekalnya, dan aroma nasi goreng yang hangat segera memenuhi ruangan. Bisma menelan ludahnya beberapa kali, menahan rasa lapar yang tiba-tiba semakin menjadi.

"Buat apa ini?" tanya Bisma, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya.

Nana menatapnya lembut. "Aku lihat wajah kamu pucet banget, dan tadi kamu bilang belum makan. Itu berarti kamu belum sarapan, kan?"

Perkataan Nana membuat hati Bisma bergetar. Rasa haru memenuhi dirinya, apalagi saat melihat betapa pedulinya Nana terhadapnya.

"Nasi goreng ini kesukaan aku, loh," jelas Bisma dengan mata berbinar.

"Oh iya?" Nana tersenyum, sedikit terkejut namun senang mendengar hal itu.

Bisma mengangguk-anggukkan kepala, lalu tanpa ragu menerima suapan pertama dari Nana. Rasa nasi goreng yang lezat membuatnya semakin lapar, dan ia melahapnya dengan penuh semangat.

Di tengah momen manis itu, Bisma tiba-tiba mengajukan pertanyaan yang tak terduga. "Kamu suka aku?"

Nana terdiam sesaat, senyumnya tetap menghiasi wajahnya. Ia ingin menjawab, namun sebelum ia sempat berkata, Bisma melihat Arul berdiri di luar, memperhatikan mereka dari balik kaca UKS.

"Bentar, kita ketemu aja ya istirahat di taman. Kayaknya temen aku udah nungguin cukup lama," kata Bisma sambil menunjuk ke arah Arul. Nana mengikuti arah pandangan Bisma dan melihat Arul yang tampak sedikit tak sabar menunggu.

"Makasih ya atas nasi gorengnya, enak banget," ucap Bisma dengan tulus, lalu sekali lagi tangannya mengusap kepala Nana. Sentuhan itu membuat perasaan Nana berdebar-debar tanpa henti, dan ia hanya bisa tersenyum sambil menyembunyikan rasa malu yang mulai muncul di pipinya.

"Jangan lupa ya, nanti di taman," tambah Bisma sebelum berdiri dan menuju pintu, meninggalkan Nana yang masih merasakan hangatnya perhatian yang mereka saling berikan.

OMBAK BERSORAK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang