Kamu tak usah berharap lebih
Dia tidak mencintai kamu
Tetapi kamu lah yang sedang mencintai dia
~Daisy Aurellia Najela~Ingatan semalam masih begitu hangat, seperti mentari yang memancarkan seluruh tubuh. Ingatan tentang Bisma membuat gadis SMA ini tersipu malu, mirip ikan Histiophryne psyhedelica yang bersembunyi di balik batu karang. Namun, di sisi lain, ada pula ingatan yang menyedihkan, yang membuat Nana terasa perih.
Masih dengan tas di pundaknya, Nana melihat Bisma duduk sendiri di depan kelas. Dalam hati, ia berharap kali ini tidak bertabrakan lagi dengan laki-laki itu.
"Eh bentar," langkahnya terhenti ketika melihat Bisma yang tenggelam dalam memainkan ponselnya.
Nana mengerjapkan mata, menyadarkan bahwa tak mungkin ia meminta nomer laki-laki terlebih dahulu. Langkahnya menetap dengan pandangan lurus ke depan.
"Tapi ini kesempatan emas, mumpung kemarin dia nyapa," gerutu Nana, langkahnya berbalik arah menuju Bisma dan memberanikan diri untuk duduk di sampingnya.
"Kirain siapa," kaget Bisma melihat keberadaan Nana di sampingnya.
Nana tersenyum kecil, merasa gugup namun berusaha tetap tenang. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, seolah-olah gemuruh ombak yang tadi menggetarkan hatinya berubah menjadi ombak kecil yang mencoba menenangkan gelombang perasaan di dalam dirinya. Dia tahu ini adalah kesempatan langka, dan dia tidak ingin menyia-nyiakannya.
"Anu..." ucapnya sedikit gugup.
Bisma masih menatapnya, dengan alis yang sedikit terangkat karena rasa ingin tahu. "Ada apa?" tanyanya dengan nada santai, tapi ada sedikit keheranan di matanya.
Nana mencoba merangkai kata-kata di pikirannya, tapi sepertinya semuanya buyar begitu saja. "Oh, enggak apa-apa," jawabnya pelan sambil berusaha menjaga senyumnya tetap terpasang. "Cuma mau nanya sesuatu."
"Nanya apa?" Bisma meletakkan ponselnya, sekarang menatap Nana dengan penuh perhatian.
Nana terdiam sejenak. Dia bisa merasakan mata Bisma yang tajam, membuat pipinya semakin memanas. "Hmm... kemarin kita sempat ngobrol sebentar di taman, kan?" tanyanya, berusaha memulai pembicaraan.
Bisma mengangguk pelan, sedikit tersenyum mengingat Nana yang langsung meninggalkannya sendiri di taman. "Iya. Terus?"
Nana berusaha menenangkan diri, lalu dengan gerakan pelan, dia menyodorkan ponselnya kepada Bisma.
"Mungkin... kita bisa saling tuker nomor? Biar kalau ada apa-apa bisa langsung kontak," ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar. Sebenarnya Nana berusaha terdengar biasa saja, tapi entah kenapa rasa gugupnya tak bisa sepenuhnya di sembunyikan.
Bisma terlihat sedikit terkejut, namun ia tetap mengambil ponsel Nana dan mulai mengetikkan nomornya.
"Oke, ini nomor aku," ucapnya sambil mengembalikan ponsel itu dengan senyuman tipis. Nana meraih ponselnya kembali, melihat nomor yang baru saja ditambahkan, dan merasa ada beban berat yang terangkat dari pundaknya.
"Terima kasih," ucap Nana sambil menyelipkan ponselnya kembali ke saku bajunya. Ia bisa merasakan perasaan hangat menjalar di dadanya, sesuatu yang berbeda dari rasa gugup yang tadi dia rasakan.
"Tunggu, Nana," tiba-tiba Bisma memanggil sebelum Nana bisa beranjak. Nana menoleh, bertemu pandang dengan Bisma yang sekarang menatapnya dengan serius.
"Kalau ada apa-apa, jangan ragu buat hubungi aku, ya," ucap Bisma, kali ini dengan senyuman yang lebih lebar dan tulus.
Nana hanya bisa mengangguk, merasa jantungnya kembali berdetak lebih kencang.
"Pasti," jawabnya singkat sebelum Nana berdiri dan melangkah pergi.
Saat Nana berjalan meninggalkan Bisma, ada perasaan campur aduk yang memenuhi hatinya—campuran antara kebahagiaan, harapan, dan sedikit kegugupan. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang pasti: pertemuan ini mungkin akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih.
Sesampainya di kelas, Nana tersenyum dengan mata yang berbinar. Ia duduk pelan-pelan dan mendapati Dea yang sudah menatapnya dengan penuh selidik.
"Gua udah tahu dari Diki. Lu semalam nanyain Bisma buat apa?" tanya Dea dengan nada penasaran.
Nana masih terus memainkan ponselnya, berusaha menghindari tatapan Dea. Namun, Dea tidak menyerah begitu saja.
"Tadi lu duduk berduaan di depan kelasnya buat apa?" desaknya lagi.
"Kenapa sih, lu main rahasia-rahasian gini?" cerocos Dea sambil dengan cepat merebut ponsel dari tangan Nana.
Nana melirik sinis ke arah Diki yang duduk di belakang mereka. Bagaimana bisa dia memberitahu Dea? Dengan bahasa isyarat, Diki hanya mengangkat bahu, berpura-pura tak tahu apa-apa, meski jelas-jelas dia yang membeberkan semuanya!
Dea yang kini memegang ponsel Nana, langsung melihat layar yang terpampang foto profil Bisma di WhatsApp. Nama yang tertulis di sana membuatnya tersenyum geli—"Bisma (Ayah)".
Dea menggeleng-gelengkan kepala, tak bisa menahan tawa kecil. "Gila, lu udah kayak orang stres aja, Na. Bisa-bisanya minta nomor cowok dengan gampangnya."
Dea menoleh ke arah Nana dengan ekspresi setengah tak percaya. "Gua udah bilang, jangan tegur cowok duluan. Sekalipun lo suka, boleh aja, tapi ingat Na, harga diri tetap harus dijaga."
"Siapa yang suka? Enggak tuh," jawab Nana cepat sambil merebut kembali ponselnya dari tangan Dea.
Dea hanya bisa menatap Nana dengan rasa iba.
"Dih, lu denial banget," ucapnya, namun Nana tetap mengabaikan sahabatnya itu, lebih memilih untuk fokus kembali ke ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
OMBAK BERSORAK
RomanceKebahagian sudah di reggut paksa, seperti ombak yang menghantam dataran menjadi hancur lebur tak tersisa. Dengan sisa-sisa kepingan kehancuran, seorang gadis menutup dalam jiwa yang tak bisa di utarakan, membuatnya tak sadar bahwa kehidupan yang se...