Prolog

165 48 13
                                    

Kala, seorang pria bilang kepadaku. Katanya lautan itu indah seperti aku, katanya ombak laut yang bergejolak itu seperti aku, katanya juga laut dimalam hari itu seperti aku. Ia sunyi dan sepi, namun ia sangat amat indah karena ditemani bintang—apalagi ketika rembulan juga menemaninya.

Katanya juga laut dimalam hari itu lebih menenangkan halnya seperti aku. Namun sekarang, aku bertannya-tanya perihal itu. Ketika aku seperti laut yang indah, kenapa kamu menjauh ketika lautan itu membuat badai yang membuatmu luka?. Kamu tahu sekarang lautan yang kamu sebut dengan indah, kini sudah menjadi lautan yang berantakan karena badainya sendiri.

Kerang yang kugenggam saat ini pun memantik kebencianku, bukan pada benda itu, melainkan padamu—pada setiap kata manis yang dulu kamu bisikkan kepadaku. Pasir yang kini menjadi alas dudukku pun tak luput dari rasa benci ini. Namun, aku tak mampu melepaskan cintaku pada lautan, karena kamu yang pertama kali memperkenalkanku pada keindahannya. Maka, sekeras apapun aku mencoba membenci laut, tetap saja hatiku terpaut padanya.

"AHHHRGGG!" teriaknya, sembari meremas kerang di tangannya. Kerang itu menjadi pelampiasan dari penyesalan yang tak pernah hilang, yang menghantui setiap harinya.

Gadis berambut sebahu yang mengenakan tunik krem itu berbalik, terkejut oleh suara teriakan. Ia menatap temannya yang duduk mematung, memandangi lautan dengan pandangan kosong. Perlahan, gadis itu melangkah mendekat, senyuman khasnya tak lepas dari wajahnya.

"Yuk, kita ke kafe, Na," ajaknya lembut.

Daisy Aurellia Najela, atau yang akrab dipanggil Nana, mengangguk lemah. Rambutnya yang panjang dan halus tergerai, berpadu dengan kulit eksotisnya, sementara poni di dahinya menambah kesan lembut namun tegas pada wajahnya. Ia mengulurkan tangan pada Dea, meminta bantuan untuk bangkit dari duduknya yang sudah nyaman.

Dea, sahabatnya, hanya bisa tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala. Ia sudah sangat mengenal sifat manja Nana, yang sering kali dianggap dingin oleh orang lain.

Tring...

Bunyi lonceng kafe menyambut mereka berdua. Ketika mereka masuk, beberapa pasang mata seketika tertuju pada keduanya. Nana berjalan ke arah kasir untuk memesan, sementara Dea mencari tempat duduk yang nyaman untuk merek.

"Red Velvet Latte 1..."
"Cafe Latte"

Nana berdecak sebal saat ucapannya tiba-tiba terpotong oleh suara seorang laki-laki yang terdengar dari arah kanannya. Suara itu begitu familiar, hingga membuat Nana refleks memalingkan pandangannya ke arah sumber suara.

Ia terdiam. Kata-kata yang hendak meluncur dari bibirnya seakan tertahan di tenggorokan, sementara matanya membesar melihat sosok yang berdiri tegap di sampingnya. Laki-laki itu berpenampilan rapi, dengan kulit putih bersih, mata sipit yang tajam, tubuh kekar, dan tinggi menjulang sekitar 178 cm. Rambutnya yang sedikit panjang diikat rapi ke belakang, menambah kesan maskulin yang memikat.

Jantung Nana berdegup kencang. Ia ingin berlari sejauh mungkin dari hadapan laki-laki ini, tetapi tubuhnya terasa membeku di tempat.

"Gila, makin keren aja nih orang," gumamnya dalam hati tanpa disadari.

Nana cepat-cepat menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran itu, sambil mengerjapkan matanya berulang kali. "Udah gila ya gue," batinnya lagi, kali ini dengan nada penuh teguran.

Namun, suara laki-laki itu kembali terdengar, kali ini lebih dekat, bahkan terdengar lebih akrab dari sebelumnya.

"Kamu," ujarnya, suaranya hangat namun tetap membawa getar ketegasan yang membuat jantung Nana semakin tak karuan.

Nana menelan ludah, merasakan tenggorokannya mendadak kering. Ia berusaha mengendalikan dirinya, mengumpulkan sisa-sisa keberanian untuk menatap laki-laki yang masih berada di hadapannya. Ketika akhirnya ia mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan tatapan laki-laki tersebut—tatapan yang penuh misteri, sekaligus mengandung percikan emosi yang dulu pernah membuatnya tergila-gila.

Pantai di Lombok ini tak hanya terkenal karena pasirnya yang berwarna merah muda, tetapi juga sebagai saksi bisu dari sejuta kenangan yang tak pernah bisa dilupakan Nana—kenangan bersama seorang laki-laki itu. Sebenarnya, Nana tak pernah berniat kembali ke laut ini setelah dua tahun berlalu. Namun, ia tak sanggup menolak ajakan sahabatnya, tak ingin mengecewakannya. Siapa yang menyangka, laki-laki yang setiap hari dirindukannya justru muncul di waktu yang sama dengannya.

"Kenapa harus sekarang?" gumam Nana dalam hatinya.

Kenangan-kenangan itu tak mungkin terulang; hanya bayangan masa lalu yang bisa ia peluk dalam ingatan. Nana tahu, tak mungkin membenci alam hanya untuk melupakan kenangan yang pernah terukir. Waktu telah berjalan, dan perasaan manusia bisa berubah seiring dengannya. Apa yang dulu begitu dicintainya, kini bisa menjadi sesuatu yang dibenci dengan begitu mendalam.

Laki-laki itu berbalik, menatap tepat ke arah Nana. Mata mereka bertemu hanya sesaat, namun cukup untuk membuat Nana segera memalingkan wajahnya ke arah kasir. Mulutnya ternganga dalam ketidakpercayaan, matanya membesar, seolah mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua ini bukan sekadar ilusi.

"Jela," gumamnya lirih, suaranya menggambarkan kegugupan saat menyebut Daisy Aurellia Najela—nama panggilan khusus yang hanya dia yang berhak menggunakannya.

Tangannya terulur, berusaha meraih tangan gadis yang berdiri di hadapannya. Namun, Nana, yang tak sudi disentuh, dengan cepat mengibaskan tangannya, menolak sentuhan laki-laki yang kini berdiri di sampingnya.

"Kenapa kamu di sini? Katanya kamu enggak akan pernah ke sini lagi." Ia langsung melontarkan pertanyaan tanpa basa-basi, suaranya terdengar dingin.

Dengan teguh, Nana berusaha mengabaikan kehadiran laki-laki itu. Ia menahan diri agar tidak berbalik arah, menjaga agar pandangannya tetap lurus ke depan, sementara air mata yang menggenang di pelupuk matanya ia tahan sekuat tenaga agar tak jatuh mengalir di pipinya.

Saat Nana mulai melangkah, tiba-tiba ia merasakan sebuah tangan yang hangat mencengkeram pergelangannya.

"Jela," panggil laki-laki itu, suaranya lembut namun penuh dengan kesedihan.

Nana menghela napas panjang, berat hati untuk membalikkan badannya dan melihat sosok laki-laki yang masih erat menggenggam pergelangan tangannya. Meski seluruh jiwanya menolak, akhirnya ia menatap laki-laki yang pernah menghilang dari hidupnya bertahun-tahun. Dengan alisnya yang terangkat, Nana mencoba menyampaikan isyarat bahwa ia tak sanggup berkata-kata di hadapan orang ini.

"Aku harus bicara sesuatu yang penting!" ucap laki-laki itu dengan nada tegas, meski jelas terlihat ada kesedihan yang mendalam di matanya, seolah berharap Nana akan memberinya kesempatan.

"Lepas," ujar Nana dengan singkat, rasa kesal mulai merayapi dirinya. Ia berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman laki-laki itu, mengibaskan pergelangannya agar terlepas, namun laki-laki itu tampaknya tak mengerti pada isyarat yang diberikan Nana.

"SEGARA LEPAS!!!"

Segara. Nama laki-laki yang kini menggenggam erat tangan Nana. Nama lengkapnya adalah Segara Argantara Prayoga, seorang pria yang memiliki kulit putih pucat pada seluruh badannya.

OMBAK BERSORAK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang