Rumah Sakit

50 22 0
                                    

"Segara, apa sih yang kamu pikirin lagi?" gumam Cika pelan, menatap wajah Segara yang perlahan membuka mata.

Segara menatap sekeliling, menyadari bahwa dirinya kembali berada di ruang putih yang familiar—ruang rumah sakit. Sial, batinnya. Lagi-lagi dia terjebak di sini. Harapan satu-satunya yang ia miliki hanyalah untuk sembuh, untuk bisa hidup normal seperti orang lain, tanpa rasa takut akan kehilangan ingatan lagi.

Segara telah lama mengidap amnesia disosiatif, sebuah kondisi yang membuatnya kehilangan memori secara acak—baik dari masa lalu maupun masa kini, sebuah penyakit yang di sebabkan karena rasa stres yang berlebihan. Itulah sebabnya, ia selalu melukis. Setiap lukisan adalah usahanya mengabadikan kenangan agar tidak terhapus dari benaknya.

"Segara, apa yang kamu pikirin tadi?" tanya Cika lagi, suaranya penuh keprihatinan.

Segara menatap Cika dengan tajam, mencoba menutupi rasa sakit yang masih terasa di kepalanya. "Apa itu tentang perempuan itu lagi, Gara?" lanjut Cika, suaranya terdengar lebih berat, ada nada cemburu yang tersirat.

Mata Segara menyipit, kemarahan dan kekhawatiran melintas di wajahnya. "Lo... lo lihat isi buku gambar gue?!" tuduhnya dengan nada yang menegangkan.

"Memangnya kenapa? Kita kan sudah dijodohkan," balas Cika dengan nada tenang, namun matanya menyorotkan ketegangan yang samar. "Jadi, enggak ada yang perlu disembunyikan."

Ha! Dijodohkan? Segara tertawa kecil, sinis. Perjodohan yang dibungkus oleh ambisi keluarga, hanya demi mengamankan harta keluarganya. Begitu saja? Apakah ini yang disebut cinta? Ucapan Cika seolah menggelitik pikirannya.

"Perjodohan? Yang hanya ingin mengamankan harta keluarga gue?" sindir Segara, suaranya menggantung di udara.

Deg! Cika merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia berusaha menenangkan diri, mencoba menyembunyikan kegelisahan di balik senyumnya yang dipaksakan. Ia pun dengan santai memainkan ujung rambutnya, seakan mencoba meredakan ketegangan yang kian membuncah.

"Gara, Segara," ia menoleh padanya, mencoba mengubah suasana dengan suara lembut, "Kenapa Segara ngomkng kaya gitu, sayang?"

"Sudahlah, Cika. Enggak usah pura-pura lagi. Keluarga lo kan udah bangkrut."

Tubuh Cika seketika terasa kaku. Darimana Segara tahu? Bukankah soal kebangkrutan keluarganya dirahasiakan dengan sangat baik? Pikirannya berkecamuk, mencoba mencari jawaban di balik tatapan dingin Segara. Sial, bagaimana mungkin dia tahu?

"Pergi sana. Gue muak ngeliat lo," ucap Segara, nadanya penuh penolakan dan kebencian yang tajam.

Cika menggertakkan giginya, menahan amarah yang mulai mendidih dalam dirinya. Sial! Ia berbalik pergi dengan langkah cepat, namun dalam hatinya, tekad membara. Suatu hari nanti, perusahaan keluarga Segara itu akan menjadi miliknya. Awas saja, Segara.

Cika keluar dari ruangan itu dengan langkah tergesa, tapi setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah dunia di sekelilingnya semakin menyempit. Ia memukul pintu kamar dengan keras saat menutupnya, gemeretak suara kayu yang bertemu dengan engselnya seolah menjadi cermin dari amarah yang mendidih di dalam dirinya. Bagaimana mungkin Segara tahu soal kebangkrutan keluarganya? Bagaimana informasi itu bisa bocor? Pikiran Cika berputar-putar mencari jawaban, tapi yang ia temukan hanya kekecewaan dan rasa malu yang menusuk.

Segara di dalam kamarnya, menghela napas panjang. Tatapannya kosong, menerawang ke arah jendela yang hanya memperlihatkan langit sore yang perlahan memudar. Ia tahu bahwa kata-katanya tadi melukai Cika, tapi rasa sakit itu tak sebanding dengan kepedihan yang ia rasakan selama ini. Bagaimana bisa dia menerima perjodohan yang jelas-jelas hanya menguntungkan satu pihak? Keluarga Cika hanya melihatnya sebagai jalan keluar dari kehancuran, bukan sebagai pasangan hidup.

Di luar kamar, Cika menempelkan punggungnya ke dinding, mencoba mengatur napas yang tak beraturan. Matanya terasa panas, tapi ia menolak untuk menangis. Menangis hanya akan menunjukkan kelemahan, dan ia tidak ingin terlihat lemah, terutama di depan Segara. Cika sadar bahwa posisinya saat ini lemah, tapi dia tidak akan membiarkan keadaan ini terus-menerus mengendalikan hidupnya.

Dalam pikirannya, terbersit rencana yang semakin jelas. Jika Segara berpikir dia bisa menyingkirkannya begitu saja, dia salah besar. Cika bukan hanya sekadar gadis yang bisa diabaikan. Dia akan menemukan cara untuk berbalik menguasai situasi, apapun risikonya. Meskipun itu berarti harus mengambil alih seluruh kekayaan keluarga Segara.

Malam ini, Cika menghubungi seseorang yang sudah lama tak ia ajak bicara, seseorang yang berpengaruh besar di kalangan bisnis dan memiliki koneksi yang luas. Ia menceritakan situasinya, kebangkrutan keluarga, perjodohan dengan Segara, dan penghinaan yang baru saja ia alami. Orang di seberang telepon mendengarkan dengan seksama, lalu memberi tawaran yang tak bisa Cika tolak. Sebuah cara untuk membalikkan keadaan dan mendapatkan kembali apa yang ia anggap sebagai haknya.

˖°𓇼🌊⋆

Sementara itu, di dalam kamar, Segara berusaha untuk kembali melukis. Tapi tangannya gemetar, perasaannya tak tenang. Sosok Nana, gadis dari masa kecilnya, terus menghantui pikirannya. Nana yang selalu tersenyum di tepi laut, Nana yang menjadi satu-satunya penghubung antara dirinya dan kebahagiaan masa lalu. Tapi kenangan itu juga terasa semakin kabur, seperti pasir yang perlahan-lahan tergerus ombak. Ia tahu, jika ia tidak melukis, semua itu akan hilang selamanya dari ingatannya.

"Aku kangen kamu, Na," gumamnya lirih.

Namun kali ini, bahkan lukisan pun tidak bisa menenangkan hatinya. Ada sesuatu yang mengganjal, sebuah firasat buruk yang menggantung di udara. Seolah-olah Cika bukanlah ancaman biasa. Segara mencoba menepis pikiran itu, tapi bayang-bayang tentang apa yang mungkin Cika rencanakan mulai menelusup masuk, mengisi pikirannya dengan kekhawatiran.

"Sial," kesal Cika.

Di tempat lain, Cika tersenyum tipis setelah menutup telepon. Ia merasa lebih percaya diri, lebih kuat. Jalannya mulai terbuka, dan ia akan memastikan bahwa tidak ada yang bisa menghalanginya, termasuk Segara. Cika tahu bahwa ia harus bermain pintar, tapi dia sudah siap. Dalam permainan ini, dia tidak akan lagi menjadi pion. Kali ini, dia akan menjadi ratu, yang mengendalikan seluruh papan catur.

Apa yang menanti ke depan? Cika tak tahu pasti. Tapi satu hal yang pasti, dia tidak akan lagi terperangkap dalam situasi yang merugikan. Satu demi satu, langkahnya akan membawanya menuju kemenangan, meskipun harus mengorbankan banyak hal di sepanjang jalan. Dan ketika saatnya tiba, Segara akan menyadari bahwa dia telah meremehkan Cika, gadis yang awalnya hanya dianggap sebagai boneka perjodohan.

OMBAK BERSORAK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang