Marahnya Amel

46 24 4
                                        

Di tengah keramaian klub malam, Amel berusaha fokus pada perangkat DJ-nya. Musik berdentum keras, mengalun bersama lampu neon yang berkedip-kedip. Namun, pikiran Amel tak tenang. Wajahnya yang biasanya penuh semangat kini tampak tegang, bibirnya mengerut dalam kesal. Ia terus menggerutu sambil mengatur beat, membuat Cika, sahabatnya yang berdiri di sampingnya, merasa penasaran.

"Lo kenapa sih?" tanya Cika dengan nada penasaran, mendekati Amel yang tampak gelisah.

Amel menoleh sekilas, tetapi tidak langsung menjawab. Rasa kesalnya masih mendominasi pikirannya. Akhirnya, setelah beberapa detik, ia meluapkan perasaannya.

"Bisma. Susah banget dihubungi. Kayak orang sibuk banget, padahal gue tahu dia enggak segitunya. Gimana gue enggak kesel coba?"

Cika mengangguk paham, meski hatinya ikut merasa jengkel. Tanpa pikir panjang, ia pun menceritakan tentang Segara kepada Amel.

"Gue juga enggak ngerti kenapa, tapi ada yang aneh deh sama Segara akhir-akhir ini," ungkap Cika, matanya menatap Amel dengan serius.

Sebelum percakapan mereka berlanjut, ponsel Amel tiba-tiba berdering. Dengan cepat, ia merogoh sakunya dan melihat layar ponselnya. Panggilan itu dari Tesya, temannya yang satu sekolah dengan Bisma.

Amel mengangkat telepon itu sambil keluar dari area DJ yang bising. "Halo, ada apa, Sya?"

Tesya menjawab dengan suara yang terdengar serius di balik telepon, membuat Amel semakin waspada. "Mel, lo lagi di mana? Gue baru aja lihat sesuatu di sekolah yang enggak bakal lo suka."

Amel merasakan hatinya mencelos, firasat buruk mulai merayap. "Gue lagi di bar. Kenapa? Ada apa?"

Tesya menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Gue tadi lihat Bisma di sini. Dia lagi sama cewek lain, dan mereka kelihatan dekat banget. Gue yakin banget itu dia, Mel."

Amel terdiam, telinganya seperti mendengar suara yang sayup-sayup meski Tesya masih berbicara. Amarah mulai menyala dalam dirinya. Bisa-bisanya Bisma bermain di belakangnya, padahal ia sudah memberikan kepercayaannya sepenuh hati.

Perasaan kesal dan marah membuncah dalam diri Amel. Perempuan mana yang tidak marah mengetahui kekasihnya bersama orang lain? Siapa yang rela berbagi cinta dengan wanita lain? Semua perempuan tentu akan merasakan luka yang sama, dan Amel tidak terkecuali.

Genggaman Amel di ponsel semakin erat, dan ia berusaha keras untuk menahan emosinya. Namun, dalam hati, ia tahu bahwa perasaan ini tidak akan mudah diredam. Ini bukan hanya tentang dikhianati, tapi tentang kepercayaan yang hancur, sesuatu yang Amel tahu tidak bisa diperbaiki dengan mudah.

Perempuan mana yang tidak marah dan kesal bahwa mendapatkan kabar yang tak menyenangkan dari kekasih? Perempuan mana yang rela berbagi kekasihnya dengan orang lain? Semua perempuan tidak ingin seperti itu bukan?

˖°𓇼🌊⋆

Tangan Segara mengikat rambutnya yang panjang ke belakang, melihat Amel yang berseteru dengan dirinya sendiri di luar bar.

"Mana Cika?" Suara dari Segara ini mengejutkan Amel yang masih terhanyut dalam hati yang sakit.

"Di dalam lah" Ucap Amel

Segara memasuki bar tersebut, melihat Cika yang sedang bermain musik dan beberapa laki-laki. Cika yang sedikit terkejut mendapati Segara yang mendatangi bar saat ini. Cika seraya menghampiri dan menarik Segara untuk menuju luar ruangan bar ini.

Amel yang kembali memasuki bar dan mengantikkan Cika bermain musik.

"Gara ko mau ke tempat ini?" Tanya Cika

"Di cariin sama papa lo" Ucap Segara

Segara menyalakan ponsel nya, memperlihatkan jam yang sudah menuju pukul hampir 01.00.

"Lo sebenarnya cewek apaan sih?"

"Bisa-bisanya nyokap gue jodohin sama cewek pelacur ke lo" ucap Segara membuat Cika mengepalkan tangannya kesal.

"Karena Cika suka musik lah" bantah nya

"Iya suka musik, tapi bukan berarti lo ke tempat yang seperti ini!" Tegas Segara.

Cika memilih menuruti Segara dan ikut pulang bersamanya. Keduanya melangkah keluar dari bar, meninggalkan keramaian dan hiruk-pikuk yang masih bergema di dalam. Dengan langkah cepat, mereka menuju mobil Segara yang terparkir di sudut luar.

"Lo tahu, kadang-kadang gue mikir, lo emang susah banget diceramahin," kata Segara dengan nada frustrasi. "Kenapa lo selalu harus ke tempat-tempat kayak gini?"

Cika hanya terdiam, tidak membantah. Segara mengemudikan mobil dengan kecepatan yang stabil, berusaha untuk tidak terlalu memperlihatkan kekesalan yang ada di wajahnya.

"Lo tahu, papa gue nanya-nanya tentang lo tadi. Dia enggak suka kalau lo sering keluar malam, apalagi ke bar."

Cika menoleh, mencoba membaca ekspresi Segara. "Gue bukan pelacur, Segara. Gue cuma suka musik dan tempat-tempat kayak gini bikin gue bisa merasa bebas sebentar dari semua tekanan."

"Maksud gue bukan lo pelacur atau apa," jawab Segara. "Tapi lo harus ngerti kalau ada cara lain buat nikmatin musik tanpa harus ke tempat yang bisa bikin lo dalam bahaya."

Cika mendengus, merasa dia berada di persimpangan jalan antara menuruti nasihat Segara atau mengikuti keinginannya sendiri. "Kadang gue cuma butuh tempat yang bisa bikin gue merasa nyaman, Segara. Dan ini salah satu tempatnya."

Segara berhenti di depan rumah Cika dan mematikan mesin mobil. "Gue cuma pengen lo hati-hati. Jangan sampai lo jatuh dalam situasi yang bisa bikin lo nyesel nantinya."

Cika keluar dari mobil dan menoleh ke arah Segara. "Thanks udah nganterin gue pulang. Gue ngerti kok kekhawatiran lo. Tapi lo juga harus ngerti kalau gue butuh ruang untuk diri gue sendiri."

Segara mengangguk, "Oke, tapi jangan terlalu sering, ya. Kita masih bisa cari cara lain untuk lo ngerasa bebas tanpa harus ngelakuin hal-hal kayak gini. Soalnya gue nanti yang repot!"

Cika hanya tersenyum kecil sebelum menutup pintu mobil dan memasuki rumah. Segara menunggu sampai dia masuk sebelum akhirnya meninggalkan halaman rumah, merasa campur aduk antara relief dan kekhawatiran.

OMBAK BERSORAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang