Cemburu

53 20 3
                                    

Apa kamu tak mengerti perasaan yang aku punya?
~Segara Argantara Prayoga~

Sudah beberapa bulan berlalu sejak kepergian ayah mereka. Kini, Nana dan Segara telah memasuki sekolah menengah pertama. Namun, mereka terpisah oleh jarak kelas yang cukup jauh. Segara masuk ke kelas unggulan karena kepintarannya, sedangkan Nana berada di kelas yang biasa, tidak terlalu pintar, tapi juga tidak bodoh.

Hari ini, di lorong koridor sekolah, Segara memergoki Nana sedang tertawa riang bersama seorang laki-laki. Meskipun awalnya dia mencoba mengabaikan hal itu karena sibuk menyiapkan pentas seni sekolah, bayangan Nana yang tertawa bersama laki-laki tersebut terus menghantuinya. Pikiran Segara pun menjadi tidak tenang.

Tanpa bisa menahan diri, Segara meninggalkan tugasnya dan langsung menghampiri Nana, yang masih saja mengobrol dengan laki-laki yang tidak dikenalnya itu. Tanpa peringatan, dia menarik pergelangan tangan Nana—menjauh dari koridor sekolah yang ramai. Rasa cemburu dan kepedihan yang terpendam selama ini membuatnya bertindak impulsif. Mereka berhenti di sudut yang lebih tenang, jauh dari keramaian.

"Kenapa sih?" tanya Nana, masih bingung dan sedikit terluka dengan tindakan Segara.

Segara menatap Nana dengan tatapan serius. "Aku hanya ingin kamu tahu, Nana. Aku... Aku ngerasa enggak nyaman liat kamu sama dia."

Nana merasa terkejut. "Tapi dia  uman teman sekelas aku. Kenapa kamu berlebihan?"

"Dia mungkin hanya teman untuk kamu, tapi bagi aku... Rasanya berbeda," jawab Segara dengan nada yang penuh emosi.

Nana tercengang. Kata-kata Segara membuatnya merenung. Selama ini, dia merasa hubungan mereka hanya sebagai sahabat  yang saling mendukung, namun ada sesuatu dalam sikap Segara yang terasa lebih dalam dari sekadar perhatian sahabat.

"Segara, kalau kamu ngerasa gitu, kenapa ngapernah ngomkng sebelumnya?" tanya Nana lembut, berusaha memahami perasaan Segara.

Segara merendahkan pandangannya. "Aku cuman ngerasa cemas dan bingung. Aku tidak ingin kehilanganmu."

Nana menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri.

"Segara, aku menghargai perhatian kamu, tapi aku juga butuh ruang untuk bergaul dengan teman-temanku. Kamu tidak bisa mengatur siapa yang boleh atau tidak boleh aku temui."

Segara merasakan kepedihan dalam suaranya. "Aku tahu, dan aku minta maaf. Aku hanya merasa takut kehilanganmu."

Nana mengangguk, mencoba memahami. "Aku mengerti, Segara. Tapi kita perlu berbicara lebih terbuka tentang perasaan kita. Kita harus saling menghormati dan memberi ruang untuk satu sama lain."

Segara menatap Nana dengan penuh harapan. "Aku janji akan berusaha lebih baik. Aku hanya ingin kita tetap dekat, seperti dulu."

Nana tersenyum lembut, merasakan kelegaan. "Kita akan melewati ini bersama. Aku juga ingin kita tetap dekat, tapi dengan saling menghormati batasan masing-masing."

Keduanya berdiri sejenak, saling memandang dan meresapi kata-kata mereka. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka akan penuh dengan tantangan, tetapi juga penuh dengan kemungkinan untuk memahami dan mendukung satu sama lain dengan lebih baik.

Segara dan Nana kembali ke kegiatan mereka, dengan kesadaran baru tentang pentingnya komunikasi dan saling menghormati. Meskipun masa depan mereka masih penuh ketidakpastian, mereka merasa lebih siap untuk menghadapi apapun yang akan datang, bersama-sama.

˖°𓇼🌊⋆

Nana masih duduk di ambang pintu kamar, matanya menatap kosong ke arah dinding yang seolah-olah menjadi saksi bisu dari banyak kenangan. Setiap kali pikirannya melayang ke masa lalu, dadanya terasa sesak dan napasnya menjadi terengah-engah. Baginya, kehilangan cinta pertama—ayahnya—adalah luka yang tak kunjung sembuh.

Di luar jendela, dia melihat anak-anak seusianya bermain dengan penuh kegembiraan. Mereka tampak bahagia, dijemput, bermain bersama ayah, mengobrol, atau bahkan dibela ketika bertengkar dengan ibu mereka. Melihat mereka, Nana merasa perasaan iri yang mendalam. Dia tahu, jika dia mengaku tidak merasa iri kepada mereka yang masih memiliki ayah, itu adalah kebohongan terbesar dalam hidupnya.

"Gue juga dulu kaya mereka sebelum sesepi ini," gumamnya pelan, menatap bantal krakter kucing dengan lama yang masih dipegangnya.

Nana mengangkat foto yang berada di dekat jendela dan lebih dekat ke wajahnya, merasakan rasa sakit yang mendalam.

"It's okay, Daisy Aurellia Najela," Nana berusaha menguatkan dirinya sendiri, meskipun hatinya terasa hancur.

Selama bertahun-tahun, Nana telah belajar untuk menyembunyikan rasa sakitnya di balik senyuman dan kepura-puraan. Namun, kenyataannya, kesedihan itu tidak pernah benar-benar menghilang. Setiap kali dia melihat kebahagiaan anak-anak lain, rasa kehilangan itu seolah menjadi semakin nyata.

"Bisa-bisa aja gue bertahan tanpa dia, tapi kadang rasa ini terlalu berat untuk ditanggung sendiri," pikirnya.

Nana menyadari bahwa ia harus belajar untuk menghadapi kenyataan ini dengan cara yang lebih sehat. Meskipun kehilangan itu tidak akan pernah hilang sepenuhnya, dia harus menemukan cara untuk melanjutkan hidupnya dan tetap menghargai kenangan indah bersama ayah dan Segara.

Dia mengambil napas dalam-dalam dan berdiri, dengan tekad baru untuk menghadapi tantangan hidupnya dengan keberanian dan keteguhan. Meskipun kesedihan dan rasa iri akan selalu ada, Nana tahu bahwa ia harus tetap melangkah maju, menyadari bahwa ayahnya akan selalu ada dalam ingatannya, sebagai kekuatan dan inspirasi dalam perjalanan hidupnya.

OMBAK BERSORAK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang